Istana Pasir


Tadinya saya pikir saya telah mengalah dengan masa lalu saya. Tadinya saya pikir saya sudah berdamai dengan masa lalu saya. Tadinya…sebelum Tegar mengatakan dia akan menikah dengan perempuan itu.

“Kenapa begitu sulit buatku untuk berdamai dengan masa yang telah lampau?” tanyaku terisak pada diriku sendiri.

Dengan langkah gontai aku menarik koperku masuk ke dalam ruang check-in bandara. Aku telah memilih untuk tidak memilih. Aku menyerah. Kenapa aku harus ikut terseret dengan arus masa lalu yang telah Tegar alirkan lagi ke dalam rongga dadaku? Bukankah dia tak perlu mengusik lagi rasa yang dulu kami bagi bersama? Bukankah aku pun telah yakin, meski rasa itu tetap ada dan tidak akan hilang begitu saja, aku akan menggeleng, memberi jawaban tidak untuk setiap pertanyaan yang sama.

Aku memang tidak pernah berhenti mencintaimu, Tegar. Tapi aku kini jauh lebih paham, jenis cinta yang aku miliki untukmu adalah cinta logika. Aku tidak lagi terbuai dengan rasaku sendiri, tapi dengan akalku. Akalku bilang aku memang masih mencintaimu. Tapi dia juga bilang, memaksa untuk tetap memilikimu hanya akan melukaiku sendiri.


Saya minta maaf. Semuanya tiba-tiba menjadi menakutkan di mata saya. Semuanya bergulung membentuk badai dan saya tidak berani bergerak maju. Saya lebih memilih mengambil jalan lain daripada melewati badai itu. Saya tidak cukup pintar ternyata untuk tau kalau kau hanya akan berlalu begitu saja sementara saya telah menggantung harapan yang begitu tinggi padamu. Kau berlalu karena kegilaan Tegar dan kebodohan saya. Sekali lagi saya minta maaf…

Ruang tunggu bandara selalu ramai, bahkan di pagi buta seperti saat ini. Aku duduk bersandar di sebuah kursi dan memandang dari balik kaca deretan pesawat di landasan udara. Bandara Internasional memang tidak pernah tidur, tidak akan pernah beristirahat.

Aku menarik nafas panjang. Semoga kali ini aku tidak perlu menghadapi petugas maskapai yang meminta maaf dengan wajah seperti menahan sakit perut karena penerbangannya ditunda atau dibatalkan. Aku benar-benar ingin cepat-cepat menyingkir dari kota ini. Karena itulah aku memilih penerbangan paling pagi. Aku ingin menyingkir dari hadapan orang yang telah aku kecewakan.

Menyingkir? Sepengecutkah itu diriku? Bukankah menyingkir sama saja dengan lari? Tak mau menghadapi kenyataan yang telah disediakan untukku? Apa dia bisa menerima keputusanku begitu saja tanpa ada sehuruf pun penjelasan yang aku berikan padanya? Apa dia akan tetap sesabar itu menghadapi tingkahku yang kekanak-kanakan?

Saya minta maaf…

Di tengah-tengah hiruk pikuk bandara pagi ini, aku duduk menunduk dan menangis. Sesungguhnya aku pun tidak tau pilihan apa yang aku ambil bahkan hingga aku memilih untuk tidak memilih.

Saya minta maaf… tadinya saya pikir saya telah berdamai dengan masa lalu saya. Berbaikan dengan rasa saya…tadinya saya pikir seperti itu saat saya mulai mencintai kamu.

***

Kuta, menjelang matahari terbenam

Dia santai saja. mengenakan celana panjang sebetis, kaus oblong berwarna putih, rambutnya acak-acakan diterpa angin pantai, dan sebuah kaca mata hitam bertengger di hidungnya. Pahatan wajah sempurna yang selalu aku kagumi, meski bukan karena wajah elok itu yang membuatku jatuh cinta padanya. Bagiku keindahan fisiknya adalah bonus yang telah Tuhan berikan kepadanya karena keindahan hatinya itu. Dia indah… bahkan Tegar pun tak seindah dia. Dia laki-laki terindah yang rela singgah di semua bab hidupku, ikut menulis takdir-takdir paragraf di dalamnya, sehingga meski namanya tak tertulis sebanyak nama Tegar, tapi dia selalu hadir dalam setiap lembar kenangan yang indah. Dia indah.

“Darimana kamu tau saya ada di sini?” tanyaku parau. Aku memang lebih suka menyebut ‘saya’ dan ‘kamu’ di hadapannya. Entah kenapa setiap berada di depannya aku merasa hidupku jauh lebih teratur dan formal. Dia sangat berbeda dengan Tegar yang spontan dan senang membolak-balikan urutan prosedur yang dia sendiri sepakati.

“Hanya menebak” jawabnya singkat sambil memandangi orang-orang yang bermain frisbee di depan kami.

“Bagaimana kalau kamu tak menemukan saya disini?”

“Aku akan mencarimu ke tempat lain sampai ketemu…” dia tersenyum.

Dadaku berdebar kencang. Masih saja setiap kalimat yang dia ucapkan kepadaku selalu mampu membuatku berdebar dan salah tingkah. Berbeda dengan Tegar yang selalu membuatku santai dan bersikap seenaknya.

“Maafkan saya…” kalimat yang selama ini hanya bisa aku ucapkan dalam hati akhirnya bisa aku ucapkan langsung kepadanya.

“Maaf untuk apa? untuk sebuah pilihan yang kau buat? Untuk Tegar? Untuk calon istri Tegar, atau untukku?”  tanyanya.

Untuk kamu tentu saja. Jawabku, hanya di dalam hati.

“Aku menunggumu selama lima jam di tempat itu. Aku kira kau akan datang menemuiku…”

“Maafkan saya…” potongku.

“Pada akhirnya kau tak memilih seorang pun dari kami berdua…”

“Saya bingung. Terlalu banyak hal di waktu yang bersamaan. Tegar yang mendadak jadi aneh, kamu yang mendadak keras kepala…”

“Aku keras kepala?” potongnya.

“Kamu seperti memaksa saya untuk mengambil keputusan. Itu yang saya rasakan. Saya tidak bisa didesak karena saya tidak ingin mengambil keputusan yang salah”

Dia menarik nafas panjang. “Tegar juga ada di sini” gumamnya “dia masih menginginkan jawaban darimu. Dia sudah membatalkan pernikahannya demi kamu. Aku harap kau tidak mengambil keputusan yang salah”

“Saya sudah mengambil keputusan untuk tidak memilih siapapun.” Seruku marah.

“Kau belum memilih apapun, Ayna! Bagi kami pilihanmu bukanlah jawaban. Kami akan terus ada di sini untuk menunggumu memberi jawaban yang pasti. Lebih baik kau hanya menyakiti seorang saja daripada menyakiti kedua-duanya. Kenapa kau tidak memilihku saja dan membiarkan Tegar menikah dengan perempuan itu? Kenapa kau membuat semuanya hancur berantakan? Kau telah menyakiti aku, Tegar, calon istri Tegar, dan semua orang yang kau ceritakan kebohongan ini!”

“Kebohongan apa?” sentakku.

“Kebohongan bahwa kau mencintaiku. kebohongan bahwa akulah yang berhasil membuatmu melupakan Tegar…”

Dia diam, aku diam. Matahari benar-benar telah tenggelam dan menyisakan rona merah di kaki langit. Dia membuka kaca mata hitamnya dan memandangiku. Ya Tuhan…matanya basah. Dia sedang menangis di hadapanku. Laki-laki indah ini sedang menangis!

“Saya tidak berbohong…” ucapku pelan “saya memang mencintaimu.”

Dia menyeka air matanya dan kemudian meninggalkan aku sendirian saja di pinggir pantai.

Maafkan saya…saya memang mencintaimu…

***

Aku dan Tegar adalah awan dan angin yang saling membutuhkan, tapi tak saling mempedulikan. Kami berdua sama-sama tau kalau rasa itu tidak pernah hilang, masih ada di sana. Di tempat yang sama seperti bertahun-tahun lalu, bersemayam dengan nyaman di sela-sela rongga dada. Tapi kami berusaha untuk tidak peduli, berusaha untuk memberikan tempat itu untuk orang lain dan pada akhirnya selalu berkali-kali gagal. Tapi siapa sangka, untuk orang yang terakhir yang kami sangka adalah orang yang tepat untuk masing-masing dari kami malah membuat rasa itu terlihat semakin nyata? Kenapa orang yang tepat selalu datang di waktu yang salah? Dan kenapa lebih banyak lagi orang salah yang datang pada waktu yang tepat?

“Kau mencintainya?” Tegar bertanya, ekspresinya datar saja tapi aku tau dadanya bergemuruh. Dia takut mendengar jawaban ‘ya’ dariku. Aku tentu saja tak bisa menggeleng. Aku memang mencintai laki-laki indah itu.

“Lantas kenapa kau tak memilihnya saja dan membiarkan aku bahagia dengan pernikahanku?” bentak Tegar “kenapa kau malah pergi dan merusak semuanya?”

Aku hanya diam. Tak ada gunanya membantah Tegar yang tengah marah.

“Kau ingin mempermainkan kami semua, Ay?!”

Tidak, sama sekali tidak. Aku memilih untuk pergi karena aku tau kalau aku telah melakukan sebuah kesalahan. Aku malu mengakui pada diriku sendiri kalau rencana pernikahanmu telah menghancurkan hatiku. Meskipun aku mencintai orang lain dengan cinta yang lebih besar daripada saat aku mencintaimu dulu. Kau tau Tegar? Kadang cinta berlandaskan logika jauh lebih rumit daripada cinta berlandaskan rasa.

Tegar pergi meninggalkan aku begitu saja yang hanya diam. Aku telah menjawab semua pertanyaannya di dalam hatiku dan dia tidak perlu mengetahuinya.

***

“Maafkan saya…saya hanya takut jika saya memilihmu, maka saya akan menyakitimu sama seperti Tegar menyakiti saya. Kenyataan kalau saya masih merasa sakit dengan rencana pernikahann Tegar membuat saya berpikir ulang untuk menerima kamu dalam hidup saya. Saya tidak ingin orang baik seperti kamu harus menangis karena saya…lagi…”

Dia hanya memandangi istana pasir hasil karyanya.

“Saya tidak bisa berjanji tidak akan menyakitimu nanti, sama seperti Tegar yang tidak bisa berjanji tidak akan menyakiti saya lagi. Masa depan terlalu misterius hanya untuk kita gambarkan dengan satu dua buah kalimat. Tidak ada yang bisa menjamin semuanya, dan itu membuat saya takut.”

“Bagaimana kalau kita hidup untuk hari ini saja?” dia mengedipkan sebelah matanya.

“Maksud kamu?”

“Kau teralu cemas dengan masa depan dan itu membuatmu tak berpindah kemana pun. Jadi bagaimana kalau kita menganggap setiap hari yang kita lalui nanti di masa depan adalah hari ini? Hari ini saat aku masih sangat mencintaimu dan kau pun masih sangat mencintaiku. Tidak usah kau pikirkan bagaimana perasaanmu nanti sepuluh atau dua puluh tahun lagi. Yang perlu kau pikirkan hanyalah membuat hari esok menjadi seperti hari ini. Selesai”

Aku tertawa. Setiap apa yang dia ucapkan memang terasa mudah untuk dilakukan. Dia selalu berhasil menyederhanakan hal-hal rumit dan menyelipkan tawa di setiap keseriusan.

“Saya sudah berpikir untuk memilih…”

“Ohya? Jadi siapa yang telah kau pilih?”

“Tegar…dia sudah pulang semalam. Saya memintanya untuk pulang. Pernikahannya harus tetap berlangsung meski saya tetap merasa sakit melihatnya.” Aku menarik nafas panjang dan berhenti sejenak hanya untuk menangkap setiap ekspresi yang nampak pada wajahnya. “Saya mencintaimu, bahkan saya lebih mencintaimu daripada Tegar. Seharusnya sejak awal saya memilihmu…. Tadinya saya pikir saya telah mengalah dengan masa lalu saya. Tadinya saya pikir saya sudah berdamai dengan masa lalu saya. Tadinya…sebelum Tegar mengatakan dia akan menikah dengan perempuan itu. yah, seharusnya saya tetap memilihmu meskipun ada begitu banyak hal-hal bodoh yang telah saya campur adukkan ke dalam kepala saya”

Dia berdiri dari sisiku, berjalan pelan menuju laut. Serta merta dia langsung berenang menjauh dari pantai. Terus berenang hingga aku hanya bisa melihat setitik dirinya.

UPS Pelita,
9.37 AM
21 Juni 2012

Comments

Popular posts from this blog

Pierre Tendean (Lagi-lagi)

Saya dan Tahun 60-an

Antara Pierre Tendean dan Hiruk Pikuk Jalanan Di Depan Kantor