PASIR Part III (Aku Hanya Sedikit Terlambat Bertemu Dengannya)

Aku menarik kedua kakiku dan merebahkan kepalaku ke atas lutut. Jari jemariku memainkan butiran pasir yang terhampar di sekeliling. Pantai sore ini sangat sepi, hanya ada beberapa orang anak kecil yang bermain air dan sepasang pria dan wanita yang sedang duduk dan saling berhadapan dengan pandangan kaku tak begitu jauh dari tempat aku duduk. Dari ekspresinya, sepertinya mereka berdua tidak tahu apa yang harus mereka katakan atau bahkan tak yakin mengapa mereka berdua bisa ada di tempat itu sehingga si wanita yang mengenakan berkerudung biru itu hanya memainkan sepatunya di atas pasir, membentuk lingkaran.
Aku sama tak yakinnya dengan kedua orang itu, kenapa aku bisa ada di pantai ini dan duduk menekuk lutut, memandang hampa ke anak-anak yang bermain air. Di sisi sebelah kiriku, tidak begitu dekat tapi juga tidak begitu jauh, duduk di atas batu karang yang membentang, Pak Inaz, atasanku di kantor. Dia mengenakan kaus berkerah warna biru seperti laut dan celana denim panjang, sama tak yakinnya kenapa kami berdua bisa ada di sini sore ini.
“Mungkin kita tidak sebaiknya ada di sini” kata Pak Inaz pada akhirnya setelah kebisuan yang dilebur oleh suara ombak memukul-mukul karang tempatnya duduk. Beberapa air laut memercik ke arahnya, tapi dia tidak begitu peduli. Pandangannya juga dia arahkan kepada anak-anak kecil yang masih asyik berkejar-kejaran.
Aku menarik nafas panjang. Pada akhirnya aku harus bicara juga. Akulah yang mengajak dia kemari dan seharusnya aku tidak hanya diam dan membuat semuanya tampak ganjil. “Penting buatku agar bapak tahu...” kataku, berusaha mengatasi suara deburan ombak.
“Aku tahu” potong Pak Inaz, memandangku dengan tajam tepat ke mataku. “Kau tak perlu mengatakannya padaku, karena aku tahu bahkan sejak dirimu belum menyadarinya. Kita berdua sama-sama tahu itu.”
Aku memandang Pak Inaz dengan tak percaya, benar-benar tak percaya. Apakah aku tidak sendirian saja merasakannya? Apa dia juga begitu?
Seharusnya tidak. Tidak ada pembenaran dalam hal ini, bahkan bagi diriku sendiri. Aku tahu ini salah. Bagi Pak Inaz ini salah. Dia telah berkeluarga, memiliki seorang istri yang sangat cantik dan dua orang anak yang lucu-lucu. Aku tahu ini salah. Aku tidak seharusnya jatuh cinta pada pria ramah yang duduk di atas karang itu. Aku tidak seharusnya menyimpan asa begitu lama untuk menggantikan posisi istrinya di hati Pak Inaz. Tapi aku terlalu egois. Aku terlalu mementingkan perasaanku sendiri. Ya, aku sama sekali tak peduli akan seterluka apa istrinya jika dia mengetahui ada seorang gadis ingusan, 17 tahun lebih muda dari suaminya yang jatuh cinta pada suaminya. Semua ini salah istrinya yang membiarkan suaminya bersikap terlalu ramah padaku, bersikap terlalu peduli padaku sehingga aku merasakan kenyamanan. Seolah-olah aku selalu terlindungi dengan sikap Pak Inaz yang seperti itu.
“Bapak tahu?” ulangku, menegakkan kepalaku yang sejak tadi masih tersandar di atas kedua lututku. Aku duduk tegak, mengatur degup di dadaku yang sedikit tak terkendali sore ini. Jari-jemariku masih memainkan pasir, meremasnya cukup kuat dan menghempasnya berulang-ulang.
“Kita berdua sama-sama tahu, Nina” Pak Inaz menekankan suaranya pada kata kita berdua. Dia menunduk dan membuang pandangannya ke arah horizon.
“Aku tak ingin mengganggu kehidupan bapak” sahutku mulai menangis – sesuatu yang amat tak ingin aku lakukan apalagi di hadapannya - “tapi aku tak bisa memilih siapa orang yang harus aku cintai. Semuanya terjadi begitu saja. Aku jatuh cinta – hal yang sama sekali tak pernah ada di benakku sebelumnya untuk mencintai seorang pria yang telah beristri.” Aku mulai terisak.
“Nina, tenanglah”. Pak Inaz turun dari karang dan menghampiriku, menarik lenganku untuk berdiri. “Ayo kita pulang saja” ajaknya “tidak ada hal yang benar-benar bisa kita bicarakan di sini. Semuanya sia-sia”
Aku berdiri kaku dan menggeleng, menghentak tangan Pak Inaz yang mengajakku untuk pulang. Tubuhku tak ingin beranjak dari pantai ini sebelum semuanya jelas.
“Nina, dengarkan aku” katanya dengan nada suaranya yang tetap tenang, Salah satu hal darinya yang selalu membuat aku terkesan. Dia bisa tetap tenang di kondisi apapun. “Aku tak ingin merusak semuanya. Karirmu, hidupmu...jadi kita harus sepakat bahwa pembicaraan ini tak pernah terjadi. Kau masih muda, Nina. Kau cerdas, kau cantik, semua pria pasti akan tertarik padamu.”
Aku memandang wajah Pak Inaz dengan marah, “Begitukah? Semudah itu? Apa bapak pikir dengan mencari seseorang yang lain yang lebih baik semuanya akan selesai begitu saja? Apa aku akan lupa pernah mencintai bapak? Kenapa semua pria berpikiran sedangkal itu?” bentakku.
Pak Inaz nampak terpana, aku baru saja membentak atasanku. Sepertinya dia agak kaget aku bisa sekeras itu padanya. Dia kemudian tersenyum dan memutuskan untuk duduk di atas pasir, “Baiklah, aku akan duduk di sini hingga kau tidak marah lagi dan kita pulang”.
Aku masih berdiri, memandang punggung Pak Inaz yang sudah duduk di atas pasir dan kembali melayangkan pandangannya pada sekelompok anak-anak kecil itu. Untuk sejenak kami berdua diam, menyelami benak kami masing-masing. Kulihat pria dan wanita yang tadi duduk diam berhadap-hadapan telah berdiri. Si wanita sudah menjauh meninggalkan si pria. Tapi wanita itu sempat berhenti berjalan dan berbalik sejenak untuk melempar senyum pada pria itu dan sekilas kulihat wanita itu mengusap matanya setelah dia sudah berjalan cukup jauh dari tempat si pria berdiri. Kurasa dia menangis.
“Aku juga merasakan hal yang sama sepertimu, Nina. Karena itulah kukatakan tadi kalau kita berdua sama-sama tahu. Apa kau tak mengerti?” kata Pak Inaz, membuyarkan lamunanku tentang apa yang sebenarnya dipikirkan pria dan wanita itu dengan hanya duduk kaku berhadapan kemudian berpisah begitu saja.
Aku menutup kedua wajahku dengan tangan. Aku tahu pada akhirnya aku tak hanya sendirian merasakan hal ini. Aku bahagia sekaligus sedih. Setetes air mata mengalir lagi dari sela-sela jariku yang berpasir. Aku tak peduli pasir itu telah menghiasi sebagian wajahku.
“Kita akan melakukan kesalahan jika kita tetap memaksakan diri kita untuk menjalani semua ini. Aku sudah berusaha untuk tidak mengatakannya. Tapi kurasa kau juga harus tahu – bagaimana perasaanku padamu. Tidak ada yang perlu aku takutkan pada sebuah keharusan bagimu untuk mengetahui yang sebenarnya” sahut Pak Inaz lagi.
Aku ikut duduk di samping Pak Inaz dengan mata berkaca-kaca, berusaha tersenyum padanya tapi nyatanya aku malah menangis dan air mataku mengalir semakin deras. Pria yang sedang kupandangi di hadapanku ini ternyata juga mencintaiku. Hanya saja semuanya adalah kesalahan bagi dia, bagiku, bagi istrinya, bagi anak-anaknya, bahkan bagi orang lain yang tak ada hubungannya dengan kami.
Kenapa menjadi wanita yang terlambat dicintai selalu dicemooh oleh banyak orang? Tidakkah mereka berpikir mungkin aku hanya sedikit terlambat bertemu dengan Pak Inaz dibandingkan istrinya? Aku tidak merasa bersalah – itu yang aku yakini sebelum aku ke pantai ini dan memutuskan untuk mengatakannya pada Pak Inaz – karena aku tidak pernah menghendaki diriku untuk datang terlambat dan mendapatinya telah menikah dengan wanita lain. Bagiku tak masalah menjadi seseorang yang kesekian di hatinya. Itu hanya masalah urutan dan tak begitu penting untuk aku sesali.
Untuk sepersekian detik kulihat dari matanya Pak Inaz nampak ingin sekali menghapus air mataku. Tapi dia tak melakukannya, dia masih menghormati istrinya, wanita yang telah sepuluh tahun mendampinginya tanpa pernah mengeluh sedikit pun.
“Aku tahu...” kataku pelan dan terbata-bata “aku juga tidak bermaksud apapun. Tidak ada yang aku inginkan dari sebuah kesalahan ini” meskipun aku juga tidak cukup peduli dengan perasaan istrimu. Sambungku dalam hati “aku rasa...yah...semuanya sudah jelas. Bapak pulanglah, aku masih ingin duduk di sini. Maksudku, air mataku belum habis dan aku tak ingin pulang dengan mata basah seperti ini” aku berusaha tertawa, meyakinkan Pak Inaz kalau dia bisa pulang meski aku ingin dia duduk di sana lebih lama, setidaknya menemaniku hingga air mataku benar-benar habis.
Pak Inaz tak berdiri, dia tetap memandang lurus ke arah horizon. “Menangislah, aku akan ada di sini hingga air matamu habis...”
Air mataku tumpah kian deras. Kenapa ada pria yang begitu sempurna di hadapanku, yang ternyata juga mencintaiku, tapi terlalu jauh untuk aku gapai? Kenapa aku yang hanya terlambat sepuluh tahun ini harus menanggung semua akibatnya. Apa menempatkanku di poisi kedua tidak bisa dijadikan solusi?
Di depan kami kawanan camar terbang rendah di atas lautan, disambut oleh suara-suara anak-anak kecil yang belum beranjak sejak tadi. Mereka terlalu asyik bermain dan lupa kalau matahari akan terbenam, memayungi terangnya siang dengan selimut kelam. Beberapa butir pasir beterbangan tersapu angin pantai, yang juga mengeringkan beberapa butir air mataku.
Kami masih duduk di sana, aku dengan air mataku dan dia entah apa yang sedang dipikirkannya. Langit mulai nampak kemerahan, seperti baru saja dituangkan dengan sekaleng cat merah jingga. Sebentuk bola merah raksasa merayap perlahan di ufuk barat dan tidak lama lagi dia akan tenggelam sepenuhnya di garis horizon pantai, membawa habis sisa waktuku di sore ini bersama seorang pria yang aku cintai.
Rona merah itu kian gelap. Cat jingga di langit seperti telah dihapus sedikit demi sedikit. Bola raksasa itu telah hilang sepenuhnya, waktuku telah habis. Kulihat Pak Inaz berdiri dari tempat duduknya, menepuk celananya yang berpasir dan memandangku hampa. Pandangan matanya menyakitkanku, pandangan mata yang sedih itu. Bahkan di ujung kedua matanya nampak seberkas air bening menggantung. Dia berpura-pura mengibaskan rambutnya, tapi sekaligus menghapus air bening di ujung matanya.
Dengan mata sembab, aku berusaha tersenyum. Kupandangi sekali lagi wajah itu, wajah kedewasaan yang selalu berhasil menentramkanku. Aku tak dapat berkata apa-apa lagi, kami berdua sama-sama tahu. Kami berdua sama-sama menangis.
Dia mengangguk, mengajakku beranjak dari pantai yang kini benar-benar telah sepi. Aku tak menyadari kapan anak-anak kecil itu meninggalkan pantai. Yang terdengar hanya suara ombak dan angin dan warna laut sedikit demi sedikit berubah kehitaman. Pak Inaz berjalan lebih dulu di depanku, memunggungiku yang masih enggan beranjak dan menghadapi kenyataan, setelah pergi dari tempat ini tak akan ada lagi Nina yang mencintai Pak Inaz atau Pak Inaz yang juga mencintai Nina. Melalui pandangan matanya aku tahu, Pak Inaz ingin semuanya selesai di tempat ini.
“Tak bisakah?” tanyaku setengah berteriak “tak bisakah aku jadi yang kedua saja?” nada suaraku nyaris putus asa, begitu pula pandanganku padanya.
Pak Inaz berhenti berjalan, sama persis dengan wanita yang tadi sore kulihat ketika dia berhenti berjalan dan menoleh kepada pria temannya itu. Pak Inaz berdiri di jarak yang sama, lagi-lagi dia tersenyum tenang. “Tak akan semudah itu. Aku bahkan tak berani untuk mengambil pilihan itu. Aku tak yakin apa kita bisa bertahan cukup lama untuk meyakinkan diri kita sendiri, mana jalan terbaik yang harus kita ambil.” Jawab Pak Inaz, memadamkan seluruh asaku.
“Ahya, tentu saja. Lupakan yang aku katakan tadi. Hanya hal bodoh” suaraku melemah dan kian putus asa. Aku juga melangkahkan kaki beranjak dari pantai ini.

***
Aku duduk di tepi pantai sendirian saja, membiarkan air laut membasahi bajuku. Tak jauh dariku nampak seorang wanita yang jatuh tersungkur di atas pasir, menangis tanpa suara dan membiarkan tubuhnya dibalut ombak. Aku tak benar-benar peduli pada wanita itu, yah, aku sama sekali tak peduli apa yang membuatnya menangis seperti itu. Aku tak peduli pada sekelilingku. Aku pun sedang menangis, menekuk lututku seperti beberapa tahun yang lalu aku lakukan di pantai ini.
Aku hanya bisa melakukan hal ini – setiap kali aku merindukannya – aku selalu kembali ke pantai ini untuk menangis. Sejak saat itu aku memang tak pernah bertemu lagi dengan Pak Inaz. Tapi aku masih saja merindukan dirinya. Tak bisa kubayangkan perasaanku ini akan tetap bertahan meski telah berbilang tahun, tak pernah benar-benar hilang dan setiap kali bahkan tumbuh lebih besar dari sebelumnya.
Menanti sang matahari terbenam hingga habis air mataku menjadi semacam rutinitas bagiku jika rasa rindu itu datang.
Sayup-sayup kudengar suara adzan dan wanita yang tadi kulihat menangis itu telah bangkit berdiri kemudian berjalan pulang. Pantai ini tahun demi tahun kian berubah, bahkan suara adzan pun telah dapat kudengarkan. Aku menghapus air mataku dan beranjak dari tempat dudukku. Tak ada yang benar-benar habis untuk seseorang seperti dirinya. Upayaku untuk bangkit tanpanya tak pernah berhasil, dan setiap kali aku gagal, aku selalu merindukannya. Entah bagaimana kabarnya, entah bagaimana dengan rumah tangganya, entah apa dia masih mencintai istrinya. Entahlah...

Comments

Popular posts from this blog

Pierre Tendean (Lagi-lagi)

Antara Pierre Tendean dan Hiruk Pikuk Jalanan Di Depan Kantor

Saya dan Tahun 60-an