Dikara

"Jika aku meninggalkan orang lain untuk dirimu, apa tidak mungkin suatu saat aku akan melakukan hal yang sama pada dirimu untuk seseorang yang lain?" Tanyaku pelan. Aku menghela nafas, melegakan bisa mengatakan hal yang sudah ada di benakku sejak pertama kami bertemu.


Dia menerawang, menyapukan pandangannya sejauh mungkin ke tengah lautan yang berbuih. Dalam banyak hal, setiap melihatnya aku selalu merasa nyaman, seperti melihat sebuah rumah mungil sederhana bercat putih di tengah padang ilalang. Dia seperti manifestasi dari rumah yang selalu ingin aku tinggali, untuk selamanya.

"Kamu tau" dia bersuara pelan "bagaimana rasanya bertemu dengan orang yang sejiwa, setelah bertahun-tahun bersama dengan orang yang sama sekali berbeda dengan apa yang ada di dalam dirimu?"

Sebuah perpisahan. Sebelum kami bertemu, dia memutuskan untuk memintal jarak dengan seorang perempuan yang selama ini berjalan di sisinya. Dia hanya berharap, perempuan itu bisa mengerti, ada hal-hal yang tidak akan pernah bisa selesai hanya dengan cinta, kompromi, dan rasa terima kasih.

"Aku tau" sahutku "tapi, sekali lagi, jika aku pergi, maka aku bukan perempuan yang setia. Aku akan jadi perempuan yang paling jahat, tidak waras, dan paling tidak bersyukur yang pernah dia dan kamu kenal. Aku tidak mau..."

Sejenak hening menyergap, kami saling kehabisan kata, dan hanya saling memandang.
"Kamu bukan orang yang jahat" dia tersenyum, pada akhirnya memecah keheningan di antara kami. "Kamu hanya salah..."

"Tuhan tidak pernah salah" aku menyela, membalas senyumannya "pada saat itu, benar dia datang menyelamatkan aku ketika semua kebanggaanku habis. Dia datang saat aku tidak memiliki apa pun untuk aku beri. Aku menerima banyak, sudah seharusnya aku membalasnya dengan banyak juga. Pada saat itu, aku bersumpah untuk terus ada di sisinya. Aku tidak ingin jatuh lagi. Aku tidak pernah berpikir bukan dia orang yang aku cari, jika kami tidak cocok pada beberapa hal, pasti ada beberapa hal lain yang membuat kami cocok. Aku terus mencarinya, mencari sebab yang mengharuskan aku tetap berada di sampingnya."

"Dan kamu belum menemukannya, kan?"

Aku hendak menggeleng, tapi kemudian mengangguk lemah.

"Pergilah bersamaku. Kamu tau, bukan dia yang kamu cari. Bukan orang seperti dia. Kamu orang yang butuh eksistensi cintamu diakui. Kamu orang yang butuh setiap perasaan dilisankan. Aku tau kamu, karena melihat kamu seperti melihat diriku sendiri, dalam tubuh yang berbeda."

Aku menghela nafas, berusaha menenangkan hatiku yang kini tak karuan lagi. Aku bukan hanya sekadar harus meninggalkan seseorang, lebih dari itu, aku harus meninggalkan semua kebaikan yang dia punya. Kami memang tidak sejiwa, tapi pada satu titik, kami saling membutuhkan. Aku membutuhkan dia untuk tetap stabil, segala hal tentangnya adalah kestabilan. Perasaan yang stabil, kehidupan yang stabil, bahkan aku tidak perlu khawatir harus melakukan apa besok. Semuanya serba teratur dan terkadang aku berpikir rasanya sedikit membosankan.

Jika aku pergi dengan lelaki di sampingku ini, aku tau hidupku tidak akan lagi sama. Tidak akan ada lagi keteraturan yang membosankan itu, akan lebih banyak lagi mimpi-mimpi yang berani aku impikan, akan lebih banyak lagi hal-hal yang aku lakukan, segala tentangnya adalah hidup tanpa kepastian, yang akan membuatku bertanya-tanya, apa yang akan terjadi besok? Bagaimana kami akan menjalani hari besok? Hari yang benar-benar besok, bukan besok yang esok. Aku tau kami akan berlari dan berloncatan di tepi pantai, berenang di laut, bersampan hingga ke pulau seberang, aku tidak bisa menebak sebanyak apa hal yang akan kami lakukan bersama.

"Pulanglah denganku, aku letih terus mencari, jadi jangan biarkan aku menangis karena terlambat menemukan teman sejiwaku."

Dia tidak akan menangis, dia tidak pernah menangis. Dia adalah sosok, yang ketika kau melihatnya untuk pertama kali, kau akan paham bahwa dia orang yang terlalu keras untuk dirinya sendiri. Penampilannya yang berantakan, baju dan celananya yang selalu kusut. Dia bahkan tidak peduli dengan penampilannya sendiri, jadi apa yang harus kamu khawatirkan tentang dirinya? Kecuali satu hal, kamu terlanjur menitipkan hatimu padanya. Pada saat pandangan pertama, pada saat percakapan pertama. Dan kamu mulai takut tidak bisa menghabiskan waktumu yang  berharga dengannya.

Aku menggeleng "tidak sekarang. Tunggulah jika kamu ingin, aku mohon jangan memaksa, sebesar apa pun aku ingin mengatakan ya untuk tawaranmu, sebesar itu juga aku berusaha meyakinkan diriku kalau yang aku inginkan ini salah."

Hening, kali ini lebih lama, lebih sunyi. Bahkan suara ombak yang memukul pantai tidak mampu memecah kesunyian di antara kami berdua.

"Aku tidak bisa menunggu" ucapnya pada akhirnya setelah keheningan yang mengerikan. "Tapi jika nanti kamu benar-benar pergi dari dia, carilah aku. Aku akan kembali untukmu."

Ombak yang bergulung pergi lebih jauh, menyapu kaki-kaki kami yang terjulur di atas pasir, dan aku sangat ingin berteriak padanya bahwa semua hal yang kita bicarakan adalah omong kosong. Menemukan orang yang sejiwa adalah mustahil. Kita harus tetap melanjutkan hidup, dengan orang yang tidak kita bayangkan sekalipun. Tidak seharusnya dia menjadi begitu berharga dalam sekejap mata tapi kemudian pergi bahkan sebelum kedipan selanjutnya berakhir. Sebagian dariku ingin dia secara utuh dan sebagian dariku yang lain ingin dia pergi juga dengan utuh tanpa meninggalkan jejak.

Pagi itu kami akhiri dengan hening, hanya tangan yang saling menggenggam dan perlahan-lahan terpisah.

Epilog

Kamu Perempuanku, sejiwaku
Kemana pun kamu pergi, kamu membawaku, meninggalkan jasadku, membiarkannya kosong 
Jika kamu pergi, aku tidak akan mencari
Tapi jika kamu datang, jangan berharap untuk berlari
Karena aku akan merantai kakiku di sisi


Aku meremas helai kertas bertuliskan tangannya yang rapi itu lantas membuangnya di dalam api. Jangan menunggu, tapi persiapkan dirimu untuk menyambut kedatanganku nanti.

Comments

Popular posts from this blog

Pierre Tendean (Lagi-lagi)

Saya dan Tahun 60-an

Antara Pierre Tendean dan Hiruk Pikuk Jalanan Di Depan Kantor