Papa


Mungkin, selama saya mulai suka menulis, ini pertama kalinya saya menulis tentang orang tua saya. Entah karena saya merasa saya bukan orang yang pandai menulis rayuan gombal untuk mereka. Bagi saya, tulisan seindah apapun, seromantis apapun, sama sekali tidak bisa melukiskan perasaan saya tentang mereka. Dan inilah pertama kalinya saya mencoba menulis tentang seorang pria yang sampai kapanpun akan selalu ada di urutan pertama doa saya.

Bismillah...

Saya memandangi arloji putih yang melingkar di pergelangan tangan kiri. Sudah jam lima sore. Pergi tidak ya? Saya mengetuk-ngetuk layar handphone dengan jari, baru beberapa detik yang lalu papa menelepon, bertanya apa saya jadi datang berkunjung ke tempatnya atau tidak.

Ya, kemarin entah kenapa tiba-tiba saya menelepon papa, bertanya kabarnya dan dengan spontan saya bilang kalau saya ingin berkunjung ke tempatnya. Tapi sekarang saya malah ragu untuk datang. Saya khawatir kami akan lebih banyak diam. Saya khawatir kami tidak akan punya bahan untuk bercerita. Dan sederet kekhawatiran lain yang tidak masuk akal. Astaga...dia papa saya. Kenapa saya merasa seperti akan mengunjungi calon mertua saja? Dia papa saya meski sudah setahun belakangan ini kami tinggal terpisah.

Papa beberapa kali menelepon, bertanya kapan saya akan datang.

Dengan perasaan tak menentu akhirnya saya memutuskan datang berkunjung.

Selama di Luwuk papa tinggal di rumah adiknya yang terletak di dekat pantai. Sejak dulu keluarga papa yang sering kami kunjungi saat saya kecil selalu tinggal di dekat pantai. Ada yang belakang rumahnya langsung disuguhi pantai, ada yang pemandangan depan rumahnya lautan biru...saya rasa saya tau sejak kapan saya mulai menyukai pantai.

Papa sedang duduk di teras rumah saat saya tiba. Saya melihat-lihat isi rumah sebentar sambil berbasa-basi soal keadaan adik-adik saya. Tapi untunglah saat saya sedang berpikir keras untuk mencari bahan pembicaraan, tiba-tiba telepon genggam papa berdering. Saya merasa terselamatkan dengan telepon dari teman papa itu.

Sepuluh menit kemudian papa menutup telepon. Beliau kembali bertanya soal adik-adik. Sebenarnya saya jarang berbicara seperti ini dengan kedua orang tua saya. Bahkan di rumah pun saya menjadi orang yang sangat tertutup. Jadi rasanya aneh sekali ketika papa mulai bertanya tentang pernikahan. Entah kenapa saya merasa segan membahasnya dengan beliau.

"Cici kan sudah cukup umur" ucap Papa. Di rumah saya memang dipanggil cici. Cici atau cece adalah panggilan yang digunakan oleh orang tionghoa untuk menyebut kakak perempuan. "Sudah pantas buat menikah. Siapa tau cici punya teman laki-laki yang baik. Yang penting sudah bekerja."

Saya hanya tersenyum. Sederhana sekali syarat dari papa untuk orang yang akan menjadi suami saya. Padahal saya pernah menulis sederet syarat-syarat tidak penting tentang calon suami saya seperti harus sama-sama suka traveling, harus humoris, dan bla bla bla. Rasanya saya seperti tertampar. Syarat dari papa begitu sederhana. Beliau hanya tidak ingin hidup saya nanti susah meski sebenarnya saya tidak keberatan untuk hidup dengan kondisi apapun asalkan dengan orang yang tepat.

"Pa, itu si nomor lima tidak mau dengar saya. Tiap hari pulang malam terus" saya mengalihkan pembicaraan.

Setelah itu kami membahas si nomor tiga yang bebal, si nomor empat yang tahun ini lulus dan saya ingin dia masuk Akmil saja, dan si nomor lima yang tiap malam pulang larut dan tidak pernah mau dengar apa kata saya.

"Pokoknya cici harus liat adik-adik" ucap papa. "Nanti kalau semua sudah lulus kuliah baru cici bisa mulai nabung. Beli rumah, beli mobil. Kalau sekarang jangan dulu..."

Saya tertawa, tapi mengaminkan dalam hati.

Kami kembali bercakap-cakap. Tapi tiba-tiba masjid mulai bersuara. Saya melirik jam tangan saya dan mengeluh, kenapa waktu cepat sekali berlalu ketika percakapan saya dengan papa mulai mengalir. Setelah saya bercerita soal kantor, pekerjaan saya, soal mama, kembali lagi ke soal adik-adik dan soal kantor lagi.

"Pa, saya mau pulang" kata saya sambil mengancingkan tas ransel dan berdiri dari kursi rotan di teras rumah. "Papa kapan balik ke Surabaya?"

"Tanggal sepuluh. Cici jaga adik-adik ya." ucap papa. Lagi.

***

Tanggal lima papa datang ke kantor. Katanya mau berangkat ke Surabaya hari itu juga. Saya ingin protes. Kok berangkatnya tiba-tiba? Kan katanya tanggal sepuluh? Kok baru bilang sekarang? Padahal saya mau belikan papa hadiah untuk ulang tahunnya yang ke lima puluh tanggal tiga puluh April kemarin. Padahal saya menunggu papa datang ke rumah membawakan saya donat di hari ulang tahunnya.

Ah, benar. Jangan pernah menunda. Jangan sekali-kali menunda hal-hal sederhana sekalipun untuk orang-orang yang kalian sayangi.

Saya mengantar papa sampai keluar kantor.

"Papa pergi ya..." ucapnya. Tapi beliau tidak langsung pergi, papa masih memandang saya. "Mungkin papa agak lama di Surabaya."

Saya tau, maksud papa dia mungkin tidak akan balik lagi ke Luwuk dalam waktu dekat.

"Iya. Nanti saya yang kesana. Kalau ada diklat saya kan pasti ke Surabaya" saya mencium tangan papa. Setelah itu saya buru-buru masuk ke dalam kantor. Saya tidak ingin, bahkan oleh papa saya sendiri, terlihat kalau saya sedang berusaha keras menahan air mata saya agar tidak mengalir dan untungnya tidak benar-benar mengalir.

***

Saya tidak tau kenapa pada akhirnya saya menulis tentang papa. Tiba-tiba saja saya diserang rindu pada beliau. Saya tidak pernah membayangkan sebelumnya bahwa saya akan tinggal jauh dari beliau di hari tuanya. Papa yang jarang marah tapi sekalinya marah sangat menakutkan. Papa yang rela melakukan apa saja untuk anak-anaknya, permintaan yang paling tidak masuk akal sekalipun.

Saya ingat, dulu saat saya SD papa pernah menjemput saya di sekolah dengan berjalan kaki. Ketika saya bertanya dimana motor papa, papa bilang motornya diparkir di tempat yang jauh karena di dekat sekolah saya ada tilang sementara SIM papa sudah mati (haha). Atau saat papa mengantar saya ke tempat test di Manado dulu dengan sepeda motor pinjaman. Kami nyasar dan saya nyaris telat ikut test dan saya merajuk pada papa. Sampai sekarang saya menyesal kenapa saya bisa merajuk pada beliau hanya karena hal sepele seperti itu.

Semoga nanti, hidayah itu menghampiri beliau. Semoga nanti Allah mempertemukan saya dan papa di jannah-Nya. Semoga nanti saya bisa menemani beliau di hari tuanya.

19.07
Saya rindu, tapi bukannya menelepon beliau saya malah menulis di blog. Ah, kenapa sulit sekali menunjukkan rasa rindu dan sayang saya? *getok kepala ke laptop*

Comments

Popular posts from this blog

Pierre Tendean (Lagi-lagi)

Saya dan Tahun 60-an

Antara Pierre Tendean dan Hiruk Pikuk Jalanan Di Depan Kantor