Jika Kau Tidak Melihat Ke Belakang, Kau Tidak Akan Tahu Apa Yang Tertinggal
Itu kalimat yang aku temukan di buku harian tua milikku.Masa-masa saat aku masih jadi abege labil, SMP-SMA. Kebetulan kemarin aku baru pindahan kamar, kamarku yang baru sudah selesai. Warnanya biru – sesuai keinginanku, dan lebih luas dari kamar-kamarku sebelumnya. Ada kamar mandi sendiri lagi, jadi tidak perlu rebutan kamar mandi dengan adik-adikku yang cerewet minta ampun kalau aku mandi sedikit lebih lama dari mereka.
Saat pindahan itulah, aku membongkar-bongkar lemari tempat aku menyimpan semua buku-buku milikku jaman aku SMP-SMA. Di dalam sana masih ada beberapa buah buku harian, buku cetak, buku tulis sekolah, soal-soal ujian, foto kopian materi, semuanya masih aku simpan meskipun tidak dengan rapi. Aku memang punya kebiasaan menyimpan kertas-kertas apapun itu selama masih berhubungan dengan sekolahku. Aku merasa tidak nyaman harus membuangnya. Aku rasa pasti suatu saat aku akan membutuhkannya lagi, karena di sanalah ilmu pengetahuan yang aku dapatkan di sekolah ku ‘ikat’. Seperti sebuah kalimat yang pernah kudengar saat pertama kali mengikuti tarbiyah : ilmu itu seperti kuda, jika kau tak mengikatnya, dia akan lari meninggalkanmu. Cara mengikat ilmu adalah dengan mencatatnya. Jadi jangan heran, aku masih menyimpan semua catatatn-catatan sekolahku meski itu hanya berlembar-lembar kertas usang.
Iseng-iseng aku buka kembali buku harian yang pernah aku tulis sekitar 6-7 tahun yang lalu, dan....Oh My GOD! Dulu aku benar-benar seorang abege labil bercampur alay dan lebay. Untunglah jaman dahulu belum ada fasilitas blog atau facebook, sehingga ke-labil-an, ke-alay-an, dan ke-lebay-an ku tidak terpublikasikan ke banyak orang. Aku benar-benar bersyukur masa-masa labilku ku lalui dengan menuliskannya ke buku harian, setidaknya hanya aku sendiri yang pernah membacanya, dan hanya aku sendiri yang malu karena membacanya.
Baru membuka buku harianku yang pertama, aku sudah tak tahan lagi untuk menertawakannya. Ya ampun....aku tak pernah menyangka akulah yang menulis semua hal-hal itu. Rasa-rasanya saat itu juga aku ingin membakar semua barang bukti berupa buku harian, binder, buku agenda, de el el agar tak ada orang yang menemukannya.
Total semua buku harian yang tersisa ada 7 buah, padahal dulu hampir tiap caturwulan sekolah aku membeli buku harian. Semoga semua buku harianku yang lain tidak ditemukan oleh orang lain dan dibiarkan hancur lebur tak berbekas tak bersisa di muka bumi.
Waktu buka-buka binder, aku menemukan foto-foto yang berasal dari guntingan koran dan ketawa sendiri. Aku ingat, dulu sekitar tahun 2004 aku memang lagi lebay-lebaynya suka sama pebulu tangkis ganda China, Fu Haifeng. Pada saat itu, internet masih menjadi barang mewah bagiku, sehingga belum mengenal yang namanya mendownload gambar dari internet. Saking ngefansnya sama Fu Haifeng, setiap ada fotonya di koran, sekecil apapun itu, pasti aku gunting dan tempel di binder, plus dikasih tanda bulat melingkar kalau itu adalah foto Fu Haifeng. Maksa banget pokoknya.
Sekarang sih masih tetap suka nonton Fu Haifeng bertanding, tapi berhubung dia sudah nikah dan punya anak, aku sudah tidak terlalu heboh setiap nonton dia (ye, apa hubungannya).
Itu semua kisah bertahun-tahun yang lalu saat umurku belum genap 18 tahun. Sekarang sih masih dikit-dikit, tapi coba di tahan lah, udah tua juga. Malu sendiri kalau ingat umur sudah kepala dua tapi sikap kadang masih kaya abege 15 tahun. Tapi tak ada salahnya kan melihat ke masa-masa yang lalu, agar kita tahu apa yang tertinggal di sana.
UPC Hasanuddin, 11.14 p.m di hari yang mendung.
Saat pindahan itulah, aku membongkar-bongkar lemari tempat aku menyimpan semua buku-buku milikku jaman aku SMP-SMA. Di dalam sana masih ada beberapa buah buku harian, buku cetak, buku tulis sekolah, soal-soal ujian, foto kopian materi, semuanya masih aku simpan meskipun tidak dengan rapi. Aku memang punya kebiasaan menyimpan kertas-kertas apapun itu selama masih berhubungan dengan sekolahku. Aku merasa tidak nyaman harus membuangnya. Aku rasa pasti suatu saat aku akan membutuhkannya lagi, karena di sanalah ilmu pengetahuan yang aku dapatkan di sekolah ku ‘ikat’. Seperti sebuah kalimat yang pernah kudengar saat pertama kali mengikuti tarbiyah : ilmu itu seperti kuda, jika kau tak mengikatnya, dia akan lari meninggalkanmu. Cara mengikat ilmu adalah dengan mencatatnya. Jadi jangan heran, aku masih menyimpan semua catatatn-catatan sekolahku meski itu hanya berlembar-lembar kertas usang.
Iseng-iseng aku buka kembali buku harian yang pernah aku tulis sekitar 6-7 tahun yang lalu, dan....Oh My GOD! Dulu aku benar-benar seorang abege labil bercampur alay dan lebay. Untunglah jaman dahulu belum ada fasilitas blog atau facebook, sehingga ke-labil-an, ke-alay-an, dan ke-lebay-an ku tidak terpublikasikan ke banyak orang. Aku benar-benar bersyukur masa-masa labilku ku lalui dengan menuliskannya ke buku harian, setidaknya hanya aku sendiri yang pernah membacanya, dan hanya aku sendiri yang malu karena membacanya.
Baru membuka buku harianku yang pertama, aku sudah tak tahan lagi untuk menertawakannya. Ya ampun....aku tak pernah menyangka akulah yang menulis semua hal-hal itu. Rasa-rasanya saat itu juga aku ingin membakar semua barang bukti berupa buku harian, binder, buku agenda, de el el agar tak ada orang yang menemukannya.
Total semua buku harian yang tersisa ada 7 buah, padahal dulu hampir tiap caturwulan sekolah aku membeli buku harian. Semoga semua buku harianku yang lain tidak ditemukan oleh orang lain dan dibiarkan hancur lebur tak berbekas tak bersisa di muka bumi.
Waktu buka-buka binder, aku menemukan foto-foto yang berasal dari guntingan koran dan ketawa sendiri. Aku ingat, dulu sekitar tahun 2004 aku memang lagi lebay-lebaynya suka sama pebulu tangkis ganda China, Fu Haifeng. Pada saat itu, internet masih menjadi barang mewah bagiku, sehingga belum mengenal yang namanya mendownload gambar dari internet. Saking ngefansnya sama Fu Haifeng, setiap ada fotonya di koran, sekecil apapun itu, pasti aku gunting dan tempel di binder, plus dikasih tanda bulat melingkar kalau itu adalah foto Fu Haifeng. Maksa banget pokoknya.
Sekarang sih masih tetap suka nonton Fu Haifeng bertanding, tapi berhubung dia sudah nikah dan punya anak, aku sudah tidak terlalu heboh setiap nonton dia (ye, apa hubungannya).
Itu semua kisah bertahun-tahun yang lalu saat umurku belum genap 18 tahun. Sekarang sih masih dikit-dikit, tapi coba di tahan lah, udah tua juga. Malu sendiri kalau ingat umur sudah kepala dua tapi sikap kadang masih kaya abege 15 tahun. Tapi tak ada salahnya kan melihat ke masa-masa yang lalu, agar kita tahu apa yang tertinggal di sana.
UPC Hasanuddin, 11.14 p.m di hari yang mendung.
Comments
Post a Comment