For those confused words....
Hari ini aku agak sedikit bingung. Aku bingung dengan apa yang aku bingungkan. Pernah dengar seseorang bisa kehilangan kontrol karena kebingungan? Kurasa tidak. Aku normal – sangat normal. Pulang kantor menjelang maghrib, mandi, nulis cerita/internetan/nonton Star Movie/Metro TV/TV One/kadang ANTV.
Lantas apa yang membuatku bingung? Aku sedang berusaha mencari tahu.
Kuliahku yang belum jalan? Err...bisa jadi. Tapi aku tak terlalu memusingkan hal yang satu ini. Aku kan memang selalu ketinggalan kuliah, makanya belum lulus-lulus sampai sekarang.
Kehabisan ide menyelesaikan cerpenku? Itu memang selalu aku alami sejak pertama aku menulis cerpen – jaman SD. Tak masalah, segelas jus nangka di Lalong akan membantuku.
Aku pernah baca karya seorang temanku, Melati – namanya disamarkan. Dia menulis, aku lupa artikel atau cerpen, dan memesonaku. Kata-kata yang dia gunakan sangat indah dan terangkai dengan baik. Sesaat aku iri, sangat. Aku tak pernah bisa menulis dengan baik, kalimatku amburadul, bahkan plot cerpenku tak jelas.
Setelah itu? Aku mencoba menulis sebuah cerita yang lebih baik, sayangnya tak ada kemajuan. Aku jadi bertanya-tanya, apa bakatku sebenarnya? Jangan-jangan aku seperti Hermes, salah seorang dewa Olympia yang bisa melakukan banyak hal tapi tak ada satupun yang dapat dia lakukan dengan baik. Aku berpikir seperti itu setelah membaca novel Percy Jackson and The Lightning Tief, lupakan.
Waktu aku kecil, aku pernah membaca sebuah cerpen tentang kisah seorang anak yang hanya punya kemampuan rata-rata. Kalian tahu apa yang ibunya lakukan untuk menghiburnya? Ibunya memberi kartu bergambar seorang anak gadis – dia sendiri – yang melayang-layang di antara tanah dan langit. Di atas kepalanya ada bintang, dan di tanah di bawahnya terlihat gambar seekor cacaing. Aku berasumsi dia melayang di udara bawah langit. Ibunya menulis di kartu itu kurang lebih seperti ini (aku lupa kalimat pastinya) : dengan menjadi anak rata-rata, kau bisa meraih bintang di langit dan mengambil cacing di tanah.
Apa yang aku pikirkan saat itu?
Aku pikir ibunya seorang yang hebat dalam mendidik anak. Tapi aku tetap kasihan pada anak itu, dia tampak seperti anak kecil labil yang tak yakin harus meraih apa. Bintang di langit atau cacing di tanah?
Aku jelas-jelas seperti itu. Mungkin aku bisa melakukan banyak hal, tapi tak ada satupun yang bisa aku lakukan dengan baik. Membuatku sering bertanya, apa sebenarnya yang bisa aku lakukan dengan baik? Satu hal saja, tak perlu banyak.
Hal itu memang sempat membingungkanku selama beberapa tahun, istilahnya sih mencari jati diri. Pada akhirnya aku berusaha tak peduli dan aku jadi tak terlalu memikirkannya sekarang ini.
Lantas apa yang membuatku bingung?
Aku ingin menceritakan sebuah dongeng, seperti yang dilakukan oleh kedua orang tuaku saat aku masih kecil dulu, menceritakan sebuah kisah untukku sebelum aku pergi tidur.
Alkisah, pada jaman dahulu kala hiduplah seorang pangeran tampan namun menyebalkan. Kenapa? Karena dia mudah sekali jatuh cinta pada gadis manapun yang ditemuinya. Memang pada akhirnya dia jatuh cinta pada seorang gadis pembuat dan pengantar roti untuk kerajaan. Sangat jatuh cinta. Pangeran itu bahkan memberanikan diri untuk menyatakan keinginannya untuk menikahi gadis itu kepada Raja dan Ratu.
Tak perlu kujelaskan, Raja dan Ratu tentu saja menolak. Tak sudi seorang gadis miskin masuk menjadi anggota keluarga mereka. Dan pangeran? Karena sudah sangat mencintai gadis itu, dia mengajak gadis itu untuk...tidak, bukan kawin lari, tapi berpisah. Yah, mereka berdua harus berpisah. Sang gadis amat sedih, menangis, kecewa, hancur, dan entah apa lagi. Yang jelas dia tak berbentuk lagi. Dia bukan lagi seorang gadis yang ceria, kecantikannya memudar, hatinya membeku, dan yang terparah, senyumannya menghilang. Dia berhenti membuat dan mengantarkan roti untuk kerajaan.
Pekerjaannya diambil alih oleh temannya. Tapi lidah Raja dan Ratu tak bisa dibohongi. Roti yang dibuat teman gadis itu tak selezat roti sebelumnya. Tapi Raja dan Ratu tak mungkin untuk membujuk gadis itu agar kembali membuat roti untuk mereka setelah mereka menginjak harga dirinya. Raja dan Ratu malu, namun masih ingin menyantap roti buatan gadis itu.
Karena tak tahan lagi ingin makan roti yang enak, akhirnya Raja memerintahkan anaknya, si Pangeran brengsek dan pengecut itu untuk meminta maaf kepada sang gadis dan menikahi gadis itu. Sayangnya mereka terlambat. Pangeran sudah jatuh cinta pada gadis lain, puteri kerajaan tetangga yang sangat menyebalkan sama seperti pangeran dan tak pandai membuat roti. Sementara gadis itu? Dia tak pernah berhenti mencintai sang pangeran, hari demi hari, bulan demi bulan, hingga tahun demi tahun. Kehancuran hatinya, kekecewaannya, airmatanya, tak ada yang bisa menghapus sang pangeran dari hatinya.
Ratu menangis, menyesal meratapi kesalahannya. Dia tak akan pernah bisa menyantap roti lezat itu lagi. Si gadis menolak mentah-mentah permintaan maaf sang Ratu. Sementara Pangeran tak berminat lagi untuk kembali kepada gadis yang dulu dicintainya itu.
Jadi siapa yang sebenarnya salah di sini?
Aku bingung dengan dongeng ini.
Sudah, ah.
Lantas apa yang membuatku bingung? Aku sedang berusaha mencari tahu.
Kuliahku yang belum jalan? Err...bisa jadi. Tapi aku tak terlalu memusingkan hal yang satu ini. Aku kan memang selalu ketinggalan kuliah, makanya belum lulus-lulus sampai sekarang.
Kehabisan ide menyelesaikan cerpenku? Itu memang selalu aku alami sejak pertama aku menulis cerpen – jaman SD. Tak masalah, segelas jus nangka di Lalong akan membantuku.
Aku pernah baca karya seorang temanku, Melati – namanya disamarkan. Dia menulis, aku lupa artikel atau cerpen, dan memesonaku. Kata-kata yang dia gunakan sangat indah dan terangkai dengan baik. Sesaat aku iri, sangat. Aku tak pernah bisa menulis dengan baik, kalimatku amburadul, bahkan plot cerpenku tak jelas.
Setelah itu? Aku mencoba menulis sebuah cerita yang lebih baik, sayangnya tak ada kemajuan. Aku jadi bertanya-tanya, apa bakatku sebenarnya? Jangan-jangan aku seperti Hermes, salah seorang dewa Olympia yang bisa melakukan banyak hal tapi tak ada satupun yang dapat dia lakukan dengan baik. Aku berpikir seperti itu setelah membaca novel Percy Jackson and The Lightning Tief, lupakan.
Waktu aku kecil, aku pernah membaca sebuah cerpen tentang kisah seorang anak yang hanya punya kemampuan rata-rata. Kalian tahu apa yang ibunya lakukan untuk menghiburnya? Ibunya memberi kartu bergambar seorang anak gadis – dia sendiri – yang melayang-layang di antara tanah dan langit. Di atas kepalanya ada bintang, dan di tanah di bawahnya terlihat gambar seekor cacaing. Aku berasumsi dia melayang di udara bawah langit. Ibunya menulis di kartu itu kurang lebih seperti ini (aku lupa kalimat pastinya) : dengan menjadi anak rata-rata, kau bisa meraih bintang di langit dan mengambil cacing di tanah.
Apa yang aku pikirkan saat itu?
Aku pikir ibunya seorang yang hebat dalam mendidik anak. Tapi aku tetap kasihan pada anak itu, dia tampak seperti anak kecil labil yang tak yakin harus meraih apa. Bintang di langit atau cacing di tanah?
Aku jelas-jelas seperti itu. Mungkin aku bisa melakukan banyak hal, tapi tak ada satupun yang bisa aku lakukan dengan baik. Membuatku sering bertanya, apa sebenarnya yang bisa aku lakukan dengan baik? Satu hal saja, tak perlu banyak.
Hal itu memang sempat membingungkanku selama beberapa tahun, istilahnya sih mencari jati diri. Pada akhirnya aku berusaha tak peduli dan aku jadi tak terlalu memikirkannya sekarang ini.
Lantas apa yang membuatku bingung?
Aku ingin menceritakan sebuah dongeng, seperti yang dilakukan oleh kedua orang tuaku saat aku masih kecil dulu, menceritakan sebuah kisah untukku sebelum aku pergi tidur.
Alkisah, pada jaman dahulu kala hiduplah seorang pangeran tampan namun menyebalkan. Kenapa? Karena dia mudah sekali jatuh cinta pada gadis manapun yang ditemuinya. Memang pada akhirnya dia jatuh cinta pada seorang gadis pembuat dan pengantar roti untuk kerajaan. Sangat jatuh cinta. Pangeran itu bahkan memberanikan diri untuk menyatakan keinginannya untuk menikahi gadis itu kepada Raja dan Ratu.
Tak perlu kujelaskan, Raja dan Ratu tentu saja menolak. Tak sudi seorang gadis miskin masuk menjadi anggota keluarga mereka. Dan pangeran? Karena sudah sangat mencintai gadis itu, dia mengajak gadis itu untuk...tidak, bukan kawin lari, tapi berpisah. Yah, mereka berdua harus berpisah. Sang gadis amat sedih, menangis, kecewa, hancur, dan entah apa lagi. Yang jelas dia tak berbentuk lagi. Dia bukan lagi seorang gadis yang ceria, kecantikannya memudar, hatinya membeku, dan yang terparah, senyumannya menghilang. Dia berhenti membuat dan mengantarkan roti untuk kerajaan.
Pekerjaannya diambil alih oleh temannya. Tapi lidah Raja dan Ratu tak bisa dibohongi. Roti yang dibuat teman gadis itu tak selezat roti sebelumnya. Tapi Raja dan Ratu tak mungkin untuk membujuk gadis itu agar kembali membuat roti untuk mereka setelah mereka menginjak harga dirinya. Raja dan Ratu malu, namun masih ingin menyantap roti buatan gadis itu.
Karena tak tahan lagi ingin makan roti yang enak, akhirnya Raja memerintahkan anaknya, si Pangeran brengsek dan pengecut itu untuk meminta maaf kepada sang gadis dan menikahi gadis itu. Sayangnya mereka terlambat. Pangeran sudah jatuh cinta pada gadis lain, puteri kerajaan tetangga yang sangat menyebalkan sama seperti pangeran dan tak pandai membuat roti. Sementara gadis itu? Dia tak pernah berhenti mencintai sang pangeran, hari demi hari, bulan demi bulan, hingga tahun demi tahun. Kehancuran hatinya, kekecewaannya, airmatanya, tak ada yang bisa menghapus sang pangeran dari hatinya.
Ratu menangis, menyesal meratapi kesalahannya. Dia tak akan pernah bisa menyantap roti lezat itu lagi. Si gadis menolak mentah-mentah permintaan maaf sang Ratu. Sementara Pangeran tak berminat lagi untuk kembali kepada gadis yang dulu dicintainya itu.
Jadi siapa yang sebenarnya salah di sini?
Aku bingung dengan dongeng ini.
Sudah, ah.
Comments
Post a Comment