Rinai di Langit Biru

Karena kamu adalah awal tanpa akhir, dengan segenap keyakinan dan segunung keraguan. Tapi. Aku ingin. Kamu.

Dia selalu datang tiba-tiba, entah darimana, dan sudah berdiri di depanku. Tubuhnya yang tinggi mau tidak mau harus membuatku mendongak untuk hanya sekadar memandang wajahnya yang coklat, yang berkumis tipis, yang rambutnya berantakan, yang tampan dengan kulit gelapnya. Dia tersenyum, memamerkan sederet geligi putih dan rapih yang selalu membuatku iri, menjulurkan tangannya kepadaku, mengajakku pergi, berlari.

Aku tidak menyambut uluran tangannya, tapi aku menarik belakang kemeja flanelnya yang berwarna kelabu, berjalan di belakangnya, mengikuti langkah kakinya.

"Kita mau kemana?" Tanyaku dari balik punggungnya. Aku sempurna tenggelam jika berdiri di belakangnya. Punggungnya seolah ingin selalu melindungi aku.

"Ke tempat yang jauh" jawabnya sambil bersenandung. Dia menengadah ke langit, tersenyum bahagia. "Kau akan ikut denganku, kan?"

Aku mengangguk dari balik punggungnya "selalu."

Kami berdua berjalan dan terus berjalan, melewati jalanan yang baru saja basah dibasuh hujan. Aroma petrikor mengepung kami, dia merentangkan tangannya dan menarik nafas dalam-dalam kemudian menghembuskannya.

Entah apa bahagianya sama dengan bahagiaku. Mungkin definisi bahagia bagi kami berdua tidak searah.

Tiba-tiba dia berhenti, aku nyaris menabrak punggungnya. Kemudian dia meraih tanganku dan menyelipkan jemarinya di antara jemariku. Aku ingin menarik kembali tanganku tapi dia menahannya erat. "Aku ingin kita berjalan bergenggaman seperti ini" dia mengayunkan tangannya sehingga tanganku ikut berayun. "Di sini tidak ada yang mengenal kita, jangan takut" matanya menenangkan aku, menyapu seluruh wajahku. Aku mencintai pria di hadapanku ini.

Kami berjalan, jemari saling menggenggam, menyusuri jalanan desa yang belum diaspal, melewati rumpun bunga dan ilalang. Tempat ini sangat indah, ini pertama kalinya kami bepergian, ke tempat yang sangat jauh, yang tidak seorang pun mengenal kami dan akan memandang kami penuh curiga dan prasangka jika melihat kami berdua. Dia mengajakku begitu tiba-tiba, mengirimi aku tiket elektronik dan sebaris pesan kalau dia akan menungguku di depan pintu keberangkatan, tidak akan bergerak dari sana, hingga aku datang.

Jangan menunggu aku.

Itu balasan email untuknya. Aku sangat ingin pergi dengannya, tapi aku tau aku tidak akan pernah berani melakukan hal itu. Namun tiba-tiba aku sudah mendapati diriku memanggul ransel dan menemuinya di pintu keberangkatan. Untuk dia, 'tidak' adalah hal yang belum pernah aku ucapkan.

Dan di sinilah kami, di sebuah pedesaan terpencil berjarak ribuan kilometer dari rumah kami, nyaris mengitari separuh bumi, hanya agar bisa berjalan seperti saat ini, saling menggenggam dengan erat satu sama lain.

"Hei" panggilnya "kenapa aku baru mengenal kamu sekarang? Kemana kamu bertahun-tahun yang lalu?" Dia memasang wajah sebal, seolah-olah menyalahkan aku yang tidak cepat-cepat berdiri di depannya dan saling mengenalkan diri.

Kami hanya bisa saling menyalahkan. Aku sudah mengenal dia lama, lebih dulu. Menyimpan rapi rupanya dalam sudut lemari kenangan yang istimewa. Mengangumi sosoknya dari jauh tanpa pernah berani menyapanya. Mengingat senyumnya, marahnya, semangatnya, tapi tidak pernah cukup menarik untuk tampak di depannya. Dia hanya memandang aku sambil lalu, hanya menganggap aku seseorang yang tiba-tiba lewat di depannya, sama sekali tidak berminat untuk menyapaku lebih dulu. Untuk semua itu, aku menyalahkannya.

Dia selalu seperti ingin marah setiap aku bercerita tentang masa-masa itu. Lebih dari lima belas tahun yang lalu, kami masih sama-sama berseragam putih biru. Dia ingin aku yang menyapanya lebih dulu, sesuatu yang mustahil. Aku terlalu takut menerima penolakan, dan untuk itu dia akan berulang kali mengucap maaf. Maaf untuk melewatkan aku begitu saja dan bertemu hanya untuk berjarak.

"Kalau saja kamu dulu memberanikan diri, sedikit saja, mengucap 'hai' padaku, kita mungkin tidak harus jauh-jauh ke sini hanya untuk saling bercerita dengan bebas" dia tertawa "aku pasti akan membalas sebuah 'hai' darimu menjadi sebuah surat cinta yang amat panjang, yang tidak akan habis kau baca meski kamu sudah lulus SMA"

Aku tertawa "kamu bahkan tidak ingat seperti apa aku dulu, aku tidak yakin kau akan membalasnya, kamu bahkan tidak pernah memandangku lebih dari satu detik"

Dia menutup wajahnya dengan telapak tangannya yang bebas "jangan diungkit lagi. Jangan buat aku lebih menyesal."

Aku tersenyum, menarik tangannya agar berjalan lebih cepat. "Kemarin aku lihat di ujung jalan ada kafe yang sepertinya nyaman, ayo. Kita duduk-duduk sebentar di sana"

Kami terus berjalan hingga menemukan sebuah kafe - yang bisa diketahui sebuah kafe karena sebuah papan nama kayu kecil yang digantung - yang lebih mirip rumah Frodo Baggins di Shire. Kami bahkan harus ikut menunduk saat ingin masuk, setelah mendorong pintu kayu berat berbentuk bundar.

Kafe hanya diisi oleh beberapa orang, dan semuanya terlihat seperti turis. Kami memilih duduk di sisi perapian, dengan sebuah jendela di sisi lainnya yang memberi kami pemandangan bukit-bukit hijau di luar sana.

"Bisa tidak kita extend?" Tanyanya setelah memesan dua cangkir coklat panas beserta marshmallow "tempat ini indah sekali. Hei, kamu melamun?" Dia menepuk pundakku yang sedang memandang kosong ke luar jendela.

"Tidak" aku menggeleng "hanya membayangkan bagaimana rasanya tinggal di sini, kita berdua maksudku. Pasti menyenangkan"

Dia pindah dari sampingku dan duduk persis di kursi depanku. "Lihat aku".

Aku memandanginya, dia yang semakin menua, dengan sedikit kerutan di sudut matanya. Dia yang berbelas tahun silam, rajin menghampiri mimpi-mimpi yang aku tulis, tentang masa depan, tentang hidup menua bersama seseorang, tentang rumah. Dia yang aku cintai dalam hening, sepi, sunyi. Tidak ada yang tau sebesar apa perasaan itu tersimpan, sampai dia benar-benar hadir di hidupku sebagai orang yang juga menginginkan aku.

Aku ingat saat itu hujan, aku berteduh di sisi rumah Aksara miliknya, merapatkan jaket sekaligus merapatkan diri dengan dinding agar tidak basah.

"Berteduh di sini saja" tiba-tiba kepalanya menyembul dari balik dinding rumah Aksara yang hanya menempati teras rumahnya, menawariku tempat berlindung dari hujan yang semakin deras.

Aku menggeleng "tidak lama lagi hujan berhenti" sahutku di antara rinai hujan yang menerpa wajahku. Dia lantas menghilang dari balik dinding.

Aku menengadah memandang langit, sepertinya hujan akan turun sedikit lebih lama. Sebagian depan jaketku sudah basah, juga sepatu yang aku kenakan. Saat sedang menepuk-nepuk sepatuku, dia sudah berdiri di belakangku dengan membawa payung.

"Ayo" ajaknya lembut, menarik lengan jaketku. "Sore ini rumah Aksara sedang tidak punya pengunjung"

Perasaanku campur aduk, antara gugup, senang, dan takut. Tapi aku ikut juga dengannya berteduh di rumah Aksara, kios buku sekaligus kafe yang dia kelola. Dia menyilahkan aku duduk di sebuah kursi kayu panjang sementara dia masuk ke dalam. Aku duduk, memandangi rumahnya, rak-rak buku yang memenuhi separuh dinding, juga kursi-kursi kayu yang berderet di depan rak-rak buku itu. Suara hujan memukul-mukul atap, dan hanya aku sendiri yang duduk di tengah hening rumah Aksara.

Tidak lama kemudian dia keluar, membawakan aku sebuah cangkir yang menguarkan aroma cokelat di udara, menghidangkannya di atas meja di depanku. "Silahkan" ucapnya "cokelat panas terbaik rumah Aksara"

Aku meraih cangkir dan menghidu aroma cokelat yang kental lantas menyesapnya sedikit demi sedikit.

"Kamu suka nonton NatGeo?" Dia tiba-tiba bertanya.

Aku heran dengan pertanyaannya tapi tetap saja mengangguk.

Dia pergi ke sisi rak buku dan meraih sebuah remote televisi kemudian menyalakan televisi yang terpasang, siaran NatGeo edisi penangkaran orang utan di Borneo. "Romantis ya kita berdua, hujan-hujanan begini nonton NatGeo" sahutnya tiba-tiba.

Aku tertawa, untuk pertama kalinya sejak tadi rasa gugup dan takutku hilang, hanya tersisa rasa senang. Ketika aku menurunkan cangkir cokelat yang baru aku sesap, kulihat dia di depanku sedang memandangi aku, lama. Tidak berusaha mengalihkan pandangannya.

"Boleh aku tau siapa namamu?" Tanyanya dengan hati-hati. "Aku Langit Biru. Biru saja jika kau ingin memanggilku"

Aku tahu siapa namamu, tidak perlu memperkenalkan diri. Aku bahkan tau olahraga favoritmu. Tapi baiklah, jika kita memang harus berkenalan, kenalkan, namaku Rinai.

Tiga bulan kemudian, dia bilang dia menyukai aku.

***

"Apa aku punya arti buatmu?" Dia bertanya, serius. Menatap tepat di mataku.

"Aku tidak akan duduk di sini sekarang jika kamu tidak berarti apa-apa."

"Bagi aku, kamu lebih dari itu. Kamu orang pertama yang kubuatkan cokelat panas saat hari sedang hujan, kamu satu-satunya orang yang tau kalau aku lebih suka menonton NatGeo daripada siaran sepak bola. Dan aku tidak pernah bilang suka pada seorang perempuan yang baru tiga bulan aku kenal. Padahal kamu..."

"Hei, Tuan" aku menyela "usia kamu tiga puluh satu kan? Apa selama, katakanlah sebelas tahun terakhir, kamu tidak pernah bilang suka pada seseorang yang baru kamu kenal? Tidak tertarik pada mereka?"

Biru mengangkat bahu, "tertarik sih, tapi tidak bisa membuatku bilang suka hanya dalam waktu tiga bulan. Hanya kamu, nona Rinai, perempuan manis yang ketika tertawa matamu hanya akan jadi segaris saja seperti lampu belakang mobil, yang bisa membuat aku pontang-panting bilang suka dalam sekejap mata. Aku sudah menyukaimu sejak pertama melihatmu berteduh di samping rumah Aksara."

Aku tersenyum, menatapnya, menatap matanya yang jenaka setelah selama ini hanya pandangan serius yang selalu dia berikan, kemudian tertawa. Kami berdua tertawa bersama. Juga sepasang cangkir berisi cokelat panas yang ikut tertawa bersama butiran marshmallow yang dicelupkan ke dalamnya.

Hujan menutup sore ini, membuat kami saling mengucapkan selamat sore untuk terakhir kalinya.

Karena besok tidak akan ada lagi selamat sore. Untuk dia. Untukku.

***

Mungkin salahku melewatkan mu
Tak mencarimu sepenuh hati
Maafkan aku
Kesalahanku melewatkan mu hingga kau kini dengan yang lain
Maafkan aku


SO7 - 2008

Comments

Popular posts from this blog

Pierre Tendean (Lagi-lagi)

Saya dan Tahun 60-an

Antara Pierre Tendean dan Hiruk Pikuk Jalanan Di Depan Kantor