Jembatan Merah : Akan Kunanti Dia Di Sini Bertemu Lagi (Bagian 2)

Dengan menumpang mobil Doni, Pramudya dan Firman dibawa ke jembatan merah. Sebuah jembatan besi bercat merah yang membentang di atas sungai kalimas, terletak di depan Jembatan Merah Plaza yang biasa disebut JMP dan senantiasa dipadati para tukang becak yang mangkal menutupi badan jembatan. Kekusaman telah menyelimuti jembatan bersejarah ini sehingga sama sekali tak nampak nilai historisnya, hanya terlihat seperti jembatan biasa.

Doni memarkir mobilnya di area parkiran mobil JMP. Andin, Rain, Doni dan Firman telah turun dari dalam mobil, tapi Pramudya masih duduk diam di dalam dan sama sekali tak mau beranjak dari sana.

Doni menyenggol bahu Andin dan menunjuk Pramudya dengan dagunya. “Kenapa tuh?” tanyanya.

Andin mendekati mobil dan membuka pintu mobil “ayo kek. Kita sudah sampai, tinggal jalan sedikit lagi. Tuh jembatannya” Andin menunjuk jembatan di depan.

Pramudya bersungut turun dari mobil, merasa belum siap untuk menyingkap kembali memorinya yang sudah berjelaga. Sejak mulai memasuki kawasan jembatan merah tadi, sedikit demi sedikit ada yang mulai mengusik di kepalanya. Sudah lama sekali dia tak pernah lagi kemari, sama sekali merasa tak penting untuk datang menengok jembatan yang telah karatan dan penuh sesak dengan manusia. Kini Pramudya sedikit gentar untuk menggali lagi masa lalunya dan mulai ragu ketika dia benar-benar menginjakkan kaki di atas jembatan.

Pramudya menyentuh tepian jembatan yang catnya sedikit mengelupas dan memandang ke arah sungai di bawah jembatan yang kecoklatan. Kendaraan lalu lalang satu persatu di badan jembatan sementara becak-becak tak berpenumpang dijajarkan di tepian jembatan.

“Di sini ya?” tanya Pramudya pelan pada dirinya sendiri, masih berpegangan pada tepian jembatan dan tak peduli dengan para tukang becak yang mulai memperhatikannya. “Aku bertemu denganmu di sini? Tempat semrawut ini? Benar-benar tak romantis” Pramudya sedikit terkekeh pada dirinya sendiri.

Andin dan lainnya sengaja menjauh dan membiarkan Pramudya menikmati kenangan masa lalu miliknya yang hilang sendirian saja. Firman telah memperingatkan, di suasana yang emosional seperti ini Pramudya akan lebih mudah marah-marah. Karena itu mereka berdiri beberapa meter dari Pramudya, menikmati suasana pagi yang sedikit mendung sambil memperhatikan berbagai aktivitas masyarakat yang mulai menggeliat di pagi ini. Kendaraan semakin ramai berlalu lalang dan menyebarkan asap polusi di sekitar mereka. Andin saja sudah batuk-batuk beberapa kali.

Andin memperhatikan seorang tukang becak tua renta, kurus dan legam baru saja memarkirkan becaknya di tepi jembatan. Nafasnya terlihat berat dan keringatnya membanjiri tubuh. Dia membuka capingnya dan mengusap keringat di wajahnya dengan handuk kumal yang menggantung di leher. Dia duduk bergabung dengan teman-temannya sesama penarik becak. Ditaksir dari umurnya mungkin usianya sudah lebih dari 60 tahun. Seluruh kulitnya mengkerut keriput dan rambutnya telah memutih seluruhnya. Andin merasa iba, pria itu sudah terlalu tua untuk menarik becak.

Bersama-sama dengan teman-temannya, Andin yakin kakek tua penarik becak itu pasti sedang membicarakan Pramudya. Beberapa kali mereka menoleh ke arah Pramudya yang berdiri tak jauh dari mereka, masih menatap seluruh badan jembatan dengan ganjil sejak tadi, berulang-ulang.

Kakek tua penarik becak itu berpisah dari teman-temannya dan berjalan ke arah Pramudya. Sampai di belakang Pramudya, kakek itu menjulurkan tangan keriputnya hendak meraih pundak Pramudya. Andin yang melihat kejadian itu serta merta menarik lengan Doni agar mendekati Pramudya. Dia takut terjadi sesuatu dengan pria tua itu. Rain dan Firman ikut berlari di belakang Andin dan Doni.

“Pramudya?” kata Kakek itu setelah dia berdiri di belakang Pramudya. Dahinya berkerut dan dia menyipitkan matanya untuk melihat lebih jelas sosok di depannya itu. “Kau Pramudya kan?” ulangnya lagi.

Pramudya berbalik, memandang kakek tua yang menegurnya itu tanpa ekspresi apa-apa. Tapi melihat wajah kakek tua itu yang mulai berbinar-binar, tersenyum begitu hangat, tubuh Pramudya seolah-olah ditarik ke dalam lorong gelap panjang kembali ke masa berpuluh-puluh tahun lalu. Saat kakek penarik becak itu masih menjadi seorang pemuda tampan nan gagah yang senantiasa berjalan di sisi Pramudya, tertawa bersamanya.

“Kau masih ingat aku, Pramudya?” tanya Kakek penarik becak “aku Riyadi! Sahabatmu semasa masih di akademi militer dulu!”

Andin, Doni, Rain, dan Firman demi menyaksikan adegan itu mengurungkan niat mereka untuk mengusik keberadaan si Kakek penarik becak bernama Riyadi. Mereka bertiga berdiri diam saja beberapa meter di samping kedua kakek tua yang tengah mengais masa lalu mereka, reuni kecil dua orang pria mantan pejuang yang terlupakan di salah satu sisi monumen jembatan merah, diselimuti debu jalanan yang melayang-layang, terapit di antara becak-becak berwarna-warni yang berjejer.

“Riyadi?” ulang  Pramudya.

Riyadi mengangguk bersemangat. “Kemana saja kau selama ini? Setelah peristiwa itu aku tak tahu lagi bagaimana kabarmu. Aku hanya dengar kau satu-satunya orang yang selamat”.

Pramudya merilekskan sedikit posisi berdirinya. Tangannya yang bertumpu pada tongkat dia gerak-gerakkan. “Aku dibawa ke Sulawesi oleh pemerintah dan tinggal di sana selama berpuluh-puluh tahun tanpa kerabat demi keselamatanku sendiri. Baru lima tahun lalu aku kembali ke sini. Sayangnya aku tak menemukan siapa-siapa lagi di sini.”

Wajah Pramudya berubah sendu, membuat Riyadi sahabatnya merasa tak enak telah menyinggung masa lalu mereka yang kelam dan masa depan mereka yang sama sekali tak pasti.

“Sedang apa kau di sini? Ingin bernostalgia dengan masa lalumu? Dengan Senja?” Riyadi terkekeh, dia meninju bahu Pramudya dengan tangan kurusnya. Pramudya mengangguk pelan, membuat tawa Riyadi terhenti. Salah lagi. Dia baru saja menyinggung bagian paling sentimentil dalam masa lalu Pramudya. Gadis itu, gadis yang ternyata salah seorang pemberontak, Senja.

“Aku kehilangan ingatanku tentang banyak hal. Termasuk tentang kau dan tentang Senja” ucap Pramudya “sesungguhnya aku tak benar-benar ingat siapa diriku sendiri”.

Riyadi tak berkata apa-apa. Sudah dua kali dia salah bicara sehingga dia memutuskan diam saja.

“Bisa kau ceritakan apa saja tentang diriku?”

Riyadi mengangguk bersemangat. Tentu saja dia mau. Baginya, membuka tiap bab hidupnya di masa lalu adalah hal yang paling indah. Tentang prestasi-prestasi mereka, tentang kejahilan masa muda mereka, tentang cita-cita mereka, tentang banyak hal yang semuanya amat mereka nikmati.

Doni yang sudah gerah sejak tadi dijemur di atas jembatan merah mengeluh. Biasanya kakek tua itu kalau ngobrolnya pasti lama. “Ajak ngobrol di tempat lain aja” kata Doni pada Andin dan Rain yang masih asyik mendengarkan percakapan kedua kakek itu.

Tapi ternyata, Riyadi dan Pramudya mendekati mereka berempat. “Kami akan pergi ke suatu tempat. Kalian mau ikut?” tanya Pramudya.

“Siapa mereka?” sahut Riyadi, memperhatikan keempat orang anak muda yang berdiri berjejer di depan mereka.

“Cucu-cucu Maya. Kau masih ingat Maya?” jawab Pramudya.

“Kakak Senja?” tanya Riyadi memastikan. Pramudya mengangguk.

“Ayo, kita pergi!” panggil Pramudya, berjalan lebih dulu bersama Riyadi ke arah jalan Kembang Jepun.

“Kek, mobilnya kan diparkir di JMP” seru Andin memanggil Pramudya yang salah arah.

“Kita tidak naik mobil, tapi becak. Tempat yang akan kita tuju tidak bisa dilewati oleh mobil” jawab Riyadi sambil menarik becaknya dari atas jembatan. Pramudya naik ke atas becak Riyadi.

“Lalu kami gimana?” tanya Firman. Wajah bulatnya sudah mandi keringat sejak tadi.
            
“Naik becak saja. Kan masih banyak becak kosong” sahut Pramudya, menunjuk teman-teman Riyadi yang masih duduk mengaso di pinggir jembatan “biar mereka ada kerjaan. Ayo, cepat”

Teman-teman Riyadi sesama penarik becak lain langsung bangkit dan menarik becak-becak mereka satu persatu dari atas langkan jembatan. Mempersilahkan Andin dan kawan-kawannya memilih becak yang akan mereka tumpangi. Tanpa pikir panjang mereka buru-buru naik ke atas becak karena Riyadi telah mengayuh becaknya dan mulai menjauh dari tempat mereka. Andin dan Doni duduk di dalam satu becak serta Rain dan Firman di becak lainnya.

Setelah melewati jalanan sempit dan berkelok-kelok, melewati sebuah pasar tradisional yang becek dan berisik, melintasi rel kereta api tua yang tak terpakai lagi, melewati sebuah sungai yang kecoklatan dan penuh enceng gondok, mereka berhenti di sebuah areal pekuburan tua di pinggiran kota yang tak terurus dan nisannya ditutupi debu jalanan. Riyadi dan Pramudya duduk di sebuah gubuk bambu yang terlindungi rindangnya pohon ketapang di sisi kuburan itu. Andin, Doni, Rain, dan Firman ikut bergabung duduk di atas gubuk sambil menyeka keringat yang telah membanjir. Doni bahkan sudah menanggalkan kemejanya dan hanya memakai kaos oblong sambil menikmati angin sepoi-sepoi yang memainkan anak-anak rambutnya. Meski sudah menjelang siang dan matahari bersinar terik, gubuk itu terasa sejuk.

“Kau perwira muda yang sangat cerdas waktu itu” Riyadi membuka ceritanya sambil mengibas-ngibaskan handuk ke wajahnya. “Prestasimu adalah yang terbaik dibanding perwira manapun, kau selalu menjabat sebagai komandan dalam setiap tugas-tugas yang diberikan kepada kita, bisa dibilang kau adalah perwira yang sempurna. Kelemahanmu hanya satu, jatuh cinta di usia yang cukup terlambat pada seorang gadis muda, pelajar sekolah menengah yang bahkan tak kau ketahui namanya. Kau tahu, sebulan lebih aku menemanimu ke jembatan merah setiap kali selesai latihan hanya untuk menemui gadis itu. Tapi ternyata dia tak pernah kesana lagi setelah pertemuan pertama kalian dan kau hampir senewen ketika tak pernah berhasil bertemu dengannya”

Pramudya tersenyum, akhirnya untuk pertama kalinya dalam hari ini. Ternyata masa lalunya hanya seperti pemuda-pemuda kebanyakan, jatuh cinta pada seorang gadis dan jadi senewen karena cinta. Sedikit kecewa, dipikirnya masa lalunya lebih hebat daripada itu.

“Dan pada akhirnya, dia datang lagi ke jembatan merah, senangmu tak terkira. Saat itu 17 Agustus, pulang dari upacara kalian berpapasan. Siang hari, panas terik, tapi kau tak peduli. Kau langsung mendekatinya dan berkenalan dengannya. Namanya Senja, rumahnya di daerah Ampel. Sejak saat itu kau lebih suka pergi ke mesjid Ampel tanpa alasan yang jelas...”

Doni tertawa lebar, memutus pembicaraan Riyadi. Sesungguhnya Andin, Rain, dan Firman pun ingin tertawa mendengar perkataan Riyadi tentang Pramudya yang tiba-tiba senang ziarah ke masjid Ampel. Tapi melihat wajah Pramudya yang mulai masam mereka urung tertawa. Sayangnya Doni sama sekali tak punya perasaan. Dia tertawa terbahak-bahak. Pramudya memukul kaki Doni dengan tongkatnya hingga Doni terdiam.

“Dan kau akhirnya berpacaran dengannya meski usia kalian berbeda hampir sepuluh tahun.” Lanjut Riyadi setelah tawa Doni reda akibat pukulan. “Senja baru berusia 18 tahun dan kau 27 sementara aku sudah menikah dengan Atikah istriku yang sekarang. Aku mendesakmu untuk segera menikahi Senja. Kau setuju dan mengutarakan hal itu pada Senja. Dia memintamu menemui Maya, kakaknya yang ada di Gresik. Sayangnya malam itu asrama tempat kau dan teman-teman lain tinggal diserbu. Kau ditangkap dan yah...semuanya terjadi”.

“Bagaimana dengan Senja?” tanya Andin “dia salah satu dari pemberontak itu kan? Jadi selama ini Senja tak benar-benar mencintai kakek Pramudya?”

Riyadi menarik nafas panjang “aku tak begitu tahu cerita persisnya. Setelah pemberontakan, istriku langsung mengajakku pergi dari sini sebelum aku sempat bertemu dengan Pramudya.”

“Pasti kakek hanya dimanfaatkan Senja deh” kata Doni asal, membuat semua orang mendelik kepadanya. Doni lagi-lagi menjadi perusak suasana sehingga Firman makin mengencangkan kipasan tangannya ke wajah. Biasanya kalau suasana sudah gerah seperti ini Pramudya akan marah-marah.

“Boleh saya bertanya, kek?” potong Rain di tengah suasana hati Pramudya yang mulai memanas. “Untuk apa kita duduk-duduk di atas kuburan ini?” lanjutnya. Sebuah pertanyaan logis yang pada akhirnya dilontarkan. Andin dan Doni bahkan tak sempat terfikir kenapa Riyadi malah membawa mereka ke sebuah kuburan tua dan usang untuk menceritakan masa lalu Pramudya.

“Ahya, tadinya ingin segera aku tunjukkan kepada Pramudya. Tapi cuaca sedang sangat panas, jadi aku putuskan untuk duduk-duduk sebentar di sini” Riyadi terkekeh, membuat seluruh wajahnya tertarik oleh keriput. Kemudian dia bangkit dari tempat duduknya dan berjalan ke tengah-tengah pekuburan. “Ayo, kutunjukkan pada kalian makam Senja” panggil Riyadi dari tengah pekuburan kepada Pramudya dan lainnya yang belum beranjak dari atas pondok.

Kepanasan, diserang serangga kecil hitam yang menggigit seperti nyamuk, ditempeli duri, dan dilekati debu siang hari yang beterbangan, mereka berjalan semakin jauh ke dalam area pekuburan yang susunannya tak beraturan. Ada kuburan yang menyilang, membujur, simpang siur dan tak ada satu pun kuburan yang terawat. Sekilas Andin melirik ke batu nisan setiap kuburan. Rata-rata tahun kematian mereka di bawah tahun 1950-an. Kuburan ini pasti sudah sangat lama, bahkan ada nisan yang bertulis tahun kematian 1800-an.

Riyadi berhenti di depan sebuah makam sederhana, hanya dikelilingi bebatuan sebagai tanda kalau di situ ada makam dan nisannya terbuat dari batu yang sudah berlumut dan pecah di sana-sini. Meskipun begitu di atas nisannya masih terbaca sepenggal nama dan tahun kematiannya. Senja. 1950. Hanya dua tulisan itu yang dapat terbaca, selebihnya bagian nisan yang bertuliskan tanggal dan tahun kelahiran Senja telah hilang.

Pramudya berlutut di sisi makam, salah satu tangannya bertumpu pada tongkatnya. Dia mengusap nisan Senja seolah-olah sedang mengusap kepala Senja, begitu lembut dan hati-hati.

“Hai” sapa Pramudya pada nisan Senja. “Lama kita tak jumpa” lanjutnya.

Andin duduk berjongkok di sisi Pramudya, membersihkan rumput liar yang tumbuh lebat di atas makam Senja diikuti Firman, Doni dan Rain yang ikut-ikutan berjongkok mengelilingi makam. Riyadi mengusap wajahnya yang basah oleh keringat bercampur air mata. Mengunjungi makam Senja selalu menjadi momen yang sangat emosional baginya. Karena Senja selalu mengingatkannya pada masa-masa keemasannya bersama Pramudya berpuluh-puluh tahun silam.

Tongkat di tangan Pramudya terlepas begitu saja, nyaris menghantam kepada Doni. Doni ingin protes dan marah-marah, tapi niatnya dia urungkan begitu melihat mata Pramudya yang basah. kakek tua pemarah itu menangis! Doni takjub melihatnya.

“Aku ingat sekarang...” ucap Pramudya sedikit terbata-bata karena dia tak dapat menahan tangisnya. “Aku ingat sekarang...” ulangnya lagi.

Andin memeluk pundak Pramudya, menepuk-nepuknya untuk menenangkan kakek tua itu.

“Dia meninggal di sampingku. Aku ingat! Yah, Senja! Gadis itu...dia mencintaiku. Aku tahu itu. Dia mengatakannya padaku sesaat sebelum dia meninggal. Tubuhnya ditembaki. Aku ingat...” bahu Pramudya terguncang, dan sesaat kemudian dia tergugu.

Pramudya berbicara pada makam Senja seolah-olah gadis itu tengah berdiri di depannya “Senja, butuh waktu lama bagiku untuk mengembalikanmu lagi ke dalam masa laluku. Berpuluh-puluh tahun hanya kerinduan yang merayapiku setiap kali menyebut namamu, membaca kisahmu di buku itu, memandang potret wajahmu. Dan sekarang aku berhasil mengembalikanmu lagi yang sempat hilang. Sekarang aku ingat lagu kenangan kita itu, aku ingat pertemuan kita di jembatan merah, aku ingat perdebatan kita soal agresi itu. Aku bahagia kau mencintaiku sampai kau meninggal”.

Andin mengusap air matanya, bahkan Doni pun menyamarkan isaknya dengan membuang ingus. Firman sudah sejak tadi bercucuran air mata, wajah bulatnya telah dibasahi air mata bercampur keringat. Wajah Rain agak pucat dan matanya sedikit memerah, dia memandangi Andin yang masih merangkul Pramudya.

Pada akhirnya, tak ada seseorang yang bisa benar-benar hilang dari hati orang lain. Hilang dari pikiran mungkin iya, tapi hilang dari hati itu cerita lain.

Inspired by : Eternal Sunshine of The Spotless Mind

Comments

Popular posts from this blog

Pierre Tendean (Lagi-lagi)

Antara Pierre Tendean dan Hiruk Pikuk Jalanan Di Depan Kantor

Saya dan Soe Hok Gie