Jembatan Merah : Akan Kunanti Dia Di Sini Bertemu Lagi (Bagian 1)

Tubuh Senja menggigil hebat, ketakutan. Seorang pria tegap nan tampan dengan selarik cahaya mata kecokelatan di seret di hadapannya, masih mengenakan baju militer lengkap berpangkat yang kini dipenuhi noda darah menghitam. Wajah eloknya tak lagi tampak di antara carut marut luka yang ditorehkan. Senja nyaris tak mengenali wajah kekasihnya itu kalau saja tak ada nama sang kekasih di baju militernya, tersulam dengan huruf-huruf emas : Pramudya.

Nafas Senja seketika terhenti, dadanya serasa ingin meledak dan mulutnya ingin berteriak sekencang-kencangnya saat itu juga. Bagaimanalah mungkin seorang wanita, yang meskipun berdiri kokoh bak karang, dapat tegar menyaksikan kekasih hatinya disiksa di hadapannya. Sang kekasih sama sekali tak berteriak kesakitan atau mengeluh, atau berteriak ketakutan memohon pengampunan. Dia hanya diam bak arca, dipukul pun dia tak berkutik. Dia menatap Senja dengan pandangan yang paling menyakitkan yang belum pernah Senja temui, di balik kelopak matanya yang bengkak. Mata cokelat itu tak lepas-lepasnya memandangi Senja dengan penuh rasa kasihan – yah, dia kasihan pada gadis yang dicintainya itu. Kasihan karena ternyata dia hanyalah seorang wanita penghibur di antara sekian banyak wanita penghibur lainnya yang sengaja datang menyaksikan pembantaian itu.

Senja mengangguk kaku menahan semua luapan emosinya yang hendak keluar bagai lava di perut bumi yang menggelegak ketika seorang pria kasar nan bengis memerintahkan agar Senja membawa tubuh kekasihnya itu, yang telah penuh dengan luka dan tak sadarkan diri, keluar dari pondok. “Buang saja ke selokan. Kemanapun terserah yang kau mau. Dia membosankan, tak berteriak ketakutan sedikit pun seperti teman-temannya yang lain”. Begitu perintah pria itu pada Senja.

Senja membungkuk, memegang kedua lengan sang kekasih seerat mungkin dan menyeret tubuh pingsannya keluar, di antara hiruk pikuk manusia tanpa belas kasihan yang bersenang-senang dengan darah orang lain. beberapa gadis-gadis sahabat Senja tampak tengah bersenang-senang dengan penyiksaan itu, bersenandung sambil menyemangati para penyiksa yang mulai nampak seperti hewan di mata Senja. Tergopoh-gopoh Senja menyeret tubuh kekasihnya, tak dihiraukannya sedikit pun jua nafasnya yang terputus-putus, atau dadanya yang sakit menahan berat tubuh Pramudya. Dia tak peduli apapun saat ini. Dalam benaknya hanya terfikir satu hal, Pramudya harus diselamatkan dari tempat pembantaian biadab ini sebelum ada yang berubah pikiran dan membunuh tubuh tak berdaya itu.

Tersengal-sengal Senja menyeret tubuh Pramudya. Jalannya patah-patah. Selangkah dua langkah dia harus berhenti mengatur nafas. Tubuhnya telah banjir keringat, juga darah milik Pramudya. Kakinya yang telanjang tanpa alas serta tangannya mulai memerah. Sedikit lagi Senja. Sedikit lagi. Batinnya dalam hati, berupaya mengatasi rasa takutnya yang amat sangat akan kehilangan Pramudya. Tenaganya dia kumpulkan sedikit demi sedikit setiap kali berhenti. Pramudya nampak seperti manekin tak berdaya,.

“Berhenti!” teriak seseorang di belakang Senja. Kaki Senja berubah kaku, dia melepas Pramudya dengan perlahan di atas tanah dan berbalik melihat siapa orang yang mencegatnya itu. Darah Senja berdesir dan wajahnya pucat, beberapa meter darinya berdiri Aryo, pemimpin tertinggi ‘kelompok’ mereka yang tak kenal ampun. Sebagai pendiri kelompok mereka, dia terkenal amat kejam. Bertolak belakang dengan wajah eloknya. “Mau dibawa kemana?” tanyanya dengan pandangan menusuk. Senja menunduk, menyembunyikan ketakutan di matanya.

Tiba-tiba moncong senjata dilekatkan ke kepala Senja, terasa panas dan membakar karena telah berulang kali ditembakkan. Bagai sebuah senjata kematian pencabut nyawa, Aryo menempelkan moncong senjata itu lebih lekat ke kepala Senja yang masih menunduk.

“Kau mau menyelamatkannya?” tanya Aryo, berjalan berputar ke belakang Senja, memandang Pramudya yang terkapar. Dia menendang tubuh tak berdaya itu lantas menginjakkan sebelah kakinya yang bersepatu lars ke wajah Pramudya. “Kau masih terpedaya dengan wajah tampannya hah?” bentak Aryo “padahal dia dan kawan-kawannya yang di dalam itu yang membuat kita semua jadi yatim piatu. Rendah sekali kau mau menjual harga dirimu demi pria seperti dia”

Senja masih menunduk, diam.

“Kau masih ingat ikrar yang kau ucapkan saat bergabung 2 tahun yang lalu?” Aryo mendorong senjatanya hingga kepala Senja terdorong miring. “Kau harusnya tahu sejak awal, tak ada gunanya kau mencintai pria ini. Kalian berdua adalah musuh, dan musuh harus saling bunuh!”

Pramudya mengerang, Aryo baru saja mematahkan hidungnya dengan sepatu larsnya itu. Bunyi tulang rawan yang patah terdengar melinukan di telinga Senja.

Tangan Aryo menarik rambut panjang Senja yang kusut, mendekatkan wajah Senja kepadanya, “Lihat! Lihat pria ini!” Aryo menunjuk Pramudya “masihkah kau mencintainya jika aku merusak habis wajahnya, mematahkan tangan dan kakinya dan membiarkannya hidup?”

Dengan susah payah Senja mengangguk, pasti. Hilang sudah ketakutan dari dirinya. Dia tahu dia pasti akan mati malam ini cepat atau lambat. Aryo pasti akan membunuhnya, Aryo tak akan membiarkan seorang pun yang pernah berhubungan dengan musuh mereka untuk hidup.

Aryo makin marah, dia menjambak rambut Senja lebih kencang seolah-olah hendak mencabut kulit kepala Senja. “Perempuan tak tahu malu!” bentaknya. Dia mendorong tubuh Senja hingga jatuh menelungkup di samping Pramudya. Lantas dia memuntahkan tembakan ke punggung Senja, membuat punggung kurus itu bermandi darah. Setelah itu Aryo berjalan santai kembali ke pondok.

Senja tertatih, merangkak mendekati Pramudya dengan sisa-sisa tenaganya yang ada. Tubuh Senja bagai seonggok tanaman layu yang menghitam dan tak berdaya, seluruh harapannya akan masa depan tercerabut sudah dari dalam jasadnya. Hal terakhir yang dia inginkan adalah Pramudya, sang kekasih hatinya mau memaafkannya. Luka Senja begitu parah, tapi takdir belum berkenan mengambilnya saat itu juga. Senja masih diijinkan menatap wajah sang kekasih. Tangannya membelai-belai wajah Pramudya, menyapukan perasaannya ke wajah kekasihnya itu. Hatinya ngilu, wajah itu tak elok lagi, tak ada lagi senyuman tipis itu, dia hanya seonggok tubuh yang tumbang dan dilupakan, tapi tidak bagi Senja. “Pra..mu..dya” panggil Senja lemah.

Pramudya membuka sedikit matanya, dari balik kelopaknya yang bengkak, Pramudya menatap Senja. Tajam dan penuh kebencian, membuat dada Senja semakin tersayat. Air mata Senja membasahi luka Pramudya.

“Ja-ngan sal-ah pa..ham denganku...” isak Senja “aku mencintaimu dan ini harga yang harus aku bayar. Pengorbanan yang harus aku beri” bisik Senja terbata-bata, nafasnya mulai putus-putus. Dia menempelkan dahinya ke dahi Pramudya, menatap sesaat wajah tampan itu dan kemudian menutup matanya dengan tenang.

***

Senja Susilawati, meninggal di usia 18 tahun. Anggota Wanita Pemaju Bangsa yang ikut terbunuh saat insiden penculikan dan pembantaian para petinggi militer.

Nama itu hanya sambil lalu diucapkan dan ditulis ke dalam sebuah buku yang dengan cepat akan terlupakan oleh para pembacanya. Seolah-olah gadis itu tak berarti banyak dalam peristiwa itu. Pramudya menghela nafas panjang dan menutup buku tebal yang mengisahkan tragedi di malam berdarah itu. Wajahnya masih nampak bekas luka, hidungnya patah, telinganya bahkan tak bisa lagi mendengar dengan sempurna tanpa alat bantu dengar. Tapi wajahnya masih tampan, sangat jelas terlihat dari sorot matanya yang kecoklatan dan tajam. Dia tak pernah mempermasalahkan bekas luka di wajahnya itu, atau bekas siksaan di sekujur tubuhnya. Tidak. Yang menjadi masalah baginya adalah gadis itu, Senja. Nama itu tampak tak asing baginya, ada semacam kerinduan ketika nama itu disebut meski hanya sekali. Apalagi saat dirinya diselamatkan, mayat gadis itu ditemukan terbaring di sampingnya tanpa dia tahu kenapa gadis itu bisa ada di sana.

Karena peristiwa itu, Pramudya mengalami kerusakan memori permanen yang membuatnya kehilangan beberapa memori di masa lalu akibat trauma di kepala. Dia lupa siapa namanya, siapa dirinya, ditemukan tak berdaya di tengah tanah lapang bersama mayat seorang gadis yang belakangan diidentifikasi bernama Senja. Mayat salah seorang dari orang-orang yang menyiksanya.

Pramudya sudah berusaha keras untuk mengingatnya, bertahun-tahun, bahkan berpuluh-puluh tahun setelahnya. Nama itu membuat relung dadanya bergetar entah kenapa, foto gadis itu membuatnya merindukan sesuatu yang entah apa, seolah-olah ada bagian dari masa lalu dirinya yang selalu merindukan gadis itu. Seolah-olah ada bagian dari dirinya yang memiliki senyum itu. Pramudya masih belum menemukan jawabannya, tak ada seorang pun teman-temannya yang masih hidup yang dapat memberitahukannya.

Wajah Pramudya mengerut untuk kesekian kalinya, membuat keriput di wajahnya kian nampak. Usianya kini sudah beranjak ke angka 70 tahun, penglihatannya makin payah dan dia harus menggunakan kacamata berbingkai tebal, dan sebuah tongkat yang memang sejak dulu menopang jalannya. Dia tinggal di panti werda, bersama para manula lainnya yang terlupakan. Hanya duduk terpekur di depan meja catur pada pagi hari, tertidur di bilik sempitnya di siang hari, dan menyaksikan berita di TV pada malam harinya. Begitu terus aktivitasnya selama 5 tahun terakhir, menunggu maut menjemputnya dan membawanya dari tempat yang sama tuanya dengan penghuninya ini.
Pintu bilik Pramudya diketuk, wajah seorang pemuda yang bulat menyembul dari sisi pintu. Firman, pengurus panti yang mendapat jadwal jaga hari ini. “Kek, ada yang nyariin tuh” kata Firman.

Dahi Pramudya kembali berkerut. Siapa yang mencarinya? Bukankah dia sudah tak punya siapa-siapa lagi?

“Gak tahu kek. Tiga orang, dua cowok satunya cewek” jawab Firman tanpa ditanya. Menjadi pengurus panti selama bertahun-tahun membuatnya dengan cepat memahami ekspresi tiap-tiap penghuni panti yang rata-rata memang jarang bicara itu.

Firman membantu Pramudya berjalan dengan tongkatnya menuju ruang tamu. Sebuah ruangan 3x4 meter persegi yang dicat putih dengan perabotan seadanya. Di pojok ruangan, di atas sofa setengah reyot, duduk tiga orang remaja persis seperti yang dikatakan Firman. Dua orang cowok dengan perawakan yang nyaris mirip. Hanya saja seorang diantaranya mengenakan kacamata dan menyisir rambutnya dengan rapi, sementara yang satunya tampil awut-awutan dengan rambut berantakan dan baju yang sepertinya tak sempat disetrika. Seorang gadis, satu-satunya hawa di ruang tamu, mengenakan kerudung panjang warna coklat susu dan gamis warna senada. Mereka bertiga berdiri menyambut Pramudya.

“Siapa kalian?” tanya Pramudya dingin, sama sekali tak mengenal mereka bertiga.

“Saya Doni, kek” cowok berambut acak-acakan itu langsung meraih tangan keriput Pramudya dan menjabatnya erat tangannya seolah-olah sudah akrab. Pramudya menarik lengannya curiga, mendelik pada Doni yang tiba-tiba salah tingkah.

“Mau apa kalian?”

Kali ini giliran gadis itu yang bicara. Dia tersenyum menyenangkan pada Pramudya. “Saya Andin kek. Doni ini kakak saya, dan itu Rain” dia menunjuk cowok yang satunya lagi, yang nampak lebih santun daripada Doni. “Kami kesini ingin bertanya-tanya sedikit pada kakek soal peristiwa pembantaian itu...”

Dengan tegas Pramudya menggeleng sebelum Andin menyelesaikan kalimatnya. “Tidak, maaf. Aku kehilangan ingatanku di malam itu. Tak ada gunanya kalian menanyaiku”

“Bukan itu kek, maksud kami ingin bertanya karena kami ingin mencari tahu tentang Senja, gadis yang ditemukan tewas penuh luka tembak di punggungnya yang terbaring di samping kakek” jelas Andin buru-buru “karena nenek kami adalah kakak dari Senja”

Pramudya terkesiap, wajahnya tiba-tiba kaku. Dia meremas tongkat yang dipegangnya. “duduk!” perintahnya kepada mereka bertiga. Pramudya juga ikut duduk di salah satu sofa, mengurut-urut dadanya. “ceritakan apa yang kalian ketahui tentang Senja!” perintahnya.

“Lah, kita kesini kan mau dengar cerita kakek” sahut Doni “kok malah kita yang disuruh ceri..aduhhh” Andin menendang kaki kakaknya.

“Iya kek. Kami akan cerita” sela Andin buru-buru. Di sampingnya Doni meringis memijat betisnya yang baru saja ditendang sang adik.

“Nenek kami bernama Maya, kakak dari Senja, gadis yang tewas itu. Nenek cerita kalau Senja bergabung dengan kelompok pemberontak dan sempat kehilangan kabar selama dua tahun. Tapi menjelang malam pembantaian itu, Senja sempat menghubungi nenek dan memberitahukan kalau dia akan menikah dengan seorang perwira muda. Rencananya di malam pembantaian itu seharusnya perwira itu datang melamarnya, pada nenek kami, kakaknya. Tapi ternyata perwira itu malah ditangkap saat dia masih berada di rumahnya, diseret dan disiksa”.

Pramudya menatap kosong ke wajah Andin, sepertinya dia berusaha mengingat-ingat kejadian pada malam berdarah itu. Rasanya aneh kehilangan potongan memori berharga dalam hidup, dan itu yang membuat Pramudya lebih sering emosi setelah selamat dari malam pembantaian itu.

“Dan...menurut nenek...pemuda itu, pemuda yang hendak menikahi Senja itu...” suara Andin mulai memelan, terbata-bata. “bernama Pramudya”

Pramudya terkejut, dia memandang Andin kaku. “Apa kau bilang tadi?”

“Kakek hendak menikahi Senja” ulang Andin pelan takut-takut “begitu cerita nenek. Kami kesini untuk mengecek kebenaran cerita nenek itu.”

Pramudya bergetar, seluruh tubuhnya bergetar. Jadi ini arti semua rasa rindunya pada gadis itu yang selama ini tidak dia ketahui apa penyebabnya? Dia telah kehilangan memori di kepalanya, tapi hatinya tidak kehilangan memori tentang Senja. Karena itulah setiap kali dia memandang wajah itu ada kerinduan di dadanya. Hatinya tak pernah melupakan Senja, dan kini tiga bocah ingusan di hadapannya ini membuatnya mengakui sesuatu : dia jatuh cinta pada gadis di foto itu, meski tak yakin apa yang membuatnya jatuh cinta. Tak ada secuil pun kenangan tentang Senja yang mampu kembali ke memorinya, tapi ternyata hatinya masih mampu menyimpan nama dan sosok itu.

Pramudya meremas ujung tongkatnya hingga buku-buku tangannya memutih. Wajahnya tak lagi galak dan menakutkan, tapi berubah sayu dan lelah. Mata Pramudya berair dan dia berusaha untuk tidak menangis di hadapan ketiganya. Pramudya mengalihkan pandangannya kepada Firman yang berdiri di ambang pintu menunggui mereka.

“Bawa aku masuk. Aku lelah” sahut Pramudya parau kepada Firman tanpa peduli lagi pada Doni, Rain dan Andin.

“Tapi kek” kata Rain, berusaha mencegah Firman menuntun Pramudya untuk kembali ke kamarnya “kami akan membantu kakek mengingat semuanya, merekonstruksi semuanya. Apakah kakek tidak ingin tahu bagaimana kakek bertemu dan jatuh cinta pada Senja? Nenek Andin menyimpan semua surat-surat Senja yang kakek kirimkan untuknya, satu-satunya benda peninggalan Senja yang berharga”.

Andin mengangguk mengiyakan. Buru-buru dia merogoh sesuatu dari dalam tasnya. Sebuah map plastik tebal berisi lembaran-lembaran kertas yang telah kusam dan menguning. “Ini surat-suratnya” kata Andin, menyodorkan map itu ke wajah Pramudya.
Mau tak mau Pramudya kembali duduk. Diusirnya Firman pergi jauh-jauh agar tak mencuri dengar apa yang akan ketiga bocah ini katakan. Firman mendengus kesal, padahal tadi dia sudah terbawa suasana dan ikut penasaran bagaimana kisah si kakek tua pemarah ini dengan kekasihnya. Dulu Firman pikir kakek tua ini tak menikah karena tak laku-laku. Mana ada wanita yang mau dengan pria pemarah seperti dia, dibayar pun tak akan ada yang sudi.

Pramudya kembali terhenyak di atas sofa. Tangan kirinya memegang erat map plastik berisi surat-surat yang ditulisnya sendiri. Tulisan tangannya berpuluh-puluh tahun yang lalu. Dengan hati-hati dia mengeluarkan selembar surat paling awal bertanggal 1 April 1949.

Untuk yang tersayang,
Senja Soesilawati

Senja, disini semuanya baik2 saja. Meski tempatnya apek, tapi semua teman-temanku orang yang baik-baik. Bagaimana kabarmu disana?
Aku merindukanmu, Senja. Aku harap penugasanya tidak berlangsung lama agar aku dapat segera pulang dan menemuimu.
Jaga diri baik2.
Dari kekasihmu,
Pramudya.

Pramudya sedikit terkekeh membaca tulisan tangannya sendiri di kala muda. Rasanya lucu membaca beberapa baris kalimat singkat yang mengabarkan keadaan diri dengan ejaan lama.

“Ini surat pertama kakek untuk Senja, karena untuk pertama kalinya kakek ditugaskan di luar daerah dan untuk pertama kalinya kakek harus berpisah dengan Senja” kata Rain menjelaskan. Pramudya menggut-manggut, kentara sekali isi suratnya masih begitu kaku.

“Dimana aku bertemu Senja?” tanya Pramudya, menyerahkan surat pertamanya kepada Rain.

“Di surat yang ini” Rain meraih map plastik dari pangkuan Pramudya dan membuka-bukanya dengan hati-hati kemudian menarik selembar kertas surat lagi.

5 Januari 1950
Sudah lama kita tak jumpa sayangku, aku sudah berniat untuk menikahimu selepas tugasku di sini.
Senja tersayang, kau masih ingat lagu itu? Lagu yang sepertinya diciptakan untuk pertemuan kita di atas jembatan itu. Saat ini aku sedang mendengar lagu iu, membuatku teringat dengan pertemuan pertama kita.
Aku melihatmu berdiri di sana dengan teman-teman sekolahmu entah apa jang sedang kalian lakukan, berbisik-bisik dan tertawa-tawa kemudian melirik ke arahku, membuat aku gugup dan malu dipandangi teman-temanmu.
Kemudian kau mendekatiku, disuruh teman-temanmu untuk menanyakan namaku. Aku sangat tertarik dengan keberanianmu bicara di depanku yang saat itu sedang berseragam lengkap seolah-olah aku ini hanya orang biasa saja di matamu. Saat itu juga aku tertarik padamu.
Yang merindukanmu,
Pramudya.

“Di jembatan yang mana?” tanya Pramudya lemah setelah selesai membaca surat yang ditulisnya sendiri berpuluh-puluh tahun yang lalu. Dia sama sekali tak bisa ingat dimana dia bertemu kekasih hatinya itu, yang ternyata telah membuatnya tertarik sejak awal. Di jembatan? Jembatan yang mana? Ada beratus-ratus jembatan di kota besar ini.

“Jembatan yang ‘itu’ kek” sela Doni “satu-satunya jembatan yang dibuat lagunya. Jembatan yang terkenal itu kek. Masak gak tau sih kek? Adoww...” sekali lagi Andin menendang kaki kakaknya yang asal bicara pada Pramudya.

“Jembatan merah?” tanya Pramudya, memandang Rain dan Andin, sama sekali tak mengacuhkan Doni yang masih mengaduh kesakitan. Andin dan Rain mengangguk bersamaan.

“Iya kek. Di jembatan merah, berpuluh-puluh tahun yang lalu” sahut Rain.

Mata Pramudya terpejam, di kepalanya mengalun lagu itu, yang tiba-tiba baginya terdengar sangat menyayat hati.

Jembatan merah sungguh gagah berpagar gedung Indah
Sepanjang hari yang melintasi, silih berganti…
Mengenang susah hati patah ingat zaman berpisah
Kekasih pergi sehingga kini, belum kembali…
Biar Jembatan Merah andainya patah
Akupun bersumpah…
Akan kunanti dia disini bertemu lagi…
“Matikan!” bentak Pramudya.

Doni nyengir dan mematikan handphone-nya yang baru saja memutar lagu keroncong jembatan merah yang sengaja dia putar untuk diperdengarkan pada Pramudya, lagu yang sudah bela-belain dia download dari rumah demi mengembalikan ingatan sang kakek, diiringi pandangan sebal Andin.

Sebenarnya Andin enggan mengajak Doni kemari kalau saja bukan dia yang menemukan tumpukan surat usang di loteng saat mereka sedang bersih-bersih. Dan berkat bujukan Doni pada nenek mereka lah sehingga mereka bisa mengetahui kisah Senja dan Pramudya meski hanya sepotong-sepotong. Kemudian Andin meminta pertolongan Rain, teman kuliahnya yang super jenius itu untuk menemukan di mana Pramudya sekarang, sehingga di sinilah mereka bertiga, di sebuah panti werda tepian kota Surabaya dan duduk berhadapan dengan seorang kakek tua yang pemarah.

“Firmaan!” panggil Pramudya seraya berdiri.

Wajah bulat Firman muncul dari balik pintu, tergopoh-gopoh mendekati Pramudya.

“Bawa aku dan tiga anak-anak ini ke jembatan merah sekarang!” perintahnya. Firman menggaruk kepalanya yang tidak gatal dan sedikit cemberut. Dia memandang bingung kepada Andin, meminta pertimbangan.

“Kek, kita ngobrol di sini aja” sahut Andin buru-buru demi melihat wajah bulat Firman yang cemberut.

“Kalian anak muda, hanya diajak keluar sebentar saja sudah mengeluh. Ayo! Jangan malas-malas. Kita ke jembatan merah sekarang!”

Rain melirik arlojinya, masih pukul 9 pagi yang berarti di luar sana belum begitu terik dan jembatan merah pasti belum begitu dipadati becak-becak dan pejalan kaki. Rain mengangguk menyetujui pada Andin untuk membawa Pramudya ke sana.

(Bersambung)

Comments

Popular posts from this blog

Pierre Tendean (Lagi-lagi)

Antara Pierre Tendean dan Hiruk Pikuk Jalanan Di Depan Kantor

Saya dan Tahun 60-an