Cheongsam Biru
Aku mengayuh sepeda kumbangku
sekuat tenaga, seberapa besar pun tenaga yang bisa aku hasilkan untuk mengayuh.
Bahkan sedetik pun terasa panjang setiap kali aku ingin menemui gadis itu. Tapi
kali ini aku benar-benar terlambat. Pertama kalinya aku terlambat.
Punggungnya menatapku. Rambutnya
yang digelung tinggi ikut memandangiku tajam. Menyalahkan. Beberapa anak rambut
yang menjuntai dari gelungan rambutnya seolah melambai mengusirku. Bahunya tak
bergerak sedikit pun. Gadis itu belum menyadari kehadiranku.
Aku melangkah perlahan di atas
rumput yang basah setelah hujan mengguyur sepanjang sore. Menyapa beberapa
orang yang aku kenal sebelum kakiku membawa aku ke dekatnya. Gadis itu
memandangi karosel di depannya dengan antusias - bahkan aku bisa menebak seantusias
apa wajahnya meski hanya menatapnya dari punggungnya saja.
Aku berdiri tepat di sisinya,
menyandarkan tubuhku ke pagar besi pembatas karosel di depan kami, menampakkan
ekspresi wajah kelelahan di depannya sambil mengusap peluh di dahi. Dia
tersenyum melihat diriku.
"Maaf...ban sepedaku kempes.
Semua bengkel tutup. Minta tolong teman. Pompa. Aku cepat-cepat kesini"
kataku padanya dengan kalimat pendek-pendek. Agar dia percaya kalau aku
kelelahan mengayuh sepeda. Bukan lelah untuk mengatakan hal yang sangat tidak
ingin aku katakan padanya.
Chen. Dia selalu suka mengenakan
cheongsam biru dengan motif bunga mawar besar-besar berwarna biru juga. Kedua
bola matanya kecil laksana mata burung dara. Kecil namun cantik. Wajahnya yang
bulat dengan rambut hitam panjang yang digelung tinggi, serta cheongsam biru
yang membalut sempurna hingga ke lehernya selalu membuatku tak bisa
berkata-kata selama beberapa detik. Padahal dia selalu mengenakan Cheongsam
yang sama setiap imlek dan aku telah melewati lima belas kali imlek bersamanya
sejak aku kecil dulu.
"Ayo kita naik itu"
Chen menunjuk karosel yang sedang berputar pelan dengan antusias. Tanpa
menunggu persetujuanku dia lantas menarikku ikut dengannya membeli dua buah
karcis untuk tiga kali putaran karosel karatan yang juga telah menemani kami
selama lima belas kali perayaan agustusan.
Aku tidak menolak meski aku benci
harus berputar di atas karosel. Selama lima belas kali mengunjungi pasar malam,
ini pertama kalinya aku naik karosel. Sementara Chen, ini yang ke seratus lima
puluh kalinya. Setiap tahun dia tidak pernah melewatkan pasar malam dan naik
berulang-ulang di atas karosel sampai uangnya habis dan dia mulai menangis.
Jika dia mulai menangis, maka tugaskulah memboncengnya dengan sepeda pulang ke
rumahnya.
Aku memandangi wajah Chen dengan
lekat saat karosel mulai berputar.
"Bintang, kamu tidak pernah
mau naik karosel sebelumnya." ucap Chen sembari tertawa.
Aku tak menjawab. Aku biarkan
mataku terus menatapnya tanpa bosan.
Chen tertegun melihat reaksiku.
Dia mencengkeram tiang pegangan karosel dan membuang wajahnya dari pandanganku.
Gadis ini istimewa. Dia bahkan
mampu membaca apa yang ada di dalam hatiku bahkan sebelum aku mengatakan hal
itu padanya. Chen sudah sering melakukannya kepadaku sejak dulu, menebak dengan
benar apa isi kepalaku dan selalu sempurna mengetahui apa isi hatiku. Sejak
kami kecil, aku tidak mampu menyembunyikan rahasia sekecil apapun darinya.
"Chen" panggilku. Tapi
wajahnya tetap dia palingkan dariku. "Apa ada yang bisa aku lakukan
untukmu?"
Chen menggeleng. Serta merta dia
turun dari karosel yang masih berputar pelan. Aku melompat turun mengejarnya.
Langkah Chen terhenti. Aku telah
menahan tangannya agar tidak pergi lebih jauh lagi.
"Kenapa? Bukannya ayahmu
telah mengenal aku selama lima belas tahun?" tanya Chen nyaris berteriak.
Bola matanya yang hitam pekat tampak berkaca-kaca.
"Chen...ayahku..."
"Apa karena aku tidak
seperti kalian?" potong Chen
“Dia sangat mengenalmu, Chen. Dia bahkan
sudah menganggapmu sebagai anak sendiri...” kalimatku menggantung di ujung anak
sungai, tak mau beranjak untuk mengalir lebih jauh lagi. “Tapi...” aku berusaha
melanjutkannya, “ayahku tidak ingin aku menikah denganmu...”
Chen memandangiku seolah-olah aku ini orang
yang tidak pernah dia kenal sebelumnya. Pandangan matanya begitu asing kepadaku.
“Kenapa?” tanyanya lagi dengan pelan. Suaranya
terdengar lemah.
Aku menggeleng. “Aku tidak tau...” jawabku
jujur.
Entah kenapa tiba-tiba wajah Chen berubah, dia tersenyum “aku ingin menganggap kau belum mengatakan hal ini padaku. Anggap saja aku belum mendengarnya. Kita
mulai semuanya dari awal lagi.” Dia menggamit lenganku dan mengajakku kembali
ke tempat penjualan karcis karosel. “Saat ini saja, aku ingin kita berpura-pura
semuanya baik-baik saja. Aku ingin kamu menemaniku naik karosel. Aku ingin
bermimpi indah malam ini, aku mencintaimu Bintang. Lebih dari yang kau
pikirkan, bahkan lebih dari sekedar lima belas tahun persahabatan kita.”
Langkahku terhenti. Chen yang tengah
menggamit lenganku ikut berhenti.
“Aku ingin menikahimu” ucapku.
“Iya, aku tahu” Chen tersenyum, mengusap
kedua matanya yang hitam kecil itu.
“Aku ingin menikahimu, itu lebih dari sekedar
aku mencintaimu. Aku ingin menikahimu, karena aku ingin mencintaimu sekaligus
memilikimu, menjagamu, merawatmu, menggenggammu, menyayangimu, berdiri di
sisimu, membuatmu tertawa, semuanya lebih dari sekedar aku mencintaimu.”
Chen tak berkata apapun. Genggaman tangannya
melemah dan kemudian terlepas. Dia menjatuhkan lututnya ke atas rumput yang
basah, mencengkeram kedua tangannya di atas lutut. Bahunya bergetar. Tapi tidak,
dia tidak pernah menangis. Lima belas tahun aku menjadi sahabatnya tidak pernah
sekalipun aku melihat dia menangis. Dia jauh lebih kuat dari apa yang
orang-orang bisa lihat dari dirinya.
Aku berdiri diam, memandangi karosel di depan
kami yang terus berputar perlahan. Beberapa orang lalu lalang tak mempedulikan.
Chen masih terduduk, dia bahkan sama sekali tidak mengangkat wajahnya kepadaku.
“Apa yang bisa aku lakukan?” tanyanya pada
akhirnya. Masih dengan wajah yang tertunduk. Aku sama sekali tidak bisa menebak
ekspresi wajah gadis itu.
“Ayo kita pulang” aku menyentuh bahu Chen.
Tiba-tiba tangannya yang putih menepis
tanganku dari bahunya. Dia bangkit kemudian berlari pergi. Hal yang mungkin
akan aku sesali nanti, aku memutuskan untuk tidak mengejarnya.
Tahun-tahun berlalu, aku tidak pernah mendengar kabar Chen lagi. Sejak malam itu, sejak dia berlari tanpa menoleh padaku sedikit pun dan aku tau punggungnya memohon padaku untuk mengejarnya, dia bagai menghilang. Sempurna menghilang.
Benar, hingga saat ini aku masih sangat
menyesalinya. Kenapa malam itu aku tidak berlari mengejarnya. Mengatakan padanya
untuk tetap tinggal di sisiku sampai ayahku menyetujui kehadirannya di
tengah-tengah kami berdua. Aku menyesal, karena sejak malam itu, dan
malam-malam selanjutnya, punggung Chen yang memohon agar aku mengejarnya terus
membayangiku. Cheongsam biru yang sering dikenakannya terus hadir di kepalaku.
Bagaimana caranya menulis akhir kisah yang
bahagia untuk diri kita sendiri? Gadis itu belum mengajarkannya kepadaku dan
hanya pergi begitu saja.
Aku ingin
menikahimu, Chen. Menikahi itu lebih dari sekedar mencintai. Lebih dari sekedar
menjagamu. Lebih dari sekedar merawatmu. Lebih dari sekedar memilikimu. Lebih dari
sekedar kata aku mencintaimu.
13.54
Comments
Post a Comment