Aksa

Aku menghempaskan tubuhku di atas kursi halte bus, melepas ransel kemudian mengipasi wajah. Kenapa Maumere selalu sepanas ini? Peluh membanjiri wajahku, membuat rambutku lepek dan wajahku cemong oleh debu.

"Panas, mbak?" Suara berat seorang pria terdengar dari sebelah kananku. Aku menoleh, mendapati seorang pria bertubuh tinggi dengan rambut panjang sebahu yang acak-acakan disapu angin yang berhembus cukup kencang. Bahkan hembusan anginnya pun terasa panas.

"Baru pertama kali ya ke sini?" Dia melanjutkan.

"Iya" Jawabku singkat, tidak ingin membuka percakapan dengannya. Bertemu orang asing di tempat yang asing, apa yang bisa aku harapkan darinya?

"Nunggu bus kemana?"

Kali ini aku tidak menjawab, selain karena bus yang aku tunggu sudah datang, aku sedang tidak berminat bercakap-cakap apalagi dengan seorang pria. Aku meraih ransel dan berdiri menunggu bus berhenti.

Sayangnya kami naik bus yang sama dan duduk bersebelahan di dalam bus reyot yang penuh sesak. Aku tidak punya pilihan lain.

"Sepertinya tujuan kita sama" Dia tersenyum "maaf kalau membuat kamu tidak nyaman, aku hanya ingin cari teman ngobrol. Dari tadi aku sendirian di halte bengong liat debu terbang"

Aku balas tersenyum.

"Alex. Dari Jakarta"

"Disa"

"Dari Jakarta juga?"

Aku menggeleng "dari mana saja"

Alex tertawa, aku pun. Setelah itu kami sama-sama memandangi jalanan di luar sana dari balik kaca jendela bus yang berdebu. Sambil melamun memandang jalan berpikir tentang keputusan-keputusan besar yang harus aku ambil, aku sesekali memandanginya, Alex, untuk sebuah alasan yang tidak aku ketahui dengan pasti saat itu, memesonaku.

***

Pertemuan pertama, aku tidak suka menyebutnya kebetulan, kami mengunjungi tempat yang sama. Aku tidak membayangkan akan berbagi kisah dan tujuan dengan seorang teman seperjalanan. Dia seorang teman yang menyenangkan untuk diajak bercerita. Padahal ini adalah perjalanan yang aku rencanakan sendiri, untuk memulihkan diri sendiri. Kebingungan yang telah aku hadapi selama dua tahun terakhir membawaku ke sebuah desa mungil tepian pantai, mungkin terik matahari dan angin yang berhembus bersama debu bisa menjernihkan pikiranku. Tapi sepertinya tidak jika tidak ada dia di sini.

Aku memandangi Alex yang sedang mengobrol dengan sekelompok nelayan yang hendak melaut. Rambutnya melayang mengikuti arah angin, jarang aku lihat dia mengikatnya. Tubuhnya yang tinggi tampak mencolok di antara bapak-bapak yang menjadi teman berceritanya. Dia ternyata sama seperti aku, sedang melarikan diri dengan perjalanan ini.

"Aku akan menikah" ucapnya malam itu di sebuah warung makan sederhana di desa "sebulan lagi, dan aku masih bingung"

Aku menyeruput teh hangat yang aku pesan. Baru tiga hari di sini, dan entah sudah gelas teh ke berapa yang aku minum setiap malam. Padahal teh bukan minuman favoritku. Siapa sangka di tempat yang begitu panas pada siang hari, ternyata angin malamnya begitu dingin menusuk di malam hari.

"Jangan bilang kamu datang jauh-jauh ke sini buat mikirin kalimat yang pas untuk batalin nikahan kamu?" Tebakku sekenanya

Dia mengangkat bahu "bisa jadi"

Aku nyaris tersedak tahu goreng mendengar perkataannya. "Gila lo"

"Duh, yang katanya bukan dari Jakarta, udah lu gue aja" godanya sambil meraih gelas teh miliknya.

"Bahasa nasional kan" aku berkilah.

Untuk sesaat kami berdua terdiam, sibuk dengan makanan masing-masing.

"Seperti apa dia?" Tanyaku setelah berusaha keras menahan diri untuk tidak terlihat ingin tahu. Seperti apa perempuan yang Alex cintai? Entah kenapa aku penasaran.

"Seperti kamu" Alex tersenyum "hanya lebih cantik dan lebih tinggi. Tinggi kamu kok irit banget sih?"

"Eh, awas ya, jangan body shamming"

Kembali Alex tertawa sambil merapikan rambutnya yang semakin berantakan. "Dia perempuan yang kuat. Aku bahkan merasa tidak cukup dibutuhkan di sisinya. Aku jadi berpikir ulang tentang pernikahan yang akan kami jalani nanti. Tentu saja aku mencintai dia, tapi aku tidak berpikir cinta saja cukup untuk pernikahan yang seumur hidup itu"

Aku menghela napas, pemikiran Alex sangat berbeda denganku. Apa artinya pernikahan bagi dia? Ada yang berhasil tanpa cinta tapi ada juga yang gagal meski ada banyak cinta. Sekalipun begitu, cinta seharusnya sudah lebih dari cukup, kan? 

"Untuk menikah, kamu hanya perlu merasa dialah orangnya." Sahutku, tidak yakin dengan kalimatku sendiri. Terlalu klise. Bertahun yang lalu aku mengatakan hal yang sama pada diriku, dan kini aku duduk beribu kilometer dari rumahku hanya untuk memikirkan kembali apa yang aku katakan pada diriku dulu. Beranikah aku berbicara hal yang sama lagi setelah aku melewatinya?

"Aku ingin merasa seperti itu. Aku ingin memaksa diriku merasa seperti itu." Sahut Alex, suaranya sedikit serak.

Titik. Kembali kami diam dan melanjutkan makan. Setelah itu Alex berdiri dan pergi membayar makanan kami kemudian dia mengajak aku pulang ke penginapan.

"Ayo" Dia meraih tanganku dengan tiba-tiba. Aku tercekat, genggamannya erat, hangat. Dadaku berdesir, hal yang tidak pernah aku rasakan lagi sejak bertahun lalu, sejak terakhir kali aku jatuh cinta pada orang yang tidak menjadi milikku. Aku seperti ingin menangis. Selama ini aku pikir perasaan seperti ini telah mati, tidak akan pernah aku rasakan lagi setelah kami memutuskan melewati jalan masing-masing.

Kami berjalan bersisian dalam hening. Jalanan desa amat lengang dan genggaman tangannya belum beranjak. Aku memandanginya, ingin membaca pikirannya dan jika bisa ingin bertanya. Apa arti genggaman tangan ini? Untuk kami berdua, seharusnya genggaman ini tidak boleh. Ada perasaan yang harus kami jaga, meski jarak mereka ribuan kilometer dari jalanan lengang ini. Tapi aku tidak bisa melepas genggaman tangannya. Masih dengan alasan yang sama, alasan yang tidak aku ketahui dengan pasti sejak dia duduk di sampingku di dalam bus reyot, dia memesonaku.

Pukul satu pagi, aku masih belum bisa tidur. Kenapa aku harus memikirkan Alex di jam seperti ini? Apa dia baik-baik saja? Kenapa aku yang cemas sementara aku sendiri pun sedang tidak baik-baik saja.

Aku membuka jendela mencari udara segar karena aku merasa sesak. Apa dia di sana juga baik-baik saja? Orang yang sedang aku tinggalkan itu. Dari tempatku aku lihat jendela kamar Alex pun terbuka. Sepertinya kami sama-sama memikirkan terlalu banyak hal malam ini.

***

Pagi-pagi sekali kembali kami melanjutkan perjalanan menuju Magepanda. Aku masih mengantuk dan menguap sepanjang jalan. Alex hanya menggelengkan kepalanya melihatku yang berjalan miring-miring. Tidak ada percakapan tentang malam sebelumnya. Aku berusaha berbesar hati dengan menganggap genggaman tangan itu bukan hal yang serius. Dia hanya seorang teman yang ingin menjagaku dalam perjalanan pulang.

Di dalam bus yang berjalan pelan membelah jalanan berbatu, kami masih saling tidak menyapa. Aku memutuskan untuk tidak memulai percakapan dan menempelkan headset ke telingaku. Menyetel lagu-lagu lama milik Beatles. Tiba-tiba dia mengambil sebelah headset milikku dan menempelkan di telinganya. Kami mendengarkan alunan musik yang sama berjam-jam kemudian.

"Kamu tidak ingin bercerita padaku?" Tanyanya di sela-sela lantunan suara Paul.

"Apa?" Aku melepas headset.

"Kamu bisa cerita kalau kamu mau. Aku tau, kamu tidak jauh-jauh sendiri kemari hanya untuk main ke pantai, kan?"

"Kentara sekali, ya?"

Alex tersenyum "tidak kok. Tapi aku tau. Tidak semua orang bisa membaca kamu seperti aku"

Aku melirik arloji "masih lama sampainya ya? Ceritaku panjang soalnya"

"Cerita saja, mau sampai besok juga aku siap dengarnya. Aku suka setiap kata yang kamu ucap"

Entah apa dia sedang merayuku atau itu memang gaya bicaranya. Aku kembali berdebar. Tapi aku senang, ada orang yang bersedia mendengarkan aku bercerita, bahkan menyukainya. Karena orang yang membuatku sampai ke tempat ini tidak pernah bilang kalau dia menyukai setiap kata yang aku ucap.

"Sekali dalam hidup, kita pernah benar-benar jatuh cinta. Jatuh yang benar-benar jatuh dan sayangnya, bertahan selamanya. Sebelas tahun yang lalu itu terjadi padaku" Aku memandang keluar jendela. Butuh waktu bagiku karena untuk pertama kalinya hal yang tersimpan begitu rapi dalam diriku akan aku bagikan pada orang lain. Orang asing sebenarnya karena baru dua minggu sejak pertama kami bertemu.

"Aku iri dengan orang-orang yang bisa bersama dengan orang yang mereka cintai. Kamu bilang semalam, cinta saja tidak cukup? Bagiku seharusnya cukup, bersyukurlah orang-orang yang mengalaminya. Cinta akan membuatmu bersabar dan tidak lari, membuatmu nyaman meski cemas. Kamu akan punya alasan untuk bertahan, karena selamanya adalah waktu yang panjang"

Aku tau aku akan menangis, tapi aku tidak begitu peduli. Wajahku aku palingkan dari Alex dan aku menutup mulutku dengan tangan agar suara tangisku tidak terdengar.

Dia meraih tanganku yang tergeletak dan kembali menggenggamnya. Aku merasa bodoh, menjalani hidup yang tidak aku cintai dan bersabar dengannya. Hingga aku sadar, aku tidak bisa bersabar selamanya dan aku memutuskan melarikan diri kemari. Ada keputusan besar yang seharusnya kita ambil walau sekali saja seumur hidup. Aku sedang memikirkan untuk mengambil keputusan itu atau tidak.

"Kamu kuat" Bisik Alex di antara deru suara mesin mobil dan suara bercakap-cakap penumpang lain. Dia mempererat genggamannya. Aku menubruk bahunya dan menangis tanpa suara di sana.

***

Alex mengeluarkan kamera dari ranselnya. "Aku potret ya" Dia mengarahkan lensa padaku yang sedang duduk memandangi matahari yang perlahan sedang terbenam di atas garis horison.

"Buat apa?"

"Buat dikirim ke majalah Trubus" Alex tertawa dengan leluconnya sendiri. Aku mengangkat kedua alisku.

"Biar kalau rindu, aku bisa lihat wajah kamu yang habis nangis."

Aku melemparinya dengan kerikil. Dia berhasil menghindar. 

"Kok marah? Dilarang rindu apa gimana?" Alex mendekat dan duduk di sampingku.

"Mending kamu mikirin nikahan kamu deh. Dia sudah nelpon kamu seminggu terakhir ini?"

Alex menggeleng "belum, aku sudah bilang ke dia, dua mingguan ini jangan dulu hubungi aku."

"Dan dia setuju?"

"Iya"

"Waw" Aku kehabisan kata-kata.

"Aku sudah berpikir seminggu terakhir ini."

"Jadi?"

Dia mengangkat bahu "sepertinya harus batal"

Setelah mengucap hal itu, Alex mengalihkan fokus pada kameranya, menunduk sambil melihat-lihat hasil fotonya. Dia tidak menjelaskan apa pun.

"Serius? Alex?" Aku menggoyang tangannya yang masih sibuk mengutak-atik kamera.

"Serius. Nih" Alex memperlihatkan hasil fotonya. Foto diriku yang sedang duduk di halte bus, dua minggu yang lalu ketika kami pertama bertemu. Kapan dia memotretnya?

"Kok fotoku sih?"

"Iya, serius. Aku tidak ingin nanti dia menangis seperti kamu di dalam bus reyot di tengah belantara NTT. Untung kamu ketemunya sama aku. Kalau dia? Siapa coba yang mau minjemin bahunya buat dia nangis seperti aku ke kamu tadi?"

Alex meletakkan kameranya di atas pasir, mendorong tubuhnya dan mendekatkan wajahnya ke wajahku hingga aku bisa melihat warna bola matanya yang pekat dan sebuah bekas luka kecil yang dalam di wajah sebelah kanannya, kami saling berpandangan selama beberapa saat sebelum akhirnya kami sama-sama mengalihkannya.

Matahari telah sempurna terbenam.

"Bagaimana kalau nanti aku merindukanmu?" Tanyanya dengan suaranya yang dalam. "Boleh aku pergi menemuimu?"

"Entah" Jawabku "kemana kamu mau menemuiku? Aku dari mana saja loh"

"Kemana saja. Kamu mau kita bertemu dimana setelah di sini?"

Aku tertawa, "kamu tau? Kamu itu seperti obat. Aku datang ke sini dengan perasaan babak belur, bingung tidak tahu harus apa, dan tiba-tiba semuanya memulih. Aku pulih, sejak berbincang denganmu. Aku bahagia, terima kasih."

"Kalau begitu aku minta bayaran" Alex tersenyum "pinjam bahumu, aku ingin beristirahat sebentar saja. Memikirkan masa depan itu capek ternyata" dia menyandarkan kepalanya di bahuku bahkan sebelum aku menyetujuinya. Terbata aku mengangkat tanganku dan membelai rambutnya. Jemariku menelusup ke dalam helai demi helai rambutnya yang lebat.

"Terima kasih sudah datang ke sini" Aku berbisik. "Kalau rindu, ke sini saja lagi. Siapa tau kita bertemu"

Alex yang masih bersandar di bahuku dan kini memejamkan ke dua matanya tampak tersenyum.

***

Kami berjabat tangan di depan pintu keberangkatan. Kali ini dia mengikat rambutnya dengan rapi dan mengenakan kemeja yang digulung hingga siku. Untung dia tidak memakai sepatu pantofel.

"Rapi amat pak"

"Pertemuan terakhir harus berkesan" Dia masih menahan tanganku dalam genggamannya.

Aku menarik tanganku dari sela jemarinya. "Pergi sana, nanti ketinggalan pesawat"

Kami akhirnya berpisah, masuk ke dalam pintu keberangkatan yang berbeda. Tapi sebelum dia benar-benar hilang dari pandangan, aku menoleh padanya sekali lagi. Sudah lama aku tidak merasakan dadaku berdebar sekaligus nyeri di saat bersamaan. Dia, masih dengan alasan yang aku tidak tahu pasti, tetap memesona aku.

Comments

Popular posts from this blog

Pierre Tendean (Lagi-lagi)

Saya dan Tahun 60-an

Antara Pierre Tendean dan Hiruk Pikuk Jalanan Di Depan Kantor