Di Kotamu

Aku sengaja datang ke kotanya, pada satu-satunya kesempatan yang aku miliki.

Hari ini tidak begitu terik. Prakiraan cuaca tidak meleset sedikit pun. Kota ini berawan. Gumpalan awan kelabu menggantung di langit, sementara sinar matahari berusaha keras menyusup di celah-celah mereka, memberi sedikit warna dan cahaya dengan susah payah.

Terima kasih, Tuhan. Aku berbicara dalam hati. Bahkan hanya dengan mengunjungi kotanya, rinduku terampuni. Kalau bisa, aku ingin berlama-lama di sini. Menyusuri jalanannya yang dipenuhi pepohonan, mengunjungi sebuah warung makan kecil di pasar yang berdinding anyaman bambu dan masih memasak dengan menggunakan tungku, atau duduk-duduk saja di pelabuhan mengamati orang yang lalu lalang hendak menyeberang.

Aku menghirup udara sejuk kota ini kuat-kuat, menghidu aroma yang sudah bertahun tidak lagi aku rasakan tapi bisa aku ingat, berupa-rupa bau yang memaksaku menyusuri kembali jalanan yang sama, menyentuh pepohonan yang sama, menjejak rumput liar yang mungkin tidak sama lagi tapi masih di tempat yang sama. Tuan, aku merindukan, dulu ketika kau masih di kota ini, hingga sekarang ketika kau tidak lagi berada di sini.

***

"Mas, maaf, permisi" aku memanggilnya yang sedang berjalan di depanku, sedang mengobrol seru dengan teman-temannya. Dia sepertinya tidak mendengar panggilanku, jadi aku mengulanginya lagi. Masih gagal, akhirnya aku berteriak karena dia dan teman-temannya berjalan begitu cepat. Kakiku pendek dan aku memanggul tas ransel kapasitas 60 liter.

"Masss celana dalamnya jatuhhh" teriakku sambil ngos-ngosan. Tiba-tiba hening, semua orang memandangku, termasuk dia dan teman-temannya. Aku baru sadar kalau aku melambai-lambaikan sebuah tas mungil transparan berisi tiga buah celana pria berwarna kelabu-hijau-biru.

Teman-temannya tertawa, menunjuk-nunjuk tas ranselnya yang terbuka hingga membuat isinya berceceran. Wajahnya merah padam ketika semua orang gantian memandanginya.

Dia berjalan kaku ke arahku, menarik tas mungil yang masih aku lambaikan, kemudian berbalik dan meninggalkan teman-temannya yang masih tertawa sambil memegangi perut mereka.

Aku selalu tersenyum ketika mengingat kejadian itu, pertama kalinya kami bertemu, di pelabuhan penyeberangan menuju Karimunjawa. Dia bersama rombongan teman kantornya dan aku yang hanya bepergian sendiri. Ternyata kami menginap di penginapan yang sama.

Sejak itu kami berteman. Saling bertukar nama, kemudian bertukar kontak, hingga akhirnya bertukar cerita. Dan, ah, iya, aku jatuh cinta padanya setelah dua purnama mengenalnya.

***

"Aku akan menikah" dia berkata lewat telepon padaku. Tujuh tahun yang lalu. Padahal saat itu aku sedang mati-matian membujuk atasanku agar memberi aku cuti di masa sibuk kantorku hanya untuk mengunjungi kotanya, setelah bertahun hanya bertukar cerita lewat sinyal seluler, setelah berkali kunjungannya ke kotaku yang selalu hanya sebentar. Aku ingin dia tau kalau aku lelah terus menerus merindukannya dan aku ingin memastikan kalau dia tidak sedang membuang-buang waktunya denganku.

"Serius?" Hanya itu reaksi paling normal yang bisa aku katakan lewat telepon.

"Iya, serius lah. Dua bulan lagi. Datang ya! Nanti aku kirim undangannya sama tiket bus, tiket pesawat mahal" dia tertawa.

"Oh, oke" jawabku datar. Klik. Aku menutup telepon, aku sadar mataku tiba-tiba terasa panas sehingga aku berlari keluar dari kubikelku menuju kamar mandi. Telepon genggam di kantong rokku kembali berdering tapi tidak aku angkat. Tidak akan pernah.

***

Pelabuhan sepi. Kapal penyeberangan terakhir hari ini baru saja berangkat. Aku duduk di salah satu warung makan, memesan segelas teh sambil memandangi sisa-sisa pengunjung warung. Dari tempat aku duduk, aku bisa memandangi dermaga yang kosong, hanya ada sebuah perahu kecil ditambatkan di sana, terantuk-antuk tiang penyangga dermaga. Aku merasa kesepian seperti perahu kecil itu. Sudah tahun ke tujuh sejak pembicaraan terakhir kami ditelepon, ketika dia bilang dia akan menikah. Aku bahkan tidak berani bertanya siapa wanita itu.

"Kota ini selalu akan jadi tempatku pulang" begitu pesan singkat yang dia kirimkan padaku untuk terakhir kalinya. Mungkin dia sudah lelah karena beratus panggilan yang tidak aku jawab. Dia bilang kalau dia akan pindah ke kota istrinya. Aku tidak pernah bertanya padanya dimana kota itu.

Aku hanya tidak ingin jatuh cinta pada kota yang lain. Biarlah hanya kota ini yang aku cintai.

Aku berada di kotamu.

Sebuah pesan singkat aku kirimkan padanya, untuk pertama kalinya setelah tujuh tahun yang aku lewati dengan berat lalu aku mematikan telepon dan kembali berjalan menyusuri tiap sudut kota yang pernah aku singgahi.

Di depan museum RA Kartini aku duduk beristirahat sebentar setelah berkeliling di dalam museum. Sudah pukul 4 sore. Beberapa jam lagi aku harus pulang dengan bus yang sudah aku pesan tiketnya.

***

Aku duduk di sisi jendela bus, mengamati orang-orang yang lalu lalang di luar sana. Sebentar lagi bus akan berangkat dan kota ini akan berlalu. Semua yang dia miliki hanya akan jadi masa laluku. Aku mengeluarkan telepon dari dalam tas dan menyalakannya kembali. Sebuah pesan singkat masuk begitu teleponnya menyala. Dari dia.

Aku tidak menyangka dia masih menggunakan nomor telepon yang sama. Aku tidak berharap dia menerima pesanku, aku hanya ingin berkabar padanya seperti dulu, setiap kali aku akan bepergian. Aku hanya rindu dengan semua kebiasaan itu. Kebiasaan yang kini menjadi asing. Seseorang yang juga kini menjadi orang asing seperti sebelum aku menemukan barang pribadinya yang tercecer di pelabuhan. Sedikit aku pernah berharap bukan aku yang menemukan benda itu, tapi aku bersyukur lebih banyak pernah mengenalnya, pernah cinta, pernah rindu.

Tunggu aku.

Balasan darinya singkat saja. Tunggu. Apa yang harus aku tunggu? Dia? Apa dia ingin menemui aku?

Kamu sudah balik ke sini? Lima menit lagi bus berangkat. Maaf tidak sempat mengabari lebih awal. Jaga dirimu baik-baik.

Hatiku tak karu-karuan setelah mengirimi pesan itu. Aku tidak ingin bertemu dengannya, tapi aku sangat berharap bus ini menunda keberangkatannya.

Telepon di tanganku berdering tapi aku membiarkannya.

Tolong angkat. Aku mohon.

Sebuah pesan singkat masuk tidak lama setelah telepon itu berhenti berdering. Lalu dia berdering lagi, berkali-kali.

Aku sangat ingin menangis. Aku sungguh-sungguh merindukannya. Aku ingin bertemu dengannya meski hanya melihatnya dari jauh, atau hanya melihat lambaian tangannya. Akhirnya pada teleponnya yang ke sepuluh, aku mengangkatnya.

"Busmu masih lama berangkatnya. Ayo turun dulu, aku ada di luar" ucapnya memaksa.

Aku hanya diam.

"Kalau tidak aku akan teriak kalau kamu mau kabur terus kawin lari dengan pacarmu yang pegawai Bank di Semarang biar orang-orang liatin kamu" ancamnya.

Sial! Rutukku dalam hati. Akhirnya aku memutuskan turun dari bus.

Dia berdiri di sana, mengenakan sandal jepit, celana pantalon dan kemeja yang lengannya digulung hingga siku. Sebuah kartu identitas kerja masih menggantung pada tali di lehernya. Bisa aku tebak, begitu membaca pesan singkatku dia langsung berlari keluar dari kantor tanpa mengganti apapun. Termasuk sandal jepit dari mushola kantor yang hampir putus dan pulpen di tangan kirinya. Dia benar-benar sudah gila.

"Lama sekali kamu menghilang" dia nyengir "cewek yang sudah memamerkan barang pribadiku di depan umum..."

Aku tertawa sekaligus ingin menangis. Dia bersikap seolah tidak ada apa-apa selama tujuh tahun aku menghilang.

"Apa kabarmu?" Dia mengulurkan tangannya.

Aku tidak membalas jabatan tangannya, hanya tersenyum. "Tidak pernah sebaik ini sebelumnya"

Dia tertawa. "Ngomong-ngomong, sudah punya berapa anak, Bu?"

"Masih nol" jawabku sekenanya "kalau bapak?"

"Dua" dia tersenyum sambil mengangkat dua jarinya "masih kecil dan lucu-lucu-lucu"

"Tiga dong anaknya" aku merujuk pada kata 'lucu' yang dia ucapkan tiga kali.

"Haha...kamu masih cerdas seperti dulu"

"Memangnya kemampuan otak bisa degradasi ya?" Aku menyahut.

"Aku yang merasa seperti didegradasi dari hidupmu. Sejak kamu menghilang tujuh tahun lalu." Nada suaranya terdengar lebih serius "kenapa? Itu kata yang sangat ingin aku tahu jawabannya darimu. Kenapa kamu pergi? Kenapa tidak menjawab telepon dariku?"

"Kalau kamu benar-benar ingin tahu jawabannya, kenapa tidak pergi menemui aku?" Aku menohoknya.

"Karena kamu tidak mau menjawab semua telepon dan pesanku, aku takut percuma untuk menemuimu sementara kamu tidak ingin bertemu denganku. Akhirnya aku belajar untuk memahami apa yang kamu inginkan dan membiarkan kamu pergi. Sampai tadi aku mendapat pesan darimu."

Suara klakson bus dan kendaraan lainnya sahut menyahut di udara, bercampur dengan suara kernet bus yang berteriak-teriak memanggil penumpang. Debu menguar dimana-mana.

"Aku menghilang karena ya aku harus menghilang..."

"Karena aku akan menikah?" Sambarnya.

"Tidak ada hubungannya" jawabku ketus.

"Lantas apa?" Dia bertanya dengan wajah bingung.

"Tidak ada alasan" aku mengangkat bahu "hanya ingin menghilang saja. Tring. Seperti kelinci dalam topi pesulap" aku tertawa. Tapi dia tidak.

Aku tidak tahu mengapa, dan sama sekali tidak ingin tahu.

Klakson bus di belakang kami dibunyikan. Bus yang aku tumpangi akan berangkat.

"Aku pergi dulu ya"

Dia tidak menjawab hanya ketika aku akan berbalik pergi dia menahan tanganku. Kemudian memandangku. Lama. Hanya itu. Setelah itu dia melepas genggaman tangannya.

Hatiku, ada rasa sakit di dalam sana. Dia melepaskan aku. Pada akhirnya.

Comments

Popular posts from this blog

Pierre Tendean (Lagi-lagi)

Saya dan Soe Hok Gie

Antara Pierre Tendean dan Hiruk Pikuk Jalanan Di Depan Kantor