Kereta Terakhir


Adinda merapikan kebaya yang dikenakannya, menarik-narik ujung renda kebaya hingga terlihat licin lagi. Tangan kecilnya bergetar terasa resah, meski kebaya lusuh itu sudah rapi dia masih saja terus menerus menarik-nariknya hingga tangannya pun berpindah pada sanggul rambutnya. Adinda, 15 tahun, baru menikah dengan Saijah suaminya, baru dua bulan dan kini dia harus mengantar kepergian suaminya untuk bertaruh nyawa.


Saijah tersenyum memandangi gadis kecilnya. Tubuh kurus dan sedikit bungkuk itu, tangan kasar yang setiap hari bergelut dengan sawah, bola mata yang mengerjap-ngerjap cemas, kuku-kuku jari yang kotor (Saijah sudah meminta Adinda memotongnya sejak beberapa hari lalu. Tapi Adinda selalu saja lupa melakukannya), dan kebaya terbaik yang dimiliki istrinya, hadiah pernikahannya untuk Adinda – lungsuran dari ibu Saijah. Dia meraih tangan Adinda, menautkan jari jemarinya dengan jari Adinda agar gadis itu tenang. Raut wajah Adinda seperti orang yang hampir menangis ketika Saijah hanya bisa tersenyum di depannya.

“Tak akan lama, Adinda” bisik Saijah “kau hanya perlu menunggu tiga puluh enam purnama – itu waktu paling lama yang bisa aku perkirakan. Setelah itu aku akan kembali kepadamu dan akan membuatkan sebuah rumah untuk kita, memelihara beberapa ekor kerbau untuk mengolah sawah kita, aku juga akan membelikanmu beberapa ekor ayam supaya mereka berkokok di pagi hari dan kau tak bangun kesiangan lagi –“ Saijah tertawa “aku juga akan membelikan kau kebaya yang baru…”


“Aku suka kebaya yang ini” potong Adinda “aku tidak butuh kebaya baru. Aku hanya ingin kau tak pergi dengan paman-pamanku itu” rengek Adinda.

Saijah menarik nafas panjang, melirik sekilas beberapa orang pria yang sama-sama duduk dengan mereka di bangku panjang stasiun, meanti kereta terakhir hari ini yang akan membawa mereka ke sebuah tempat untuk bergabung bersama dengan tentara pemuda yang lain. Saijah baru saja menikahi Adinda, tetangganya di sawah orang tua mereka setelah sepuluh tahun mereka bersahabat. Cinta. Saijah sama sekali tak mengerti apa arti kata itu ketika teman-temannya menggoda dirinya dengan sebutan ‘dimabuk cinta Adinda’. Yang Saijah tau, dia hanya melihat Adinda di masa depannya, bukan yang lain. Dan ketika pada akhirnya mereka berdua dinikahkan, barulah Saijah tau kalau ternyata Adinda pun hanya melihat Saijah di masa depannya, bukan yang lain. Saijah rasa itu bukan cinta seperti yang digambarkan teman-temannya. Saijah mencintai kerbaunya karena dia telah membantu Saijah membajak sawah, dan dia tidak mencintai Adinda dengan cara seperti itu. Pun Saijah mencintai sawahnya karena dari sana keluarganya makan, tapi dia juga tak mencintai Adinda sama seperti itu.

Cintanya pada Adinda seperti cintanya pelukan hangat ibunya. Seperti cintanya pada nasihat-nasihat ayahnya. Juga seperti cintanya pada suara cadel adiknya. Bagi Saijah Adinda adalah pelengkap kebahagiaannya selama ini. Menutup lubang-lubang kecil kesedihan ketika si Burik, ayam kesayangannya mati. Atau ketika si cadel adiknya jatuh dari punggung kerbau. Adinda adalah kombinasi segala kebahagiaan dan kesedihan hidupnya. Karena itu dia ingin menikahi Adinda. Itu saja.

Saijah, tujuh belas tahun, satu-satunya pemuda yang dikagumi Adinda sejak sepuluh tahun yang lalu.

Adinda melempar pandangannya ke ujung rel, batas pandang yang hanya berupa garis datar lurus. Kereta api masih belum datang. “Bagaimana kalau keretanya tidak jadi datag hari ini?” tanya Adinda, seketika mengalihkan pandangnya kepada Saijah.

“Aku tetap akan pergi, Adinda. Masih ada besoknya, dan besok-besoknya lagi sampai kereta itu datang menjemputku”

“Bagaimana kalau besok-besok itu tidak pernah ada?” Adinda masih bersikeras. Apapun itu asal Saijah menunda kepergiannya.

Adinda mengeluarkan setangan dari lipatan kain kebaya di pinggangnya dan menyeka butir-butir keringat di dahi Saijah. Hari semakin panas dan kereta belum juga lewat. Stasiun penuh dengan calon penumpang, berkerumun di setiap bangku stasiun. Ada yang beralas kaki ada yang tidak, ada yang memikul hasil ladang mereka, ada yang menggendong anaknya sambil tiduran beralas daun di lantai stasiun. Satu-satunya persamaan yang mereka miliki adalah wajah-wajah tertindas, hasil kerja paksa berbulan-bulan, cemas, khawatir, takut ditangkap, dan sederet perasaan lain yang sama-sama dirasakan kaum marjinal pribumi, populasi yang memenuhi hampir seluruh sudut negeri.

“Aku akan berperang Adinda…tidakkah itu akan membuat keluargaku bangga? Membuat kau bangga kepadaku?”

Adinda menggeleng sendu “aku tidak perlu kebanggaan apapun darimu”

Saijah menarik bahu Adinda dan menyandarkan kepala istrinya ke bahunya “aku tau kau tak menginginkan apapun dariku karena aku tidak bisa memberikan apapun padamu”

Kepala Adinda yang bersandar di bahu Saijah tampak bergerak menggeleng. Menjadi istri Saijah adalah hadiah paling indah yang sangat dia inginkan dan kemudian diberikan Saijah kepadanya. Dia tak pernah meminta apapun bukan karena dia tau Saijah tidak akan sanggup memberikannya. Tapi karena Adinda merasa baginya segalanya terasa cukup ketika Saijah meletakkan tangannya ke rambut Adinda dan membelainya. Baginya semua terasa cukup ketika setiap malam dia dapat menghabiskan waktunya bersama Saijah memandangi nyala obor yang dipasang di depan rumah, bercerita tentang ikan-ikan yang mereka tangkap siang harinya di sungai, bercerita tentang musim hujan yang akan tiba, bercerita tentang sahabat-sahabat mereka…semuanya membuat Adinda merasa cukup.

“Kenapa tanah kita terus menerus dijajah, Saijah?” tanya Adinda dengan suara lirih “setelah orang-orang kulit putih itu pergi, kini orang-orang bermata kecil itu ikut-ikutan menjajah kita. Kenapa Saijah?”

Saijah menarik nafas panjang. Kadang kala pertanyaan polos dari Adinda selalu membuatnya tak berkutik.  Saijah tidak tau bagaimana harus menjawab pertanyaan Adinda. Dia tidak punya pengetahuan untuk itu. Yang dia tau, mereka memiliki apa yang tidak dimiliki para bangsa penjajah itu sehingga bangsa penjajah merampas semua milik mereka. Bahkan tak cukup hanya merampas, mereka juga memeras negeri Saijah yang sudah menjadi ampas hingga tak bersisa setetes pun saripati yang dapat mereka nikmati.

“Tapi…bukankah itu suatu kejahatan, Saijah?” Adinda masih belum puas “seperti yang ayahku bilang saat ada seseorang yang mencuri ayam-ayam kami. Itu kejahatan, tidak pantas dilakukan oleh orang-orang pintar seperti mereka”

Saijah membelai rambut Adinda “sudahlah, itu urusan mereka, bukan urusan kita. Tak ada gunanya kita berpikir serumit itu karena nasib kita tidak akan pernah berakhir di bangunan mewah seperti mereka”

“Tapi kau mau ikut campur urusan mereka. Kau mau berperang melawan mereka…” kembali Adinda merengek.

Bunyi peluit panjang mengagetkan semua orang yang telah lama menanti di stasiun. Adinda pun terkejut dan langsung menegakkan kepalanya. Kereta akan tiba. Para calon penumpang bersegera untuk berkemas, melipat daun yang mereka pakai untuk alas, merapikan hasil panen yang akan mereka bawa serta, merapikan letak destar yang tadi menjadi miring karena mereka tertidur, para ibu menenangkan anak-anak mereka yang menangis karena kaget… Adinda tidak pernah mendengar suara seberisik ini sebelumnya. Hatinya menjadi cemas dan tau-tau air matanya mengalir begitu saja, membasahi wajahnya yang berkeringat.
Adinda mencengkeram lengan suaminya. “Jangan pergi, Saijah” pintanya. Bola matanya yang basah memandangi Saijah dalam-dalam.

Saijah bingung, tak tahu harus melakukan apa. Akhirnya dia menarik Adinda ke dalam rangkulannya dan memeluk istrinya itu dengan erat, erat sekali. Sayup-sayup terdengar suara deru roda besi beradu dengan rel. Kereta semakin mendekat. Tempat mereka berpijak terasa bergetar.

“Jangan pergi” ulang Adinda sekali lagi setelah Saijah melepas pelukannya. Wajahnya kini telah bersimbah air mata.

Saijah hanya diam dan meraih bungkusan kain besar berisi sedikit pakaian dan bekal untuk perjalanan. Dia berusaha keras menghindari pandangan mata Adinda.

Adinda menahan bungkusan kain Saijah.

Kereta telah tiba, berjalan bersungut-sungut mendekati stasiun. Semua orang telah bersiap-siap akan naik. Begitu juga teman-teman Saijah yang lain, paman-paman Adinda.

“Tak akan lama, Adinda. Aku janji…” pelan Saijah melepas tangan Adinda yang menahan bungkusan kainnya “buatkanlah satu garis setiap purnama datang di tiang rumah untukku. Saat garisnya telah mencapai tiga puluh enam, maka tak peduli apapun, aku pasti akan kembali untukmu.”

Teman-teman Saijah yang lain mulai memanggil-manggilnya agar segera naik.

“Aku tak bisa berhitung, Saijah” keluh Adinda

“Kau cukup membuat garis. Jika kau merasa garis itu semakin banyak dan memenuhi tiang rumah, maka aku akan pulang”

“Benarkah? Seperti itu saja?”

Saijah mengangguk mantap. Segera dia memikul bungkusan kainnya ke bahu dan berlari ke arah teman-temannya.

“Aku akan kembali Adindaaa….” Teriak Saijah dari dalam kereta yang mulai bergerak pelan-pelan. Sekali lagi bunyi peluit stasiun mengangetkan Adinda.

Adinda hanya mengangguk pasrah dan melambai ke arah suaminya yang semakin mengecil kemudian menghilang sama sekali.

***

Adinda bisa menghitung. Dia hanya berbohong kepada Saijah agar suaminya itu tak jadi pergi. Setiap bulannya dia membuat sebuah garis di tiang rumah peninggalan orang tua Adinda. Mendekati garis ke tiga puluh enam, hati Adinda semakin berdebar-debar bahagia. Sebentar lagi Saijah-nya akan pulang.

Tetapi sampai proklamasi kemerdekaan berdengung di seluruh penjuru negeri, Saijah tak pernah kembali.

8.13 PM
Rumah.
Nama diambil dari buku Max Havelaar karya Multatuli.

Comments

Popular posts from this blog

Pierre Tendean (Lagi-lagi)

Antara Pierre Tendean dan Hiruk Pikuk Jalanan Di Depan Kantor

Saya dan Soe Hok Gie