Kamka

"Bagaimana kabarmu?"

Sungguh, hanya itu yang ingin aku tanyakan jika nanti tiba-tiba kita bertemu kembali, entah kapan, entah dimana.

"Apa yang sudah kamu lalui selama ini tanpa aku? Masihkah sama tawamu? Masihkah hangat senyummu? Masihkah peduli kamu, padaku? Aku yang belum sanggup untuk berhenti merindu."

Kadang aku berjalan perlahan menuju rindang pohon di sudut kota, tempat kita pernah saling sapa lalu bertukar kisah. Aku duduk sendiri, membayangkan kamu kembali lewat di hadapanku, berhenti sejenak untuk memandang wajahku. Masihkah kamu menemukan wajah yang dulu kamu cintai? Aku tidak berubah, bahkan setelah semua orang tidak lagi sama, setelah semua musim tidak lagi serupa. Aku masih sama. Coba kau tanyai hatiku, masihkah ada kamu di sana? Selalu. Hanya itu jawaban yang dia punya.

"Bagaimana kabarmu?"

Aku kembali bertanya, untuk memastikan kamu benar-benar baik-baik saja setelah semua waktu yang kita lalui bersama telah berlalu. Aku ingin kamu bahagia, sungguh. Aku menyukaimu sedalam itu, hanya untuk berakhir dengan mendoakan kebahagiaanmu.

Kadang aku tergelitik untuk bertanya, bagaimana denganmu? Masihkah? Selalukah? Apa kamu pun mendoakan kebahagiaanku? Apakah namaku masih ada dalam surat-suratmu untuk langit?

Maukah kamu, menulis sesuatu untukku? Seperti yang selalu aku lakukan untukmu? Menceritakan padaku, bagaimana kamu akhirnya melalui semua itu tanpa pernah merasa kehilangan? Aku ingin kamu bercerita tentang lautan yang selalu membungkus matamu di senja hari. Atau tentang pegunungan yang selalu memelukmu di pagi hari. Aku akan mendengarmu, aku selalu ingin mendengar ceritamu, bahkan meskipun isi cerita itu bukan tentang aku.

Bagaimana kabarmu? Jangan cemaskan aku, kita berdua akan baik-baik saja tanpa bersama, hanya sedikit rindu ketika tidak pernah bertemu, sedikit debar ketika berpapasan sembarang waktu, dan banyak harap semoga Tuhan berbaik hati mempertemukan kita lagi, kapan-kapan.

***

Pria itu tersenyum ke arahnya, lagi-lagi sebuah pertemuan yang tidak disengaja. Pada sebuah siang yang teduh. Perempuan itu ingin sekali membalas senyum itu, tapi dia tahu hal itu tidak akan menyembuhkan apa pun. Dia hanya mengangguk, lantas berlalu pergi seolah hatinya tidak sedang berdebar-debar demikian hebat, seolah dia tidak merasa iri melihat pria itu tetap terlihat bahagia seperti semulanya, dan seolah dia tidak ingin menghentikan waktu dan membiarkan dirinya membeku bersama pria itu, saling berpandangan dari jauh.

Setidaknya dia bahagia. Pikir perempuan itu. Sekali lagi dia menertawai dirinya sendiri. Aku menyukainya sedalam itu hanya untuk mendoakan kebahagiaannya dengan siapa pun yang berdiri di sisinya.

Comments

Popular posts from this blog

Pierre Tendean (Lagi-lagi)

Antara Pierre Tendean dan Hiruk Pikuk Jalanan Di Depan Kantor

Saya dan Tahun 60-an