John dan Julia


John meneguk sari apel yang dihidangkan seorang pelayan kepadanya beberapa menit yang lalu setelah dia pada akhirnya kehabisan kata-kata untuk disampaikan kepadaku. Dia menyesap minumannya perlahan-lahan hingga tandas. Aku tidak mengerti mengapa kami berdua pada akhirnya mau untuk saling bicara di tempat ini pada minggu pagi yang cerah di mana seharusnya aku sedang bersepeda berkeliling pedesaan setelah lama tak mengunjungi desa kecilku ini. Aku tidak percaya aku setuju mengurung diriku di sebuah restoran kecil di tepi hutan dan duduk di atas kursi kayunya yang berderit sejak tujuh tahun yang lalu sambil memandangi deretan gelas-gelas kaca besar yang berderet penuh debu di sisi kanan bar. Dengan pelayan yang masih sama – sepasang suami istri gemuk yang luar biasa ramah, desain interior restoran yang tak pernah diubah sejak mereka mendirikannya lima belas tahun yang lalu, menu yang itu-itu saja dan pelanggan yang itu-itu saja membuat restoran ini semakin membosankan di mataku.

John meletakkan gelasnya yang telah tandas ke atas meja. Dia menyengir kepadaku dan mengetukkan jari-jarinya ke atas meja kayu restoran. Pandangannya dia lepaskan ke arah hutan di luar sana sementara rambutnya yang lebat dan berponi bergerak-gerak dipermainkan angin yang berhembus sepoi-sepoi dari jendela restoran yang terbuka. Sinar matahari masuk dari sela-sela teralis dan menancapkan cahayanya di atas meja dan di lantai di dekat kaki-kaki kami berdua.


Aku masih tak bersuara sejak setengah jam yang lalu kami saling duduk berhadapan. Aku hanya sedang ingin menikmati rasa terobatinya rinduku yang ingin duduk lagi di tepi jendela restoran bersama John pada pagi di hari minggu, memandangi cahaya matahari yang berpendar-pendar dari jendela restoran berteralis, menyesap sari apel dan saling menceritakan kesibukan kami masing-masing seminggu penuh ini. Meski restoran ini membosankan, tapi aku rindu suara derit kursi kayunya, wajah ramah suami istri pemilik restoran, bahkan aku rindu dengan deretan gelas berdebu di ujung bar. Sebuah restoran di tepi hutan adalah tempat yang sempurna untuk saling bercerita.

“Lama sekali kau datang kesini lagi” akhirnya John kembali bicara “Julia, kau masih marah padaku?”

Aku mengangkat bahu “entahlah John, semua penjelasanmu tadi tak berarti apa-apa buatku. Dan itu semakin membuatku marah kepadamu. Kau menjengkelkan aku saat seharusnya kau paling tidak membuatku tersenyum dengan apa yang telah kita rasakan dulu…”

“Julia, kita sudah sepakat” potong John “kita tidak akan pernah membicarakan masa lalu, karena hal itu tidak pernah terjadi pada kita berdua”.

“Ahya, maafkan aku”

John mengiris roti berlumuran madu miliknya dan memakan satu potongan kecil dari rotinya itu. bahkan kebiasaan mereka berdua mulai sama. Aku tidak pernah melihat John memakan rotinya sedikit demi sedikit sebelumnya. Sungguh dia telah banyak berubah.

“John” panggilku “apa kau masih mencintaiku?”

Dia mengangguk dalam tapi pandangannya tidak dia arahkan kepadaku. Matanya memandangi tempat lain. Sekali lagi dia mengangguk.

Setelah John menghabiskan rotinya, dia pamit pulang kepadaku.

“Sampai jumpa minggu depan John” kataku.

***

John menyesap sari apelnya hingga tandas. Setelah itu dia menyengir kepadaku dan kemudian memotong-motong roti berlumur madu miliknya menjadi potongan-potongan kecil dan memakannya. Mereka berdua semakin mirip saja. setelah roti di piringnya habis, dia akan pamit pulang dan aku akan bilang ‘sampai jumpa minggu depan’ padanya.

“Kau masih marah padaku, Julia?” tanya John.

“Entahlah John” jawabku.

***

“Sampai jumpa minggu depan, John” kataku padanya yang sedetik kemudian menghilang di balik pintu kayu restoran yang sama berderitnya dengan semua kursi yang ada di dalam restoran.

Dari balik jendela berteralis aku melihat punggung John yang menjauh. Jaket coklatnya, sepatu kulitnya, rambutnya yang acak-acakan.

Aku tidak pernah marah padamu John. Bisikku dalam hati.

***

“Bukankah kita sudah sepakat untuk tidak membicarakan masa lalu?”

“Iya, aku minta maaf”

***

“John, kau masih mencintai aku?”

John mengangguk.

***

John masuk ke dalam restoran dan langsung menghampiri wanita gemuk pemilik restoran. Dia memesan sesuatu kemudian setelah itu dia duduk di depanku. “Lama sekali kau datang kesini” kata John riang. Dia menarik kursi di depannya dan duduk. “Julia, kau masih marah padaku?”

***

“Sampai kapan kalian akan terus begini, nak?” tanya ibu pemilik restoran kepadaku dengan wajah sedih “setiap akhir pekan aku melihat kalian berdua duduk di meja yang sama, memesan menu yang sama dan bahkan mengulang pembicaraan yang sama. Bahkan kalimat perpisahan kalian berdua pun selalu sama.”

Aku tersenyum dan menggenggam tangan ibu pemilik restoran yang duduk di depanku. Hari ini memang bukan hari minggu karena itulah John tidak datang. sebagai gantinya ibu pemilik restoran itu duduk menemaniku. “Aku tidak marah pada John, bu” kataku pelan.

Kecelakaan mengerikan itu yang merenggut semua dariku. Merenggut John dariku. Merenggut memori John dan menghapus semua cerita tentangku dari benaknya. John kehilangan memorinya dan hanya mampu mengingat kejadian seminggu sebelum kecelakaan terjadi. Saat kami berdua duduk di restoran setelah sekian lama kami tak berjumpa. Dia telah menikah dan lihatlah, setiap hari dia dan istrinya semakin mirip saja. Dia bahkan memakan rotinya sedikit demi sedikit persis Mary.

Dia mencoba menjelaskan padaku dan kemudian bertanya apa aku masih marah padanya atau tidak. kemudian dia kembali mengingatkanku pada kesepakatan kami bertahun-tahun yang lalu untuk tidak akan pernah lagi mengusik masa lalu kami. Hanya saja dia tak pernah bisa menghindar untuk mengangguk setiap kali aku bertanya apa dia masih mencintai aku. Karena aku tahu dia akan selalu mencintai aku meski telah ada Mary di sisinya.

Dan aku ingin kembali mengulang pertemuan kami setiap pekan, percakapan yang sama, dan pertanyaan yang sama apa dia masih mencintaiku. Dia mengangguk meskipun dia tidak ingat kalau dia pernah mencintaiku. Dia tidak pernah ingat apapun.

Kemudian setelah aku berkata padanya ‘sampai jumpa minggu depan’, John akan berjalan keluar restoran, menuju sebuah mobil yang terparkir di ujung jalan kemudian berlalu bersama penjemputnya itu. Mary yang selalu setia mengantarkan John ke restoran itu untuk bertemu denganku, demi memori John yang telah lama menguap. Dia bahkan tidak ingat kalau Mary adalah istrinya.

Comments

Popular posts from this blog

Pierre Tendean (Lagi-lagi)

Antara Pierre Tendean dan Hiruk Pikuk Jalanan Di Depan Kantor

Saya dan Tahun 60-an