Tacenda
Charles De Gaulle, Paris, Prancis
Telepon genggamku bergetar,
sebaris pesan singkat via aplikasi chatting gratisan masuk. Dari dia.
Penerbangan jam berapa?
Sebentar lagi. Ini mau boarding.
Transit ya?
Iya, di Doha 3 jam.
Dia tidak membalas lagi. Selalu.
Menyebalkan. Kenapa aku bisa sangat jatuh cinta pada orang menyebalkan seperti
dia? Paling tidak dia bisa menanyakan kabarku. Bagaimana cangkir kopi pertamaku
hari ini. Aku sangat ingin bercerita padanya tentang bagaimana perjuanganku
naik metro ke bandara. Tentang kerudungku yang tanpa sengaja tersangkut di
pintu metro. Atau tentang koperku yang membuatku terpeleset ketika memasuki
bandara. Ada banyak sekali yang ingin kuceritakan, kalau saja dia menanyakan
kabarku mungkin aku bisa membuka pembicaraan itu. bercerita dengannya selalu
mampu membuatku tidak merasakan waktu yang baru saja berlalu.
Penerbangan delapan jam nonstop
menuju Doha.
Seorang pramugari menawariku
minum yang aku tolak dengan halus. Meskipun ini bukan penerbangan pertamaku,
tapi rasa cemas dan gelisah selalu menghantuiku setiap kali aku bepergian
dengan pesawat dan delapan jam bukan waktu yang singkat. Aku tidak ingin minum
agar aku tidak perlu berdiri dari kursi untuk berjalan menuju kamar kecil di
pesawat. Melangkahkan kakiku di atas pesawat yang tengah terbang ribuan kaki di
atas daratan selalu berhasil menghantuiku. Setiap kali bepergian dengan
pesawat, tak pernah sekalipun aku beranjak dari tempat dudukku.
Dari jendela pesawat Paris
perlahan mulai menghilang ditelan gumpalan awan. Sebelas menit pertama setelah
lepas landas adalah waktu yang paling krusial karena banyak kecelakaan pesawat
yang terjadi pada sebelas menit pertama setelah lepas landas. Begitu yang aku
baca pada sebuah artikel di internet. Dan kami baru saja terbang lima menit
yang lalu sehingga aku masih mencengkeram pegangan tempat dudukku. Selalu
begitu. Aku baru bisa menarik nafas lega setelah ada pemberitahuan kalau sabuk
pengaman sudah bisa dilepaskan.
“Aku masih selalu takut terbang” keluhku padanya dua tahun yang lalu
ketika aku akan berangkat ke Paris.
“Ada Allah” ucapnya menenangkan “Dia sebaik-baik pelindung.”
“Menurutmu apa tidak apa-apa sama kerudungku ini kalau sudah sampai di
Paris nanti?” pertanyaanku basa-basi saja sebenarnya karena aku sudah tau jawabannya.
Sebelum berangkat, aku sudah membaca banyak artikel tentang dunia Islam di
Prancis. Tentang para muslimah di sana.
“Yang cadaran saja banyak kok ke Eropa. Tidak apa-apa, tenang saja. Kan
ada Allah” dia mengedipkan sebelah matanya.
Iya, ada Allah. Selalu ada Allah. Ucapku dalam hati, menguatkan hatiku
yang berdebar tak beraturan.
Namanya Shafwan, teman kuliahku
yang sudah lebih dulu melanjutkan studi S2 di Jerman. Aku bertemu dengannya
ketika dia pulang berlibur dan memberinya kabar kalau aku juga akan melanjutkan
studiku di Paris. Aku banyak bertanya padanya tentang pengalamannya selama
tinggal di Eropa, apalagi sebagai seorang muslim. Iya, aku tau, aku bisa
menemukan semua jawaban dari pertanyaanku di internet. Tapi aku selalu suka
berbagi cerita dengannya. Sejak dulu, sejak kami masih menjadi teman sekelas
saat kuliah dulu.
Komunikasi kami terus berlanjut
setelah aku ke Prancis dan dia ke Jerman. Bahkan setelah dia menyelesaikan
studinya dan kembali ke Indonesia, kami tetap berkomunikasi. Tapi tidak pernah
sering. Paling banyak sepekan dua atau tiga kali, itu pun harus aku yang
menghubungi lebih dulu. Tapi setiap akhir pekan dia selalu mengirimiku rekaman
pengajian dari ustadz-ustadz di Jerman. Sebagai bahan referensi katanya. Dia
juga meminta aku mengirimkan rekaman kajian para ustadz di Paris.
Jangan hanya ikut kajian di kedubes saja. Sekali-kali kamu harus
menjelajahi semua masjid di sana dan mengikuti kajian mereka. Begitu
katanya padaku setelah beberapa bulan aku menetap di Paris.
Siaap. Jawabku. Disana kamu
paling suka ikut kajian dimana?
Dan setelah itu dia tidak
membalasnya lagi.
***
Doha, Qatar
Transit hanya tiga jam, jadi aku
memutuskan menunggu di sebuah kedai kopi di dekat gate keberangkatanku ke
Jakarta. Cangkir kopi kedua hari ini.
Aku menyalakan telepon genggamku,
berharap ada pesan masuk darinya.
Tiga puluh detik setelah telepon
menyala. Satu menit. Dua menit. Tidak ada. Dia tidak menghubungiku lagi meski
hanya sekedar bertanya dimana aku sekarang.
Sudah sampai Doha. Tiga jam lagi berangkat. Aku memutuskan lebih
dulu mengiriminya pesan. Selalu. Menyebalkan.
Ok. Balasnya.
Rasanya aku ingin mencelupkan
telepon genggamku ke dalam cangkir kopi.
***
Soekarno-Hatta, Jakarta,
Indonesia
Shafwan memang tidak bilang akan
menjemputku, tapi aku berharap dia ada di antara kerumunan orang di pintu
kedatangan. Atau mungkin dia sedang duduk manis di dalam kedai Dunkin Donuts
karena dia tau aku sangat menyukai donat dan setiap kali berada di bandara aku
selalu mampir untuk membeli dua biji donat yang akan aku makan selama
perjalanan menuju rumah.
Aku membuka pintu gerai donat
itu, tapi tak menemukan Shafwan disana. Teleponku juga tidak bergetar sama
sekali sejak aku menyalakannya di ruang klaim bagasi. Aku terlalu repot dengan
koperku sampai tidak sempat untuk mengabarinya lagi kalau aku sudah tiba di
Jakarta.
“Makan disini mbak?” tanya
pramusajinya. Aku mengangguk. Aku sedang malas buru-buru pulang ke rumah.
Saat sedang menyesap capuccino
milikku, yang artinya itu cangkir ke tiga hari ini setelah nyaris terbang melintasi
separuh bola dunia, telepon milikku bergetar.
Aku di Soetta. Kamu masih disini juga kan?
Aku nyaris tersedak membaca pesan
dari Shafwan itu. Buru-buru aku meraih cermin kecil dari dalam tas tanganku dan
merapikan kerudungku. Ah, aku memang berharap dia menjemputku, tapi aku tidak
ingin bertemunya dalam keadaan kusut setelah enam belas jam terbang plus tiga
jam transit. Aku pasti akan terlihat sangat menyedihkan.
Iya, masih. Aku lagi makan donat nih.
Ok. Tunggu aku kesitu.
***
Mungkin aku berlebihan, tapi aku
seperti mendengar suara hentakan sepatu Shafwan yang berlari menuju gerai donat
tempatku berada. Aku bahkan bisa menghitung berapa langkah lagi yang harus dia
ambil sebelum mencapai pintu gerai. Dan benar saja, saat aku berbalik, pintu
gerai terbuka dan seseorang di balik pintu itu, seseorang yang secara misterius
selalu hadir di mimpi-mimpiku, sedang tersenyum kepadaku.
Dia memesan segelas coklat hangat
kemudian duduk di depanku.
“Donat? Setelah enam belas jam
terbang?” tanyanya.
“Perutku masih jetlag, belum bisa
langsung diisi nasi” jawabku asal.
Shafwan tertawa. Aku senang
melihatnya tertawa.
“Kau tidak buru-buru pulang kan?”
Aku menggeleng.
“Ada yang ingin aku tanyakan.
Tentang kamu...”
Aku berhenti mengunyah donat dan
membersihkan coklat yang menempel di ujung mulutku. “Tentang aku?” tanyaku
memastikan.
“Maaf kalau aku bertanya langsung
seperti ini. Tapi aku ingin dengar sendiri dari kamu.”
“Tentang apa itu?” tanyaku
sedikit gugup. Ah, sudahlah. Berbicara langsung di depannya seperti ini pun sudah
sangat membuatku gugup dan harus aku samarkan dengan mengunyah donat secara
bersemangat. Ditambah dia bertanya seperti itu dengan wajah serius, aku
buru-buru meminum capuccino milikku.
“Kamu menyukaiku?”
Untuk sepersekian detik rasanya
aku seperti akan menyamburkan capuccino yang sedang aku minum dengan semangat
berlebihan. Tapi untunglah aku mampu menguasai diriku.
“Maksudmu?”
“Ya...aku hanya menarik
kesimpulan dari komunikasi kita selama ini. Kamu selalu lebih dulu menanyakan
kabarku dan hanya kamu...iya...di antara semua teman yang aku kirimi rekaman
kajian itu yang mau membalasnya bahkan balas mengirimiku dengan rekaman kajian
di Paris.”
“Tapi kan...” sanggahku “kamu tau
apa aktivitasku sejak kuliah dulu. Ikut kajian ini itu...”
“Iya...tapi hanya kamu yang rutin
menanyakan kabarku.”
Glek...aku berpikir cepat.
“Ya...itu karena aku memang orang yang perhatian sama semua teman. Apalagi kita
sama-sama kuliah di Eropa. Wajar kan aku ingin tau bagaimana kabarmu.”
“Ah, rupanya aku salah sangka
selama ini...”
Tidak! Kamu tidak salah! jeritku dalam hati. Tapi kan tidak mungkin aku mengakuinya di hadapanmu saat ini. Ah, kamu
memang menyebalkan!
“Maaf ya...aku pikir kamu...”
“Santai saja” kataku, mencoba
tersenyum santai tapi gagal. Aku malah tampak seperti orang yang menyeringai.
“Baiklah, kalau begitu aku akan
mentraktimur donat sebagai permintaan maafnya.”
Aku berusaha menyembunyikan wajah
kesalku. Kenapa dia harus bertanya langsung seperti ini?
***
Shafwan
Aku memandangi perempuan itu yang
melambaikan tangannya setelah aku menurunkannya di depan rumah. Ternyata selama
ini aku hanya GR. Aku pikir dia benar menyukaiku dengan semua perhatiannya itu.
Shafwan, bodoh sekali dirimu. Mana mungkin perempuan itu akan
menyukaimu. Keluhku dalam hati.
Ah, bagaimana caranya aku harus
bilang pada ibu kalau anaknya baru saja kalah bahkan sebelum berperang? Aku
baru saja kehilangan seorang calon istri yang sebenarnya ingin sekali aku
kenalkan pada ibuku.
Pasti diganti dengan yang lebih baik. ada Allah. Selalu ada Allah. Bisikku
dalam hati.
13.28
19 Februari 2014
Cerpen lg donks
ReplyDeleteIya... on progress :D
ReplyDelete