Payung
Salah seorang temanku, Eva, sepertinya adalah wanita yang paling mahir yang pernah aku kenal dalam hal ‘cinta’ – dengan tanda kutip. Bayangkan! Dia sudah berpacaran sebanyak 35 kali dan itu belum termasuk dengan cowok-cowok yang dikencaninya secara singkat. Eva membuatku ngeri sekaligus kagum, mengingat aku bahkan tak punya nyali untuk berkencan singkat dengan seorang cowok manapun di belahan bumi ini. Lain cerita kalau cowok itu adalah alien dari planet lain, mungkin bisa aku pertimbangkan.
Eva bukan orang yang suka basa-basi, dan itu sangat membantuku waktu dia bilang sepertinya aku benar-benar butuh pacar. Dia bilang, cinta itu seperti lemon, kau butuh ketrampilan untuk mengubahnya menjadi sesuatu yang manis. Sebab, jika kau salah mengolahnya, dia akan menjadi pahit – alih-alih asam seperti lemon normal lainnya. Dia tak bermaksud memperingatiku, tapi aku tahu sekali nada suaranya menyiratkan kalau dia benar-benar sangat meragukan kemampuanku.
Eva, si cantik berambut coklat tinggi semampai bak model catwalk di Paris sana mengenalkanku pada teman satu kursus Yoga yang diikutinya. Namanya Pierre, cowok Prancis yang nyasar di Indonesia. Pierre mengingatkanku pada salah seorang sosok pahlawan revolusi yang kebetulan memiliki nama yang sama. Tubuhnya tinggi-atletis-proporsional dengan mata dan rambut yang sama coklatnya. Potongan rambutnya juga benar-benar mirip dengan pahlawan revolusi yang tampan itu. Cepak habis dan menyisakan sejumput rambut di tengah kepalanya. Dengan rambut seperti Ronaldo jaman piala dunia 2002 itu anehnya dia nampak mempesona.
Mengingat aku sangat awam dengan yang namanya yoga dan aku hanya mengetahui ucapan salam ‘namaste’ mereka, jadi aku mencoba mengajak Pierre mengobrol tentang bidang yang cukup aku kuasai, Akuntansi-Keuangan. Berhubung aku salah seorang staff keuangan di sebuah perusahaan public utilities.
Pierre menganggapku seorang wanita yang lucu untuk orang seusiaku, 26 tahun. Dia merasa aneh di kencan pertamanya aku membahas soal laporan perkembangan modal yang belum selesai aku buat padahal deadline tinggal sehari lagi. Dia bahkan terpingkal-pingkal saat aku mengatakan aku senang dengan angka-angka. Dia bilang dia tak suka pekerjaan seperti pekerjaanku, duduk di belakang meja seharian membuat punggungnya sakit. Dan yah, pekerjaan seperti itu memang tak cocok untuknya. Dia punya tampang dan tubuh seorang model, pasti dia lebih cocok menjadi seorang artis atau model untuk Channel, Dolce &Gabbana atau apalah.
“Aku seorang polisi” kata Pierre dengan wajah serius sambil memainkan sendok gula miliknya, mengaduk-aduk capuccino di hadapannya.
Mendengar perkataannya itu, aku langsung tutup buku dengannya. Tanpa bermaksud mendiskriminasikan atau apa, tapi pengalaman tiga kali ditilang oleh seorang polantas membuatku trauma berada di dekat-dekat mereka.
Sahabatku yang lain, Mutiara, seorang Manajer Keuangan yang bekerja pada Perusahaan advertising di lantai 3 berkata lain. Dia menikah di usia yang untuk ukuran nenekku, amat sangat terlambat. 32 tahun, dan nyaris membuatku frustasi saat usianya sudah kepala tiga, dia belum juga memutuskan untuk menikah dengan pacarnya yang hanya seorang pegawai biasa di Perusahaan lantai 5.
“Cinta itu seperti angin, Va” begitu katanya saat kami sedang menyantap makan siang kami di kantin yang ada di lantai dasar. Seperti biasa, dia yang mentarktirku. Perbedaan pengahasilan antara aku dan dia cukup dibilang timpang kalau tidak bisa dibilang patah sebelah. Jadi, Mutiara selalu merasa kewajibannya-lah mentraktirku makan siang meski beberapa kali aku sudah menolak.
“Kenapa aku bilang cinta itu seperti angin? Karena sekeras apapun kau berusaha menangkapnya, dia pasti tak akan bisa kau genggam dengan sempurna, apalagi menyimpannya. Jadi rasakan saja hembusannya membelai rambutmu, biarkan saja dia terbang berpendar di sekitarmu, tak usah kau paksakan untuk menyimpan angin untuk milikmu saja”
“Jadi maksudmu, cinta itu sesuatu yang bisa dinikmati orang lain? Tidak terpaku pada satu orang saja? Kau mau poliandri, Ra?” tanyaku polos.
“Huss...sembarangan. aku tidak mengatakannya secara harafiah. Itu hanya ungkapan. Karena aku pernah mencoba untuk menyimpan angin itu untuk milikku sendiri, dan kau tahu? Angin itu nyaris menjadi badai dan memporak-porandakan mimpi-mimpiku”
Aku manggut-manggut, dan beberapa hari kemudian, Mutiara mengenalkanku pada kolega perusahaannya, seorang pengacara muda yang tampan, bertampang mirip Hugh Dancy versi intelek.
Mutiara mengatur kencan untuk kami di sebuah restoran tradisonal yang menyediakan berbagai menu makanan dari seluruh nusantara. Belajar dari pengalamanku berkencan dengan Pierre, aku memutuskan tak akan membahas masalah pekerjaan di kencan pertamaku dengan si pengacara muda bernama Firzi.
Sesuai janji, kami bertemu di restoran tradisional itu pada hari kamis malam. Firzi ternyata sangat tampan meskipun memakai jas resmi seakan-akan dia mau maju di pengadilan membela seorang klien dan bukannya hendak makan malam. Amat berbeda dengan Pierre yang lebih senang memakai baju kasual. Firzi memperbaiki letak kacamatanya saat duduk di hadapanku, kelihatannya dia agak gugup. Aku mulai berpikir membuatnya merasa senyaman mungkin di kencan pertama ini.
Aku mulai membicarakan hal yang ringan-ringan, tapi dia sepertinya tak begitu peduli dan lebih sering melirik arloji jutaan rupiah miliknya. Bolak-balik dia melirik ke arah pintu masuk restoran dan arlojinya, tanpa sekalipun menanggapi pembicaraanku. Akhirnya setelah setengah jam aku bermonolog – yang sesungguhnya membuatku heran aku mampu bertahan bicara seorang diri selama itu – aku mendorong gelas minuman dingin milikku ke arahnya hingga menyentuh ujung jarinya. Dia berjengit kaget disentuh minuman dingin.
“Kamu nungguin apa sih?” gerutuku, menarik kembali gelasku ketika dia sadar aku telah berhenti bicara. “daritadi bolak balik liatin jam tangan. Ada janji ya?”
“Eh...” dia tampak semakin gugup “memang, aku minta maaf. Tapi ada yang harus kukerjakan, masalah klienku. Aku harus kembali ke kantor lima belas menit lagi, masih ada sedikit waktu. Lanjutkanlah”
“Apanya?” tanyaku “apa yang harus aku lanjutkan?”
“Pembicaraanmu. Tadi kau membahas tentang sistem hukum di negara kerajaan kan? Jadi menurutmu, adakah beda sistem hukum di negara kita dengan negara mereka yang berprinsip pada monarki absolut?”
Aku nyaris saja menangis mendengar perkataannya, dia sama sekali tak mendengarkanku bicara sejak tadi, tidak sedikit pun. “Err, kurasa yang kubicarakan tadi tentang liburanku ke Makassar, bukan tentang masalah sistem hukum dari negara apapun. Tapi sudahlah, kau boleh balik ke kantor sekarang”. Aku bangkit dari kursiku, mengeluarkan dua helai uang kertas seratus ribuan di atas meja dan meninggalkan Firzi duduk melongo sendirian di dalam restoran. Kembali aku tutup buku. Firzi sebaiknya berpikir untuk menikah dengan pekerjaannya, dan bukannya menikah dengan seorang wanita, atau manusia paling tidak.
Tapi aku tidak kapok. Kali ini, Bilqis, sahabatku dulu jaman SMA yang memberi pendapat. Meskipun kini Bilqis agak berbeda – dia telah berkerudung amat panjang dan bercadar – tapi aku tahu hanya dia yang paling mengerti denganku. Saat SMA kami satu geng, kemana-mana bersama. Curhat-curhatan sudah jadi makanan sehari-hari kami, dan meskipun dulu Bilqis belum berjilbab, apalagi bercadar, tapi aku tahu dia temanku yang paling ‘lurus’ dan paling alim yang pernah kukenal. Sejak SMA Bilqis tak pernah pacaran, sama sepertiku. Kami berdua tidak cukup beruntung untuk mendapatkan pacar saking pemilihnya kami.
Aku kembali bertemu Bilqis dua tahun lalu, setelah kami kehilangan kontak sejak lulus SMA. Dia membuatku pangling setengah mati, ditambah dengan gaya bicaranya yang jauh lebih anggun dan terpelajar. “Cinta itu sesuatu yang sangat sakral, Va” katanya lembut “kau tak bisa seenaknya mengatakan kau cinta pada seseorang tanpa membuktikan apapun. Cinta harus selalu dibayar dengan aplikasi nyata, begitulah cinta yang seharusnya kita jalani”
“Sebenarnya cinta tak memerlukan alasan. Tapi kita harus mencintai seseorang karena Allah. Jadikanlah Allah sebagai alasan untuk mencintainya, dan jadikan pula Allah sebagai alasan untuk membencinya. Hanya dengan cara itu kita bisa selamat dari cinta yang semu, yang dibisikkan oleh para iblis untuk menyeret kita ke neraka jahannam”
Oke, Bilqis memang sepertinya nampak mulai puitis, tapi mau tak mau aku setuju dengan pendapatnya. Mencintai seseorang tak perlu alasan kan? Dulu aku pernah cinta setengah hidup mati sama kakak kelasku yang seorang pemain sepak bola andalan sekolah. Alasannya? Aku tak tahu persis. Kalau dibilang karena dia jago main bola, seharusnya aku tak cinta lagi sama dia kan saat kakinya patah ditabrak truk pengangkut sampah depan rumahnya? Tapi nyatanya aku tetap saja berdebar-debar serasa mau meledak setiap kali dia menyapaku. Lantas apa? Kalau dibilang tampan, dibanding Xabi Alonso atau Steven Gerrard jelas dia kalah jauh, bagai Poseidon dan Zeus, bumi dan lautan.
Tak seperti Eva dan Mutiara yang mengenalkanku pada teman cowok mereka, Bilqis malah melarangku dekat-dekat dengan makhluk bernama cowok itu. Aku lega, Bilqis tak menyarankan kencan seperti Eva dan Mutiara yang membuatku harus dua kali tutup buku. Bilqis menasihatiku panjang lebar soal zina, soal haramnya wanita bersentuhan dengan pria, larangan berdua-duaan, larangan memandang, dan masih banyak lagi yang dia jelaskan secara rinci lengkap dengan dalil dalam Alquran dan Hadits.
Lantas bagaimana dia bisa menikah dan kini punya 2 orang anak?
“Oh, itu” wajah tanpa cadarnya bersemu merah. Saat itu aku bekunjung ke rumah Bilqis. “ada proses secara islami untuk menikah, Va. Tanpa harus melalui begitu banyak dosa zina. Hati kita akan tetap terjaga, kehormatan kita pun tetap terjaga.”
“Tanpa berpacaran? Tanpa saling mengenal?” erangku. Membayangkannya saja aku tak sanggup. Menikah dengan orang asing? Bagaimana mungkin?
“Biarkan orang lain – orang yang kita percaya – untuk menilai dan mengenalnya. Kita hanya butuh rekomendasi untuk memutuskan melangkah lebih jauh atau tidak. Pernikahan itu sesuatu yang agung namun tidak rumit, jadi tak usah kita menambah rumit dengan harus berpacaran dulu selama beberapa tahun sebelum kita yakin dia orang yang tepat untuk kita atau bukan.”
Oke, sekali lagi aku mulai setuju dengan Bilqis.
“Kau mencintai suamimu?” selidikku.
“Tentu saja” jawabnya tegas.
“Sejak kapan?”
“Sejak dia menjadi suamiku, dan setiap hari sampai saat ini. Aku selalu jatuh cinta padanya setiap hari”
Romantis. Pikirku.
Kusimpan ini baik-baik dalam benakku. Aku tak ingin seorang cowok yang memperumit hidupku, aku hanya ingin seorang cowok yang membuat semuanya nampak mudah untuk kujalani, seberat apapun itu.
Oh,ya. Aku juga punya seorang teman kantor. Namanya Feni, usianya baru 25 tahun dan menjadi karyawati paling cantik di kantor, membuat istri-istri atasan-atasan kami selalu was-was jika Feni berada di dekat-dekat mereka. Aku tak pernah meminta pendapat apa-apa soal kehidupan pribadiku pada Feni karena hubungan kami hanya sebatas masalah pekerjaan dan tak pernah sekalipun kami membahas masalah pribadi kami. Sampai suatu hari aku kehujanan dan singgah sebentar di rumah kontrakan Feni yang letaknya sangat dekat dengan kantor. Di sana pertama kali aku tahu, kalau kakak Feni ternyata auditor muda yang bekerja di Perusahaan akuntan publik yang secara berkala memeriksa laporan keuangan di Perusahaan kami. Feni tak pernah bilang-bilang, karena masalah kode etik katanya.
Aku tak tertarik membahas kakaknya karena beberapa alasan. Bukan karena dia tidak tampan, mengingat betapa cantiknya Feni. Dia bahkan terlalu tampan untukku. Alasan pertama, aku sudah melihatnya dua tahun terakhir bolak-balik di kantor kami, meminta data-data keuangan yang telah kususun dengan rapi dan membongkarnya, menyuruhku ini itu, perintah sana-perintah sini seolah-olah dia atasanku saja. Itu membuatku sebal setiap kali dia menampakkan batang hidungnya di depan lift lantai 9, kantorku.
Alasan kedua, dia terlalu pendiam bahkan untuk ukuran Saphira, karyawati Perusahaan lantai 7 yang terkenal sebagai karyawan paling pendiam di gedung ini. Aku tidak begitu suka dengan orang yang pendiam, mereka tak menarik buatku.
Alasan ketiga, dia seusia denganku, dan aku sama sekali tak tertarik dengan cowok yang sebaya denganku.
Alasan keempat, aku baru tahu dia kakak Feni setahun terakhir ini. Karena Feni tak pernah bilang dia itu kakaknya, jadi aku merasa tak perlu memperhatikannya, sehingga aku tak pernah tertarik padanya dan terus terbawa sampai aku tahu dia kakak Feni.
Dan alasan kelima, kembali ke profesinya. Oh ya ampun, aku tak mau lagi dekat-dekat dengan cowok yang mengerjakan hal yang sama denganku. Neraca keuangan, laporan laba/rugi, arus kas, semuanya nyaris membuatku gila dan aku tak mau ditambah dengan memasukkan seseorang yang berprofesi sama ke dalam hidupku. Jadi, sejak awal aku sudah tutup buku dengan si auditor muda.
Tapi di akhir periode pembukuan, selain penyesuaian, kita selalu butuh rekonsiliasi kan? Agar saldo kita di akhir periode seimbang.
Di saat itulah si auditor muda bernama Wildan kembali muncul di kantor membawa segudang pekerjaan untukku. Membongkar lagi laporan keuangan sejak awal periode hingga akhir periode.
Widan selalu lembur, bisa sampai jam 10 malam dia duduk di depan meja, menekuri laptopnya yang penuh berisi angka-angka, di balik tumpukan laporan dan bukti-bukti yang harus dia audit. Kadang aku kecipratan lembur dan harus pulang pukul 9 malam setelah memastikan Wildan tak memerlukan data-data lain sampai esok harinya.
Saat itu jam di kantor sudah merayap dengan pelan namun pasti ke arah 10. Aku mengecek kembali apa-apa yang diperlukan Wildan.
“Tidak, terima kasih. Sampai besok” katanya singkat tanpa sedikit pun melihat ke arahku. Jari-jari tangannya sibuk menekan-nekan tuts keyboard sambil sesekali melirik ke arah tumpukan kertas di samping laptopnya. Dia butuh kopi. Pikirku.
Aku pergi ke pantry dan menyeduh sendiri dua gelas kopi untukku dan Wildan. Di luar sedang hujan deras, jadi kuputuskan aku akan minum kopi sebentar sambil melihat-lihat apa yang dikerjakan Wildan.
Perlahan aku meletakkan gelas kertas berisi kopi yang masih mengepul ke atas meja Wildan yang bebas kertas. Dia berhenti mengetik dan menoleh ke arahku. “Terima kasih” katanya singkat (lagi-lagi). Aku mengangguk dan duduk di kursi di depan meja Wildan, menghirup aroma kopi kesukaanku dari dalam gelas sebelum akhirnya meminumnya seteguk demi seteguk.
Aku pikir Wildan akan istirahat sejenak karena melihat kopi yang aku suguhkan, tapi dia ternyata mematikan laptopnya dan meraih gelas kopi, kemudian menyesap kopinya seteguk demi seteguk hingga tandas. Aku yang masih memegang gelas berisi setengah kopi memandangnya dengan heran sekaligus kagum, kopi itu masih panas dan dia langsung menelannya begitu saja. Buru-buru kuminum kopiku karena kulihat Wildan sudah memasukkan laptopnya ke dalam tas dan mengambil jasnya yang tersampir di belakang kursi putar miliknya. Jas berwarna abu-abu cerah yang amat cocok dengan dasi motif garis-garis miliknya.
“Kau belum pulang?” tanya Wildan padaku yang masih berusaha menghabiskan kopi milikku yang rasanya benar-benar membakar lidah. Biasanya aku minum kopi dengan santai dan menghabiskan hampir setengah jam hanya dengan menghirup aroma kopi dan menyesapnya pelan-pelan, sehingga aku tak terlatih menghabiskan setengah gelas kopi yang masih mengepul sekaligus. Aku mengangguk dari balik gelas kertas yang masih melekat di mulutku.
Setelah nyaris tersedak oleh kopi, aku berlari menyambar tas dan jaketku kemudian menyusul Wildan yang sudah berdiri di depan lift – menungguku. Rasanya aneh aku berdiri di samping tubuh tinggi tegapnya, seperti sepasang kekasih yang baru pulang bekerja. Apalagi ketika pintu lift terbuka, di dalamnya hanya ada seorang bapak-bapak yang kelihatannya baru saja dihantam badai karena penampilannya benar-benar awut-awutan. Kami seperti sepasang pengantin yang akan dinikahkan oleh seorang penghulu korban hantaman badai di dalam lift, hening dan khidmat.
Lift berdenting, kami sudah sampai di lantai dasar. Kami bertiga keluar lift dan berjalan pelan keluar gedung, ke arah pintu masuk kaca yang lebar dan membuka setiap kali kami menginjak lantai di dekat pintu. Tapi kali ini pintu lebarnya sudah dikunci, dan kami hanya bisa melewati pintu kecil di samping pintu kaca besar untuk keluar.
Di luar, hujan masih turun dengan derasnya, menghantam-hantam ke atas jalanan beraspal dan membentuk kubangan air di banyak tempat. Bapak-bapak korban hantaman badai sudah sejak tadi masuk ke dalam mobilnya tanpa sedikitpun mempedulikan kami. Aku menarik nafas panjang, sepertinya aku akan kesulitan menemukan taksi yang lewat dengan cuaca seperti ini. Aku melirik ke arah Wildan yang tampak tenang menunggu taksi di sampingku.
Beberapa menit kemudian, bagai sebuah anugrah yang dikirimkan untuku kami, sebuah taksi berhenti di depan pintu gerbang gedung sebelah kanan. Supir taksi itu sepertinya tidak melihat kami – dua calon penumpang yang menatap penuh harap ke arahnya, sehingga dia hanya diam di luar pagar gedung. “Taksi yang itu buatku saja, ya” pintaku pada Wildan, aku sudah sangat mengantuk meskipun baru saja meminum segelas kopi dan sudah sangat ingin pulang. Wildan mengangguk. Aku memberi pandangan terima-kasih yang terbaik yang aku punya dan bersiap-siap berlari menembus tirai hujan di depan sana.
“Tunggu!” panggil Wildan ketika aku baru saja akan melangkahkan kaki ke tempat bebas-atap. Dia mengeluarkan sesuatu dari tas kerjanya, yang membuatku nyaris terjungkal melihatnya. Sebuah payung! Yah! Seorang auditor baru saja mengeluarkan sebuah payung dari dalam tas kerjanya. “Biar aku antar sampai ke taksi. Hujan sangat deras, kau bisa basah kuyup sampai di sana”
Wildan membuka payungnya dan berjalan ke arahku. Dia memayungiku dan kami berdua berjalan bersisian ke arah taksi yang letaknya memang cukup jauh. Air hujan menerpa pinggir tubuhku, membuat seperempat bajuku basah kena air hujan. Wildan mempercepat langkahnya ketika aku mulai bersin karena kedinginan.
Kami sampai di depan taksi dengan selamat dan dengan sigap dia langsung membukakanku pintu taksi kemudian menyuruhku masuk. “Terima kasih!” teriakku dari dalam taksi yang mulai berjalan perlahan membelah hujan. Ah, mungkin dia tak mendengarnya.
Ketika taksi yang kutumpangi semakin menjauh, tiba-tiba perasaan aneh merasuk dalam hatiku. Aku menoleh ke kaca belakang taksi, mencari-cari sosok Wildan. Sayangnya hujan yang begitu deras membuat jangkauan pandanganku terbatas. Rasa-rasanya aku ingin bilang ke supir taksi untuk berputar balik ke belakang, kembali ke tempat Wildan berdiri memegang payung tadi.
***
Ahya, sekarang jika seandainya ada yang meminta pendapatku, aku hanya ingin bilang. Cinta itu adalah proses yang sedemikian panjang dan tak tertebak kemana arahnya. Bayangkan! Butuh waktu beratus-ratus hari buatku sebelum akhirnya aku sadar, segala yang ada padanya membuatku jatuh cinta. Mungkin karena aku terlalu terbiasa dengan kehadirannya, sehingga aku tak dapat menangkap sinyal aneh yang dikirim oleh otak menuju ke hatiku. Setelah melalui beratus-ratus hari itu, melihat Wildan memegang payung berdiri di bawah hujan sana, hatiku dapat menerima sinyal aneh itu dengan begitu jelas, disusul dengan sinyal-sinyal lain yang telah lebih awal dikirim tapi belum juga diterima oleh hatiku.
Ya, seperti itulah. Tapi kubiarkan saja semua mengalir seperti apa adanya, kubiarkan saja dia lalu lalang di hadapanku, memerintahku ini itu, menyuruhku ini itu, dengan segala tingkahnya. Because, Love will find its own way, won’t it?
Eva bukan orang yang suka basa-basi, dan itu sangat membantuku waktu dia bilang sepertinya aku benar-benar butuh pacar. Dia bilang, cinta itu seperti lemon, kau butuh ketrampilan untuk mengubahnya menjadi sesuatu yang manis. Sebab, jika kau salah mengolahnya, dia akan menjadi pahit – alih-alih asam seperti lemon normal lainnya. Dia tak bermaksud memperingatiku, tapi aku tahu sekali nada suaranya menyiratkan kalau dia benar-benar sangat meragukan kemampuanku.
Eva, si cantik berambut coklat tinggi semampai bak model catwalk di Paris sana mengenalkanku pada teman satu kursus Yoga yang diikutinya. Namanya Pierre, cowok Prancis yang nyasar di Indonesia. Pierre mengingatkanku pada salah seorang sosok pahlawan revolusi yang kebetulan memiliki nama yang sama. Tubuhnya tinggi-atletis-proporsional dengan mata dan rambut yang sama coklatnya. Potongan rambutnya juga benar-benar mirip dengan pahlawan revolusi yang tampan itu. Cepak habis dan menyisakan sejumput rambut di tengah kepalanya. Dengan rambut seperti Ronaldo jaman piala dunia 2002 itu anehnya dia nampak mempesona.
Mengingat aku sangat awam dengan yang namanya yoga dan aku hanya mengetahui ucapan salam ‘namaste’ mereka, jadi aku mencoba mengajak Pierre mengobrol tentang bidang yang cukup aku kuasai, Akuntansi-Keuangan. Berhubung aku salah seorang staff keuangan di sebuah perusahaan public utilities.
Pierre menganggapku seorang wanita yang lucu untuk orang seusiaku, 26 tahun. Dia merasa aneh di kencan pertamanya aku membahas soal laporan perkembangan modal yang belum selesai aku buat padahal deadline tinggal sehari lagi. Dia bahkan terpingkal-pingkal saat aku mengatakan aku senang dengan angka-angka. Dia bilang dia tak suka pekerjaan seperti pekerjaanku, duduk di belakang meja seharian membuat punggungnya sakit. Dan yah, pekerjaan seperti itu memang tak cocok untuknya. Dia punya tampang dan tubuh seorang model, pasti dia lebih cocok menjadi seorang artis atau model untuk Channel, Dolce &Gabbana atau apalah.
“Aku seorang polisi” kata Pierre dengan wajah serius sambil memainkan sendok gula miliknya, mengaduk-aduk capuccino di hadapannya.
Mendengar perkataannya itu, aku langsung tutup buku dengannya. Tanpa bermaksud mendiskriminasikan atau apa, tapi pengalaman tiga kali ditilang oleh seorang polantas membuatku trauma berada di dekat-dekat mereka.
Sahabatku yang lain, Mutiara, seorang Manajer Keuangan yang bekerja pada Perusahaan advertising di lantai 3 berkata lain. Dia menikah di usia yang untuk ukuran nenekku, amat sangat terlambat. 32 tahun, dan nyaris membuatku frustasi saat usianya sudah kepala tiga, dia belum juga memutuskan untuk menikah dengan pacarnya yang hanya seorang pegawai biasa di Perusahaan lantai 5.
“Cinta itu seperti angin, Va” begitu katanya saat kami sedang menyantap makan siang kami di kantin yang ada di lantai dasar. Seperti biasa, dia yang mentarktirku. Perbedaan pengahasilan antara aku dan dia cukup dibilang timpang kalau tidak bisa dibilang patah sebelah. Jadi, Mutiara selalu merasa kewajibannya-lah mentraktirku makan siang meski beberapa kali aku sudah menolak.
“Kenapa aku bilang cinta itu seperti angin? Karena sekeras apapun kau berusaha menangkapnya, dia pasti tak akan bisa kau genggam dengan sempurna, apalagi menyimpannya. Jadi rasakan saja hembusannya membelai rambutmu, biarkan saja dia terbang berpendar di sekitarmu, tak usah kau paksakan untuk menyimpan angin untuk milikmu saja”
“Jadi maksudmu, cinta itu sesuatu yang bisa dinikmati orang lain? Tidak terpaku pada satu orang saja? Kau mau poliandri, Ra?” tanyaku polos.
“Huss...sembarangan. aku tidak mengatakannya secara harafiah. Itu hanya ungkapan. Karena aku pernah mencoba untuk menyimpan angin itu untuk milikku sendiri, dan kau tahu? Angin itu nyaris menjadi badai dan memporak-porandakan mimpi-mimpiku”
Aku manggut-manggut, dan beberapa hari kemudian, Mutiara mengenalkanku pada kolega perusahaannya, seorang pengacara muda yang tampan, bertampang mirip Hugh Dancy versi intelek.
Mutiara mengatur kencan untuk kami di sebuah restoran tradisonal yang menyediakan berbagai menu makanan dari seluruh nusantara. Belajar dari pengalamanku berkencan dengan Pierre, aku memutuskan tak akan membahas masalah pekerjaan di kencan pertamaku dengan si pengacara muda bernama Firzi.
Sesuai janji, kami bertemu di restoran tradisional itu pada hari kamis malam. Firzi ternyata sangat tampan meskipun memakai jas resmi seakan-akan dia mau maju di pengadilan membela seorang klien dan bukannya hendak makan malam. Amat berbeda dengan Pierre yang lebih senang memakai baju kasual. Firzi memperbaiki letak kacamatanya saat duduk di hadapanku, kelihatannya dia agak gugup. Aku mulai berpikir membuatnya merasa senyaman mungkin di kencan pertama ini.
Aku mulai membicarakan hal yang ringan-ringan, tapi dia sepertinya tak begitu peduli dan lebih sering melirik arloji jutaan rupiah miliknya. Bolak-balik dia melirik ke arah pintu masuk restoran dan arlojinya, tanpa sekalipun menanggapi pembicaraanku. Akhirnya setelah setengah jam aku bermonolog – yang sesungguhnya membuatku heran aku mampu bertahan bicara seorang diri selama itu – aku mendorong gelas minuman dingin milikku ke arahnya hingga menyentuh ujung jarinya. Dia berjengit kaget disentuh minuman dingin.
“Kamu nungguin apa sih?” gerutuku, menarik kembali gelasku ketika dia sadar aku telah berhenti bicara. “daritadi bolak balik liatin jam tangan. Ada janji ya?”
“Eh...” dia tampak semakin gugup “memang, aku minta maaf. Tapi ada yang harus kukerjakan, masalah klienku. Aku harus kembali ke kantor lima belas menit lagi, masih ada sedikit waktu. Lanjutkanlah”
“Apanya?” tanyaku “apa yang harus aku lanjutkan?”
“Pembicaraanmu. Tadi kau membahas tentang sistem hukum di negara kerajaan kan? Jadi menurutmu, adakah beda sistem hukum di negara kita dengan negara mereka yang berprinsip pada monarki absolut?”
Aku nyaris saja menangis mendengar perkataannya, dia sama sekali tak mendengarkanku bicara sejak tadi, tidak sedikit pun. “Err, kurasa yang kubicarakan tadi tentang liburanku ke Makassar, bukan tentang masalah sistem hukum dari negara apapun. Tapi sudahlah, kau boleh balik ke kantor sekarang”. Aku bangkit dari kursiku, mengeluarkan dua helai uang kertas seratus ribuan di atas meja dan meninggalkan Firzi duduk melongo sendirian di dalam restoran. Kembali aku tutup buku. Firzi sebaiknya berpikir untuk menikah dengan pekerjaannya, dan bukannya menikah dengan seorang wanita, atau manusia paling tidak.
Tapi aku tidak kapok. Kali ini, Bilqis, sahabatku dulu jaman SMA yang memberi pendapat. Meskipun kini Bilqis agak berbeda – dia telah berkerudung amat panjang dan bercadar – tapi aku tahu hanya dia yang paling mengerti denganku. Saat SMA kami satu geng, kemana-mana bersama. Curhat-curhatan sudah jadi makanan sehari-hari kami, dan meskipun dulu Bilqis belum berjilbab, apalagi bercadar, tapi aku tahu dia temanku yang paling ‘lurus’ dan paling alim yang pernah kukenal. Sejak SMA Bilqis tak pernah pacaran, sama sepertiku. Kami berdua tidak cukup beruntung untuk mendapatkan pacar saking pemilihnya kami.
Aku kembali bertemu Bilqis dua tahun lalu, setelah kami kehilangan kontak sejak lulus SMA. Dia membuatku pangling setengah mati, ditambah dengan gaya bicaranya yang jauh lebih anggun dan terpelajar. “Cinta itu sesuatu yang sangat sakral, Va” katanya lembut “kau tak bisa seenaknya mengatakan kau cinta pada seseorang tanpa membuktikan apapun. Cinta harus selalu dibayar dengan aplikasi nyata, begitulah cinta yang seharusnya kita jalani”
“Sebenarnya cinta tak memerlukan alasan. Tapi kita harus mencintai seseorang karena Allah. Jadikanlah Allah sebagai alasan untuk mencintainya, dan jadikan pula Allah sebagai alasan untuk membencinya. Hanya dengan cara itu kita bisa selamat dari cinta yang semu, yang dibisikkan oleh para iblis untuk menyeret kita ke neraka jahannam”
Oke, Bilqis memang sepertinya nampak mulai puitis, tapi mau tak mau aku setuju dengan pendapatnya. Mencintai seseorang tak perlu alasan kan? Dulu aku pernah cinta setengah hidup mati sama kakak kelasku yang seorang pemain sepak bola andalan sekolah. Alasannya? Aku tak tahu persis. Kalau dibilang karena dia jago main bola, seharusnya aku tak cinta lagi sama dia kan saat kakinya patah ditabrak truk pengangkut sampah depan rumahnya? Tapi nyatanya aku tetap saja berdebar-debar serasa mau meledak setiap kali dia menyapaku. Lantas apa? Kalau dibilang tampan, dibanding Xabi Alonso atau Steven Gerrard jelas dia kalah jauh, bagai Poseidon dan Zeus, bumi dan lautan.
Tak seperti Eva dan Mutiara yang mengenalkanku pada teman cowok mereka, Bilqis malah melarangku dekat-dekat dengan makhluk bernama cowok itu. Aku lega, Bilqis tak menyarankan kencan seperti Eva dan Mutiara yang membuatku harus dua kali tutup buku. Bilqis menasihatiku panjang lebar soal zina, soal haramnya wanita bersentuhan dengan pria, larangan berdua-duaan, larangan memandang, dan masih banyak lagi yang dia jelaskan secara rinci lengkap dengan dalil dalam Alquran dan Hadits.
Lantas bagaimana dia bisa menikah dan kini punya 2 orang anak?
“Oh, itu” wajah tanpa cadarnya bersemu merah. Saat itu aku bekunjung ke rumah Bilqis. “ada proses secara islami untuk menikah, Va. Tanpa harus melalui begitu banyak dosa zina. Hati kita akan tetap terjaga, kehormatan kita pun tetap terjaga.”
“Tanpa berpacaran? Tanpa saling mengenal?” erangku. Membayangkannya saja aku tak sanggup. Menikah dengan orang asing? Bagaimana mungkin?
“Biarkan orang lain – orang yang kita percaya – untuk menilai dan mengenalnya. Kita hanya butuh rekomendasi untuk memutuskan melangkah lebih jauh atau tidak. Pernikahan itu sesuatu yang agung namun tidak rumit, jadi tak usah kita menambah rumit dengan harus berpacaran dulu selama beberapa tahun sebelum kita yakin dia orang yang tepat untuk kita atau bukan.”
Oke, sekali lagi aku mulai setuju dengan Bilqis.
“Kau mencintai suamimu?” selidikku.
“Tentu saja” jawabnya tegas.
“Sejak kapan?”
“Sejak dia menjadi suamiku, dan setiap hari sampai saat ini. Aku selalu jatuh cinta padanya setiap hari”
Romantis. Pikirku.
Kusimpan ini baik-baik dalam benakku. Aku tak ingin seorang cowok yang memperumit hidupku, aku hanya ingin seorang cowok yang membuat semuanya nampak mudah untuk kujalani, seberat apapun itu.
Oh,ya. Aku juga punya seorang teman kantor. Namanya Feni, usianya baru 25 tahun dan menjadi karyawati paling cantik di kantor, membuat istri-istri atasan-atasan kami selalu was-was jika Feni berada di dekat-dekat mereka. Aku tak pernah meminta pendapat apa-apa soal kehidupan pribadiku pada Feni karena hubungan kami hanya sebatas masalah pekerjaan dan tak pernah sekalipun kami membahas masalah pribadi kami. Sampai suatu hari aku kehujanan dan singgah sebentar di rumah kontrakan Feni yang letaknya sangat dekat dengan kantor. Di sana pertama kali aku tahu, kalau kakak Feni ternyata auditor muda yang bekerja di Perusahaan akuntan publik yang secara berkala memeriksa laporan keuangan di Perusahaan kami. Feni tak pernah bilang-bilang, karena masalah kode etik katanya.
Aku tak tertarik membahas kakaknya karena beberapa alasan. Bukan karena dia tidak tampan, mengingat betapa cantiknya Feni. Dia bahkan terlalu tampan untukku. Alasan pertama, aku sudah melihatnya dua tahun terakhir bolak-balik di kantor kami, meminta data-data keuangan yang telah kususun dengan rapi dan membongkarnya, menyuruhku ini itu, perintah sana-perintah sini seolah-olah dia atasanku saja. Itu membuatku sebal setiap kali dia menampakkan batang hidungnya di depan lift lantai 9, kantorku.
Alasan kedua, dia terlalu pendiam bahkan untuk ukuran Saphira, karyawati Perusahaan lantai 7 yang terkenal sebagai karyawan paling pendiam di gedung ini. Aku tidak begitu suka dengan orang yang pendiam, mereka tak menarik buatku.
Alasan ketiga, dia seusia denganku, dan aku sama sekali tak tertarik dengan cowok yang sebaya denganku.
Alasan keempat, aku baru tahu dia kakak Feni setahun terakhir ini. Karena Feni tak pernah bilang dia itu kakaknya, jadi aku merasa tak perlu memperhatikannya, sehingga aku tak pernah tertarik padanya dan terus terbawa sampai aku tahu dia kakak Feni.
Dan alasan kelima, kembali ke profesinya. Oh ya ampun, aku tak mau lagi dekat-dekat dengan cowok yang mengerjakan hal yang sama denganku. Neraca keuangan, laporan laba/rugi, arus kas, semuanya nyaris membuatku gila dan aku tak mau ditambah dengan memasukkan seseorang yang berprofesi sama ke dalam hidupku. Jadi, sejak awal aku sudah tutup buku dengan si auditor muda.
Tapi di akhir periode pembukuan, selain penyesuaian, kita selalu butuh rekonsiliasi kan? Agar saldo kita di akhir periode seimbang.
Di saat itulah si auditor muda bernama Wildan kembali muncul di kantor membawa segudang pekerjaan untukku. Membongkar lagi laporan keuangan sejak awal periode hingga akhir periode.
Widan selalu lembur, bisa sampai jam 10 malam dia duduk di depan meja, menekuri laptopnya yang penuh berisi angka-angka, di balik tumpukan laporan dan bukti-bukti yang harus dia audit. Kadang aku kecipratan lembur dan harus pulang pukul 9 malam setelah memastikan Wildan tak memerlukan data-data lain sampai esok harinya.
Saat itu jam di kantor sudah merayap dengan pelan namun pasti ke arah 10. Aku mengecek kembali apa-apa yang diperlukan Wildan.
“Tidak, terima kasih. Sampai besok” katanya singkat tanpa sedikit pun melihat ke arahku. Jari-jari tangannya sibuk menekan-nekan tuts keyboard sambil sesekali melirik ke arah tumpukan kertas di samping laptopnya. Dia butuh kopi. Pikirku.
Aku pergi ke pantry dan menyeduh sendiri dua gelas kopi untukku dan Wildan. Di luar sedang hujan deras, jadi kuputuskan aku akan minum kopi sebentar sambil melihat-lihat apa yang dikerjakan Wildan.
Perlahan aku meletakkan gelas kertas berisi kopi yang masih mengepul ke atas meja Wildan yang bebas kertas. Dia berhenti mengetik dan menoleh ke arahku. “Terima kasih” katanya singkat (lagi-lagi). Aku mengangguk dan duduk di kursi di depan meja Wildan, menghirup aroma kopi kesukaanku dari dalam gelas sebelum akhirnya meminumnya seteguk demi seteguk.
Aku pikir Wildan akan istirahat sejenak karena melihat kopi yang aku suguhkan, tapi dia ternyata mematikan laptopnya dan meraih gelas kopi, kemudian menyesap kopinya seteguk demi seteguk hingga tandas. Aku yang masih memegang gelas berisi setengah kopi memandangnya dengan heran sekaligus kagum, kopi itu masih panas dan dia langsung menelannya begitu saja. Buru-buru kuminum kopiku karena kulihat Wildan sudah memasukkan laptopnya ke dalam tas dan mengambil jasnya yang tersampir di belakang kursi putar miliknya. Jas berwarna abu-abu cerah yang amat cocok dengan dasi motif garis-garis miliknya.
“Kau belum pulang?” tanya Wildan padaku yang masih berusaha menghabiskan kopi milikku yang rasanya benar-benar membakar lidah. Biasanya aku minum kopi dengan santai dan menghabiskan hampir setengah jam hanya dengan menghirup aroma kopi dan menyesapnya pelan-pelan, sehingga aku tak terlatih menghabiskan setengah gelas kopi yang masih mengepul sekaligus. Aku mengangguk dari balik gelas kertas yang masih melekat di mulutku.
Setelah nyaris tersedak oleh kopi, aku berlari menyambar tas dan jaketku kemudian menyusul Wildan yang sudah berdiri di depan lift – menungguku. Rasanya aneh aku berdiri di samping tubuh tinggi tegapnya, seperti sepasang kekasih yang baru pulang bekerja. Apalagi ketika pintu lift terbuka, di dalamnya hanya ada seorang bapak-bapak yang kelihatannya baru saja dihantam badai karena penampilannya benar-benar awut-awutan. Kami seperti sepasang pengantin yang akan dinikahkan oleh seorang penghulu korban hantaman badai di dalam lift, hening dan khidmat.
Lift berdenting, kami sudah sampai di lantai dasar. Kami bertiga keluar lift dan berjalan pelan keluar gedung, ke arah pintu masuk kaca yang lebar dan membuka setiap kali kami menginjak lantai di dekat pintu. Tapi kali ini pintu lebarnya sudah dikunci, dan kami hanya bisa melewati pintu kecil di samping pintu kaca besar untuk keluar.
Di luar, hujan masih turun dengan derasnya, menghantam-hantam ke atas jalanan beraspal dan membentuk kubangan air di banyak tempat. Bapak-bapak korban hantaman badai sudah sejak tadi masuk ke dalam mobilnya tanpa sedikitpun mempedulikan kami. Aku menarik nafas panjang, sepertinya aku akan kesulitan menemukan taksi yang lewat dengan cuaca seperti ini. Aku melirik ke arah Wildan yang tampak tenang menunggu taksi di sampingku.
Beberapa menit kemudian, bagai sebuah anugrah yang dikirimkan untuku kami, sebuah taksi berhenti di depan pintu gerbang gedung sebelah kanan. Supir taksi itu sepertinya tidak melihat kami – dua calon penumpang yang menatap penuh harap ke arahnya, sehingga dia hanya diam di luar pagar gedung. “Taksi yang itu buatku saja, ya” pintaku pada Wildan, aku sudah sangat mengantuk meskipun baru saja meminum segelas kopi dan sudah sangat ingin pulang. Wildan mengangguk. Aku memberi pandangan terima-kasih yang terbaik yang aku punya dan bersiap-siap berlari menembus tirai hujan di depan sana.
“Tunggu!” panggil Wildan ketika aku baru saja akan melangkahkan kaki ke tempat bebas-atap. Dia mengeluarkan sesuatu dari tas kerjanya, yang membuatku nyaris terjungkal melihatnya. Sebuah payung! Yah! Seorang auditor baru saja mengeluarkan sebuah payung dari dalam tas kerjanya. “Biar aku antar sampai ke taksi. Hujan sangat deras, kau bisa basah kuyup sampai di sana”
Wildan membuka payungnya dan berjalan ke arahku. Dia memayungiku dan kami berdua berjalan bersisian ke arah taksi yang letaknya memang cukup jauh. Air hujan menerpa pinggir tubuhku, membuat seperempat bajuku basah kena air hujan. Wildan mempercepat langkahnya ketika aku mulai bersin karena kedinginan.
Kami sampai di depan taksi dengan selamat dan dengan sigap dia langsung membukakanku pintu taksi kemudian menyuruhku masuk. “Terima kasih!” teriakku dari dalam taksi yang mulai berjalan perlahan membelah hujan. Ah, mungkin dia tak mendengarnya.
Ketika taksi yang kutumpangi semakin menjauh, tiba-tiba perasaan aneh merasuk dalam hatiku. Aku menoleh ke kaca belakang taksi, mencari-cari sosok Wildan. Sayangnya hujan yang begitu deras membuat jangkauan pandanganku terbatas. Rasa-rasanya aku ingin bilang ke supir taksi untuk berputar balik ke belakang, kembali ke tempat Wildan berdiri memegang payung tadi.
***
Ahya, sekarang jika seandainya ada yang meminta pendapatku, aku hanya ingin bilang. Cinta itu adalah proses yang sedemikian panjang dan tak tertebak kemana arahnya. Bayangkan! Butuh waktu beratus-ratus hari buatku sebelum akhirnya aku sadar, segala yang ada padanya membuatku jatuh cinta. Mungkin karena aku terlalu terbiasa dengan kehadirannya, sehingga aku tak dapat menangkap sinyal aneh yang dikirim oleh otak menuju ke hatiku. Setelah melalui beratus-ratus hari itu, melihat Wildan memegang payung berdiri di bawah hujan sana, hatiku dapat menerima sinyal aneh itu dengan begitu jelas, disusul dengan sinyal-sinyal lain yang telah lebih awal dikirim tapi belum juga diterima oleh hatiku.
Ya, seperti itulah. Tapi kubiarkan saja semua mengalir seperti apa adanya, kubiarkan saja dia lalu lalang di hadapanku, memerintahku ini itu, menyuruhku ini itu, dengan segala tingkahnya. Because, Love will find its own way, won’t it?
Comments
Post a Comment