Posts

Showing posts from June, 2012

Don't take so serious *yawn*

Image
Mengamati fenomena yang terjadi akhir-akhir ini saja Banyak akun-akun di facebook (lagi-lagi situs jejaring sosial yang satu ini bikin saya gemas) yang namanya Islami, status-statusnya Islami tapi paling rajin kasih komen, tulis di dinding, men-tag-lah pada akun lawan jenisnya. Terlebih lagi kalau lawan jenisnya itu punya akun dengan nama yang Islami juga. Makin bersemangatlah mereka.

Paris, Je T'Aime

Image
Itulah kenapa di antara semua tokoh cerpen saya, Jean (cerpen Simponi Terakhir Di Paris) adalah yang paling favorit dan membuat saya jatuh cinta kepadanya :') Saya suka orang yang mengetahui hal-hal kecil yang kadang tidak dipedulikan oleh orang lain, persis seperti Jean. Saya juga menyukai orang yang berpikiran terbuka, yang tidak terpaku hanya pada satu hal yang dia yakini saja. Bukan, bukan liberalisme. Tapi penerimaan terhadap sesuatu yang tidak biasa, tidak umum, daripada yang telah kita terima atau kita miliki. Mungkin Jean menjadi semacam antitesis bagi saya yang tidak suka dikritik dan kaku. Jean mau menerima hal-hal yang mungkin menurut sebagian orang tidak umum. Dia spesial dan memang dia adalah tokoh cerpen saya yang paling spesial.

Istana Pasir

Image
Tadinya saya pikir saya telah mengalah dengan masa lalu saya. Tadinya saya pikir saya sudah berdamai dengan masa lalu saya. Tadinya…sebelum Tegar mengatakan dia akan menikah dengan perempuan itu. “Kenapa begitu sulit buatku untuk berdamai dengan masa yang telah lampau?” tanyaku terisak pada diriku sendiri. Dengan langkah gontai aku menarik koperku masuk ke dalam ruang check-in bandara. Aku telah memilih untuk tidak memilih. Aku menyerah. Kenapa aku harus ikut terseret dengan arus masa lalu yang telah Tegar alirkan lagi ke dalam rongga dadaku? Bukankah dia tak perlu mengusik lagi rasa yang dulu kami bagi bersama? Bukankah aku pun telah yakin, meski rasa itu tetap ada dan tidak akan hilang begitu saja, aku akan menggeleng, memberi jawaban tidak untuk setiap pertanyaan yang sama. Aku memang tidak pernah berhenti mencintaimu, Tegar. Tapi aku kini jauh lebih paham, jenis cinta yang aku miliki untukmu adalah cinta logika. Aku tidak lagi terbuai dengan rasaku sendiri, tapi den

My First Indonesia Open :')

Image
Foto di belakang DIO :') Terlalu banyak yang ingin saya tulis tentang perjalanan kemarin! Saya bingung harus mulai darimana. Jadi saya mau nulis secara maraton saja. Dari Luwuk ke Jakarta memutuskan beli tiket connecting flight karena mau ketemuan dulu dengan teman saya, Tya di Makassar. Jadi dari Makassar kami berdua bisa pergi sama-sama ke Jakarta. Alasannya sih ya biar tidak seram saja kalau ketemuannya nanti di Jakarta. Terlalu banyak nonton berita kriminal di TV bikin saya jadi ekstra hati-hati jika ingin berkeliaran di Jakarta. Jadi, saya beli tiket Bata*ia Air jam 2 siang dan L*on Air jam setengah 8 malam. Tadinya saya pikir semuanya akan lancar-lancar saja sampai ternyata sudah jam 5 sore dan pesawat masih mangkal di landasan bandara S.A Amir Luwuk. Saya jadi tidak tenang, dikit-dikit liat jam sambil bertekad dalam hati kalo sampai saya ketinggalan pesawat ke Jakarta maka saya akan menuntut mereka. Pokoknya saya tidak terima kalau sampai jadwal saya rusak g

Leaving On A Jet Plane

Image
All my bags are packed I'm ready to go I'm standin' here outside your door I hate to wake you up to say goodbye But the dawn is breaking It's early morn The taxi's waiting, He's blowin' his horn Already I'm so lonesome I could die So kiss me and smile for me Tell me that you'll wait for me Hold me like you'll never let me go Cause I’m leaving on a jet plane Don't know when I'll be back again Oh babe, I hate to go There's so many times I’ve let you down So many times I’ve played around I tell you now, they don't mean a thing Every place I go, I’ll think of you Every song I sing, I’ll sing for you When I come back, I’ll bring your wedding ring

Kereta Terakhir

Image
Adinda merapikan kebaya yang dikenakannya, menarik-narik ujung renda kebaya hingga terlihat licin lagi. Tangan kecilnya bergetar terasa resah, meski kebaya lusuh itu sudah rapi dia masih saja terus menerus menarik-nariknya hingga tangannya pun berpindah pada sanggul rambutnya. Adinda, 15 tahun, baru menikah dengan Saijah suaminya, baru dua bulan dan kini dia harus mengantar kepergian suaminya untuk bertaruh nyawa. Saijah tersenyum memandangi gadis kecilnya. Tubuh kurus dan sedikit bungkuk itu, tangan kasar yang setiap hari bergelut dengan sawah, bola mata yang mengerjap-ngerjap cemas, kuku-kuku jari yang kotor (Saijah sudah meminta Adinda memotongnya sejak beberapa hari lalu. Tapi Adinda selalu saja lupa melakukannya), dan kebaya terbaik yang dimiliki istrinya, hadiah pernikahannya untuk Adinda – lungsuran dari ibu Saijah. Dia meraih tangan Adinda, menautkan jari jemarinya dengan jari Adinda agar gadis itu tenang. Raut wajah Adinda seperti orang yang hampir menangis ketika Saij

John dan Julia

Image
John meneguk sari apel yang dihidangkan seorang pelayan kepadanya beberapa menit yang lalu setelah dia pada akhirnya kehabisan kata-kata untuk disampaikan kepadaku. Dia menyesap minumannya perlahan-lahan hingga tandas. Aku tidak mengerti mengapa kami berdua pada akhirnya mau untuk saling bicara di tempat ini pada minggu pagi yang cerah di mana seharusnya aku sedang bersepeda berkeliling pedesaan setelah lama tak mengunjungi desa kecilku ini. Aku tidak percaya aku setuju mengurung diriku di sebuah restoran kecil di tepi hutan dan duduk di atas kursi kayunya yang berderit sejak tujuh tahun yang lalu sambil memandangi deretan gelas-gelas kaca besar yang berderet penuh debu di sisi kanan bar. Dengan pelayan yang masih sama – sepasang suami istri gemuk yang luar biasa ramah, desain interior restoran yang tak pernah diubah sejak mereka mendirikannya lima belas tahun yang lalu, menu yang itu-itu saja dan pelanggan yang itu-itu saja membuat restoran ini semakin membosankan di mataku. J