Posts

Showing posts from May, 2014

Tacenda

Image
Charles De Gaulle, Paris, Prancis Telepon genggamku bergetar, sebaris pesan singkat via aplikasi chatting gratisan masuk. Dari dia. Penerbangan jam berapa? Sebentar lagi. Ini mau boarding. Transit ya? Iya, di Doha 3 jam. Dia tidak membalas lagi. Selalu. Menyebalkan. Kenapa aku bisa sangat jatuh cinta pada orang menyebalkan seperti dia? Paling tidak dia bisa menanyakan kabarku. Bagaimana cangkir kopi pertamaku hari ini. Aku sangat ingin bercerita padanya tentang bagaimana perjuanganku naik metro ke bandara. Tentang kerudungku yang tanpa sengaja tersangkut di pintu metro. Atau tentang koperku yang membuatku terpeleset ketika memasuki bandara. Ada banyak sekali yang ingin kuceritakan, kalau saja dia menanyakan kabarku mungkin aku bisa membuka pembicaraan itu. bercerita dengannya selalu mampu membuatku tidak merasakan waktu yang baru saja berlalu. Penerbangan delapan jam nonstop menuju Doha. Seorang pramugari menawariku minum yang aku tolak dengan halus. Mesk

Papa

Image
Mungkin, selama saya mulai suka menulis, ini pertama kalinya saya menulis tentang orang tua saya. Entah karena saya merasa saya bukan orang yang pandai menulis rayuan gombal untuk mereka. Bagi saya, tulisan seindah apapun, seromantis apapun, sama sekali tidak bisa melukiskan perasaan saya tentang mereka. Dan inilah pertama kalinya saya mencoba menulis tentang seorang pria yang sampai kapanpun akan selalu ada di urutan pertama doa saya. Bismillah... Saya memandangi arloji putih yang melingkar di pergelangan tangan kiri. Sudah jam lima sore. Pergi tidak ya? Saya mengetuk-ngetuk layar handphone dengan jari, baru beberapa detik yang lalu papa menelepon, bertanya apa saya jadi datang berkunjung ke tempatnya atau tidak. Ya, kemarin entah kenapa tiba-tiba saya menelepon papa, bertanya kabarnya dan dengan spontan saya bilang kalau saya ingin berkunjung ke tempatnya. Tapi sekarang saya malah ragu untuk datang. Saya khawatir kami akan lebih banyak diam. Saya khawatir kami tidak

Chen

Image
Aku mengenal Chen sudah lama sekali. Kami berkenalan saat usia kami masih tiga belas tahun, kelas dua SMP. Dia gadis yang sedikit pendiam ketika itu. Tapi sama seperti orang tionghoa lainnya, Chen gadis yang ulet dan rajin. Jangan bayangkan Chen berasal dari keluarga tionghoa yang berada meski memang banyak keluarganya yang telah sukses. Sama juga seperti banyak tionghoa di negeri ini, ayah Chen adalah seorang pedagang. Dia memiliki sebuah toko kecil di sudut pasar yang menjual rempah-rempah. Karena hanya toko itu satu-satunya penopang hidup keluarga, ibu Chen ikut berjualan makanan dan Chen berjualan kue keliling kampung setiap pulang sekolah. Aku hafal suara Chen yang kekanakan itu setiap kali dia lewat di depan rumah meneriakkan jualannya. Rumahku berada di ujung kampung sehingga selalu menjadi persinggahan terakhir jualannya. Ayah dan aku suka sekali kue serabi buatan ibu Chen yang memang dimasak di tungku dan masih menggunakan cetakan tanah liat. Bau dan rasanya khas. Kadan

Cheongsam Biru

Image
Aku mengayuh sepeda kumbangku sekuat tenaga, seberapa besar pun tenaga yang bisa aku hasilkan untuk mengayuh. Bahkan sedetik pun terasa panjang setiap kali aku ingin menemui gadis itu. Tapi kali ini aku benar-benar terlambat. Pertama kalinya aku terlambat. Punggungnya menatapku. Rambutnya yang digelung tinggi ikut memandangiku tajam. Menyalahkan. Beberapa anak rambut yang menjuntai dari gelungan rambutnya seolah melambai mengusirku. Bahunya tak bergerak sedikit pun. Gadis itu belum menyadari kehadiranku. Aku melangkah perlahan di atas rumput yang basah setelah hujan mengguyur sepanjang sore. Menyapa beberapa orang yang aku kenal sebelum kakiku membawa aku ke dekatnya. Gadis itu memandangi karosel di depannya dengan antusias - bahkan aku bisa menebak seantusias apa wajahnya meski hanya menatapnya dari punggungnya saja.