Posts

Showing posts from 2010

Jembatan Merah : Akan Kunanti Dia Di Sini Bertemu Lagi (Bagian 2)

Image
Dengan menumpang mobil Doni, Pramudya dan Firman dibawa ke jembatan merah. Sebuah jembatan besi bercat merah yang membentang di atas sungai kalimas, terletak di depan Jembatan Merah Plaza yang biasa disebut JMP dan senantiasa dipadati para tukang becak yang mangkal menutupi badan jembatan. Kekusaman telah menyelimuti jembatan bersejarah ini sehingga sama sekali tak nampak nilai historisnya, hanya terlihat seperti jembatan biasa. Doni memarkir mobilnya di area parkiran mobil JMP. Andin, Rain, Doni dan Firman telah turun dari dalam mobil, tapi Pramudya masih duduk diam di dalam dan sama sekali tak mau beranjak dari sana.

Jembatan Merah : Akan Kunanti Dia Di Sini Bertemu Lagi (Bagian 1)

Image
Tubuh Senja menggigil hebat, ketakutan. Seorang pria tegap nan tampan dengan selarik cahaya mata kecokelatan di seret di hadapannya, masih mengenakan baju militer lengkap berpangkat yang kini dipenuhi noda darah menghitam. Wajah eloknya tak lagi tampak di antara carut marut luka yang ditorehkan. Senja nyaris tak mengenali wajah kekasihnya itu kalau saja tak ada nama sang kekasih di baju militernya, tersulam dengan huruf-huruf emas : Pramudya. Nafas Senja seketika terhenti, dadanya serasa ingin meledak dan mulutnya ingin berteriak sekencang-kencangnya saat itu juga. Bagaimanalah mungkin seorang wanita, yang meskipun berdiri kokoh bak karang, dapat tegar menyaksikan kekasih hatinya disiksa di hadapannya. Sang kekasih sama sekali tak berteriak kesakitan atau mengeluh, atau berteriak ketakutan memohon pengampunan. Dia hanya diam bak arca, dipukul pun dia tak berkutik. Dia menatap Senja dengan pandangan yang paling menyakitkan yang belum pernah Senja temui, di balik kelopak matanya y

Jembatan Merah : The Story Behind

Tadinya saya mau buat cerpen yang singkat aja tentang seorang mantan perwira yang mengalami amnesia dan lupa dengan kekasihnya sendiri. Tapi ternyata malah jadi melebar ke Jembatan Merah. Ya udah, sekalian aja dibahas tentang monumen yang satu ini. Dulu waktu SMA kelas 1 saya pernah sekolah di Surabaya. Tapi mungkin karena masih abege, yang maunya serba mudah dan praktis, secara otomatis membuat saya tak tahan tinggal di perantauan dan secara otomatis – lebih karena keabegean saya dulu – saya cuek dengan kota yang penuh situs bersejarah yang satu ini. Saya tidak pernah ngeh kalau kantor pos yang dekat tugu pahlawan itu ternyata sudah sangat lama berdiri di sana, bekas peninggalakn kolonial Belanda. Juga bangunan-bangunan lainnya yang mengelilingi kantor pos Surabaya, dan tugu pahlwan yang tak jauh dari Jembatan Merah. Memang sih waktu itu saya pernah mikir, kok bangunan di tengah kota besar kaya gini gayanya kuno amat. Tidak dipugar atau dipercantik atau apa lah. Jadi kesannya malah

"Letters to Juliet"

What If? Bagaimana Jika? I don't know how your story ended But if what you felt then was a true love Then it's never too late If it was true then Why wouldn't it be true now You need only the courage to follow your heart I don't know what a love like Juliet's feels like A love to leave loved ones for A love to cross oceans for But I'd like to believe if I ever were to feel it That I'd have the courage to seize it.

PASIR Part III (Aku Hanya Sedikit Terlambat Bertemu Dengannya)

Aku menarik kedua kakiku dan merebahkan kepalaku ke atas lutut. Jari jemariku memainkan butiran pasir yang terhampar di sekeliling. Pantai sore ini sangat sepi, hanya ada beberapa orang anak kecil yang bermain air dan sepasang pria dan wanita yang sedang duduk dan saling berhadapan dengan pandangan kaku tak begitu jauh dari tempat aku duduk. Dari ekspresinya, sepertinya mereka berdua tidak tahu apa yang harus mereka katakan atau bahkan tak yakin mengapa mereka berdua bisa ada di tempat itu sehingga si wanita yang mengenakan berkerudung biru itu hanya memainkan sepatunya di atas pasir, membentuk lingkaran. Aku sama tak yakinnya dengan kedua orang itu, kenapa aku bisa ada di pantai ini dan duduk menekuk lutut, memandang hampa ke anak-anak yang bermain air. Di sisi sebelah kiriku, tidak begitu dekat tapi juga tidak begitu jauh, duduk di atas batu karang yang membentang, Pak Inaz, atasanku di kantor. Dia mengenakan kaus berkerah warna biru seperti laut dan celana denim panjang, sama t

Pembahasan Pendek yang Terlupa

Surprised aja nemu tulisan ini di salah satu folder 'hasil karya sendiri' milik saya di dalam laptop. Kapan ya saya jadi sebijak ini? Sampai lupa karena apa saya menulis hal ini. *** Tak ada hal yang pasti di dunia ini kecuali kematian. Apapun yang kita lakukan hari ini, dengan tujuan yang kita tetapkan untuk hari esok, kita bisa saja seratus persen salah dalam memprediksinya. Kita hanya planner , bukan decision maker . Karena itu, setiap merencanakan sesuatu, bersiaplah untuk gagal. Namun satu hal yang pasti selain kematian, kita hidup dari sebuah rumus sebab-akibat. Tak akan ada akibat jika tak ada sebab. Tak akan ada hal besar, jika tak ada hal-hal kecil. Partikel-pertikel kecil itulah yang membentuk kehidupan kita, secara sadar atau tidak.

Inspirasi Itu Datangnya Dari....

Akhir-akhir ini lagi melankolis nih, lagi suka nulis cerpen-cerpen roman sekelas Layar Terkembang atau Sitti Nurbaja. Halah...tidak ding. Cuma lagi suka nulis kisah cinta yang bertahan selama berpuluh-puluh tahun. Kayanya seru juga tuh, membayangkan seorang kakek-kakek berusia 80 tahun mengenang kisah cintanya dengan sang istri yang terjalin sejak 60 tahun silam. Wuih...kisah seperti itu jauh lebih romantis dari kisah cinta manapun. Jauh lebih indah dari kisah Romeo & Juliet, Sang Pek & Eng Tay, Layla & Majnun, atau Cleopatra & Julius Cesar. Sebenarnya sih ide awalnya gara-gara nonton trailer The Notebook. Padahal pas saya nonton ulasan filmnya saya sama sekali gak nangkap apa tema film itu, entah saat itu lagi sibuk apa sambil nonton. Hanya saja yang amat melekat dalam memori saya adalah kisah cinta sepasang remaja hingga mereka beranjak tua renta. Gak tau kenapa, saya kagum aja sama genre cerita kaya gini.

Di Balik Senja

Dua orang wanita tua berjalan pelan memasuki sebuah bangunan tua yang terbengkalai tapi masih tampak kokoh. Meskipun telah ditutupi debu dan tanaman liar, melingkar-lingkar seperti ular di selusur-selusur jendela, menimbulkan kesan horor bagi siapa saja yang mendekatinya, bangunan itu tetap menunjukkan kalau dulu dia menjadi tempat di mana sebuah energi besar berpusat. Energi sekelompok kaum muda yang tak ingin ditindas oleh kekuasaan dan kekayaan. Dua wanita itu memasuki bangunan melalui pintu masuk utama yang tak pernah terkunci lagi sejak dua puluh tahun yang lalu. Bekas jarahan dan pengrusakan oleh orang-orang yang dibutakan matanya oleh kekuasaan masih tergores jelas di setiap senti bangunan, menyebabkan banyak luka yang tak tersembuhkan hingga saat ini. Siapa bilang waktu dapat mengobati semuanya? Bagi penghuni bangunan ini berpuluh-puluh tahun silam, waktu bagi mereka seakan terhenti. Setelah mereka diusir dengan paksa dari tempat mereka berkumpul menyuarakan kebenaran. Waktu

Payung

Salah seorang temanku, Eva, sepertinya adalah wanita yang paling mahir yang pernah aku kenal dalam hal ‘cinta’ – dengan tanda kutip. Bayangkan! Dia sudah berpacaran sebanyak 35 kali dan itu belum termasuk dengan cowok-cowok yang dikencaninya secara singkat. Eva membuatku ngeri sekaligus kagum, mengingat aku bahkan tak punya nyali untuk berkencan singkat dengan seorang cowok manapun di belahan bumi ini. Lain cerita kalau cowok itu adalah alien dari planet lain, mungkin bisa aku pertimbangkan. Eva bukan orang yang suka basa-basi, dan itu sangat membantuku waktu dia bilang sepertinya aku benar-benar butuh pacar. Dia bilang, cinta itu seperti lemon, kau butuh ketrampilan untuk mengubahnya menjadi sesuatu yang manis. Sebab, jika kau salah mengolahnya, dia akan menjadi pahit – alih-alih asam seperti lemon normal lainnya. Dia tak bermaksud memperingatiku, tapi aku tahu sekali nada suaranya menyiratkan kalau dia benar-benar sangat meragukan kemampuanku.

CINTA YANG DIAM

Fhlea bergetar memegang kertas lusuh yang telah menguning itu. Perasaan sedih yang luar biasa menghantuinya. Kertas itu nyaris habis dimakan rayap kalau saja tidak dimasukkan ke dalam sebuah kantong plastik, bersama beberapa lembar foto, buku tulis dan sebuah buku harian. Foto dan buku hariannya telah lama diketahui Fhlea. Dia bahkan telah membacanya hingga selesai, meskipun beberapa helai fotonya agak buram, tapi foto hitam putih itu masih menunjukkan seraut wajah cantik neneknya. Fhlea tidak pernah sadar bahwa muara semua foto dan buku harian itu ada di dalam sehelai kertas usang itu. Saat membongkar barang-barang lama neneknya, Fhlea jauh lebih tertarik dengan foto-foto lama dan buku harian kuno itu. Tapi setelah membaca akhir dari buku harian neneknya, Fhlea tahu masih ada satu hal yang tertinggal. Surat itu . Surat yang tak pernah sempat disampaikan itu.

Syair itu adalah ini....

Tadi pagi aku iseng buka lagi grup FB Kapten Anumerta Pierre Tendean. Dan tanpa sengaja mataku menangkap sebuah lirik lagu yang dituliskan seorang anggota grup di wall yang entah kenapa membuatku berseru dalam hati : Hey! Dia menyebut mata lembut yang selalu aku sebutkan untuk setiap karakter cowok dalam cerpen-cerpenku. Mata lembut yang membuat dada setiap cewek tersentak melihatnya. Err..tidak juga. Di cerpen-cerpenku aku menulis mata yang ‘teduh’ bukan ‘lembut’. Tapi, who cares ? Menurutku kurang lebih artinya sama. Syair lagu itu adalah Nyanyian Kasmaran milik Om Ebiet G. Ade

For those confused words....

Hari ini aku agak sedikit bingung. Aku bingung dengan apa yang aku bingungkan. Pernah dengar seseorang bisa kehilangan kontrol karena kebingungan? Kurasa tidak. Aku normal – sangat normal. Pulang kantor menjelang maghrib, mandi, nulis cerita/internetan/nonton Star Movie/Metro TV/TV One/kadang ANTV. Lantas apa yang membuatku bingung? Aku sedang berusaha mencari tahu. Kuliahku yang belum jalan? Err...bisa jadi. Tapi aku tak terlalu memusingkan hal yang satu ini. Aku kan memang selalu ketinggalan kuliah, makanya belum lulus-lulus sampai sekarang. Kehabisan ide menyelesaikan cerpenku? Itu memang selalu aku alami sejak pertama aku menulis cerpen – jaman SD. Tak masalah, segelas jus nangka di Lalong akan membantuku.

Jika Kau Tidak Melihat Ke Belakang, Kau Tidak Akan Tahu Apa Yang Tertinggal

Itu kalimat yang aku temukan di buku harian tua milikku.Masa-masa saat aku masih jadi abege labil, SMP-SMA. Kebetulan kemarin aku baru pindahan kamar, kamarku yang baru sudah selesai. Warnanya biru – sesuai keinginanku, dan lebih luas dari kamar-kamarku sebelumnya. Ada kamar mandi sendiri lagi, jadi tidak perlu rebutan kamar mandi dengan adik-adikku yang cerewet minta ampun kalau aku mandi sedikit lebih lama dari mereka. Saat pindahan itulah, aku membongkar-bongkar lemari tempat aku menyimpan semua buku-buku milikku jaman aku SMP-SMA. Di dalam sana masih ada beberapa buah buku harian, buku cetak, buku tulis sekolah, soal-soal ujian, foto kopian materi, semuanya masih aku simpan meskipun tidak dengan rapi. Aku memang punya kebiasaan menyimpan kertas-kertas apapun itu selama masih berhubungan dengan sekolahku. Aku merasa tidak nyaman harus membuangnya. Aku rasa pasti suatu saat aku akan membutuhkannya lagi, karena di sanalah ilmu pengetahuan yang aku dapatkan di sekolah ku ‘ikat’. Sepe

Antara Pierre Tendean dan Hiruk Pikuk Jalanan Di Depan Kantor

Image
Kamis, 21 Oktober 2010 Di dalam kantor UPC Hasanuddin pukul 09.43, disertai suara hiruk pikuk jalanan depan kantor Kalau diingat-ingat, aku sudah lupa kapan terakhir kali aku mengisi blog ini. Benar-benar seorang penulis yang parah, jika kehilagan ide dan mood maka aku akan berhenti menulis sampai berbulan-bulan lamanya. Dan itu yang aku rasakan tahun kemarin, hanya ada beberapa cerpen yang berhasil aku tulis, itu pun cerita yang lumayan payah untuk dibaca orang lain. Jadi, let’s start with something new...