Posts

Aksa

Aku menghempaskan tubuhku di atas kursi halte bus, melepas ransel kemudian mengipasi wajah. Kenapa Maumere selalu sepanas ini? Peluh membanjiri wajahku, membuat rambutku lepek dan wajahku cemong oleh debu. "Panas, mbak?" Suara berat seorang pria terdengar dari sebelah kananku. Aku menoleh, mendapati seorang pria bertubuh tinggi dengan rambut panjang sebahu yang acak-acakan disapu angin yang berhembus cukup kencang. Bahkan hembusan anginnya pun terasa panas. "Baru pertama kali ya ke sini?" Dia melanjutkan. "Iya" Jawabku singkat, tidak ingin membuka percakapan dengannya. Bertemu orang asing di tempat yang asing, apa yang bisa aku harapkan darinya? "Nunggu bus kemana?" Kali ini aku tidak menjawab, selain karena bus yang aku tunggu sudah datang, aku sedang tidak berminat bercakap-cakap apalagi dengan seorang pria. Aku meraih ransel dan berdiri menunggu bus berhenti. Sayangnya kami naik bus yang sama dan duduk bersebelahan di dalam bus reyot yang penu

Di Kotamu

Aku sengaja datang ke kotanya, pada satu-satunya kesempatan yang aku miliki. Hari ini tidak begitu terik. Prakiraan cuaca tidak meleset sedikit pun. Kota ini berawan. Gumpalan awan kelabu menggantung di langit, sementara sinar matahari berusaha keras menyusup di celah-celah mereka, memberi sedikit warna dan cahaya dengan susah payah. Terima kasih, Tuhan. Aku berbicara dalam hati. Bahkan hanya dengan mengunjungi kotanya, rinduku terampuni. Kalau bisa, aku ingin berlama-lama di sini. Menyusuri jalanannya yang dipenuhi pepohonan, mengunjungi sebuah warung makan kecil di pasar yang berdinding anyaman bambu dan masih memasak dengan menggunakan tungku, atau duduk-duduk saja di pelabuhan mengamati orang yang lalu lalang hendak menyeberang. Aku menghirup udara sejuk kota ini kuat-kuat, menghidu aroma yang sudah bertahun tidak lagi aku rasakan tapi bisa aku ingat, berupa-rupa bau yang memaksaku menyusuri kembali jalanan yang sama, menyentuh pepohonan yang sama, menjejak rumput liar yang mung

Kamka

"Bagaimana kabarmu?" Sungguh, hanya itu yang ingin aku tanyakan jika nanti tiba-tiba kita bertemu kembali, entah kapan, entah dimana. "Apa yang sudah kamu lalui selama ini tanpa aku? Masihkah sama tawamu? Masihkah hangat senyummu? Masihkah peduli kamu, padaku? Aku yang belum sanggup untuk berhenti merindu." Kadang aku berjalan perlahan menuju rindang pohon di sudut kota, tempat kita pernah saling sapa lalu bertukar kisah. Aku duduk sendiri, membayangkan kamu kembali lewat di hadapanku, berhenti sejenak untuk memandang wajahku. Masihkah kamu menemukan wajah yang dulu kamu cintai? Aku tidak berubah, bahkan setelah semua orang tidak lagi sama, setelah semua musim tidak lagi serupa. Aku masih sama. Coba kau tanyai hatiku, masihkah ada kamu di sana? Selalu. Hanya itu jawaban yang dia punya. "Bagaimana kabarmu?" Aku kembali bertanya, untuk memastikan kamu benar-benar baik-baik saja setelah semua waktu yang kita lalui bersama telah berlalu. Aku ingin kamu ba

Di-Bully Netijen

Semalam saya membalas twit seorang komika yang saya sudah saya sukai sejak tahap seleksi sebuah acara Stand Up Comedy, berupa ketidaksetujuan saya dengan apa yang dia kicaukan. Tentang video dari Tretan Muslim dan Coki Pardede. Ternyata dia membalas twit saya dengan me-retweet-nya, dan kemudian jadilah saya di-bully netijen follower dia. Awal baca-baca, jujur, saya kaget. They don't even know me tapi ada yang bilang saya g*bl*k. Omo omo... ternyata dunia maya itu memang kejam. Kayanya saya harus memikirkan kapan Ayyub siap punya akun media sosial sendiri. Saya mencoba berpikir positif, mungkin saja lisan mereka sebenarnya tidak akan sekejam itu jika berbicara langsung di dunia nyata. Maka pada hari ini, saya sampaikan rasa salut saya pada Awkarin dan Yonglex, karena ternyata, di-bully itu, meski tidak se-intens mereka, tetap saja cakid walau sedikit. Akuh kan tidak seg*bl*k itu. Huhuhu. Komika itu, menggiring pendapat kalau seisi video yang katanya lucu tapi tidak ada

Untuk Yang Memutuskan Kalah

Untuk yang memutuskan kalah, Terima kasih Untuk pengajaran yang berharga Bahwa bertahan bukan jawaban Pun pergi bukan tujuan Untuk kamu yang kalah, Jangan berlari mengejar musim Atau melambat mengekor angin Pikirlah dan ingat-ingatlah Ada satu hati yang koyak Yang kau tinggalkan di antara jarak Mungkin dia yang menahan kakimu bergerak Kamu yang akhirnya kalah, Puaskah menebas ombak, Melarung kenang, Melucuti tawa Kamu yang memilih kalah, Sekali lagi terima kasih Tanpa ada cerita semua terasa retih Mungkin kemenangan itu memang tidak pernah ada Sejak semula Sejak bermula Hanya sebuah cerita basa basi 12.07 AM

Dikara

"Jika aku meninggalkan orang lain untuk dirimu, apa tidak mungkin suatu saat aku akan melakukan hal yang sama pada dirimu untuk seseorang yang lain?" Tanyaku pelan. Aku menghela nafas, melegakan bisa mengatakan hal yang sudah ada di benakku sejak pertama kami bertemu. Dia menerawang, menyapukan pandangannya sejauh mungkin ke tengah lautan yang berbuih. Dalam banyak hal, setiap melihatnya aku selalu merasa nyaman, seperti melihat sebuah rumah mungil sederhana bercat putih di tengah padang ilalang. Dia seperti manifestasi dari rumah yang selalu ingin aku tinggali, untuk selamanya. "Kamu tau" dia bersuara pelan "bagaimana rasanya bertemu dengan orang yang sejiwa, setelah bertahun-tahun bersama dengan orang yang sama sekali berbeda dengan apa yang ada di dalam dirimu?" Sebuah perpisahan. Sebelum kami bertemu, dia memutuskan untuk memintal jarak dengan seorang perempuan yang selama ini berjalan di sisinya. Dia hanya berharap, perempuan itu bisa me

Rinai di Langit Biru

Karena kamu adalah awal tanpa akhir, dengan segenap keyakinan dan segunung keraguan. Tapi. Aku ingin. Kamu. Dia selalu datang tiba-tiba, entah darimana, dan sudah berdiri di depanku. Tubuhnya yang tinggi mau tidak mau harus membuatku mendongak untuk hanya sekadar memandang wajahnya yang coklat, yang berkumis tipis, yang rambutnya berantakan, yang tampan dengan kulit gelapnya. Dia tersenyum, memamerkan sederet geligi putih dan rapih yang selalu membuatku iri, menjulurkan tangannya kepadaku, mengajakku pergi, berlari.