Menikah, Pilihan Atau Keharusan?

Menikah, sebuah pilihan atau keharusan?

Apa yang diharapkan setiap wanita selepas sekolah?
Rata-rata jawaban mereka adalah bekerja. Kenapa bekerja? Agar bisa segera menikah. Ya,menikah! Saya tidak tahu apa yang ada di pikiran setiap gadis mengapa mereka begitu berkeinginan untuk menikah. Seolah-olah menikah adalah satu-satunya tujuan hidup mereka.

Tidak adakah seorang wanita yang berpikir bagaimana jika nantinya pernikahan mereka bermasalah? Bagaimana jika ternyata mereka tak sepaham dengan suami-suami mereka kelak? Bagaimana jika ternyata pernikahan itu membelenggu mereka? Apakah mereka harus bercerai? Atau diam saja dengan ketidak sepahaman yang mereka alami? Harus bagaimana? Mereka tak punya alasan yang cukup kuat untuk mengajukan cerai tanpa dikatakan sebagai wanita durhaka. Tidak ada orang ketiga, suami mereka berlaku baik pada mereka, tapi mereka terpenjara oleh pola pikir suami mereka yang mungkin terlalu monoton, membosankan, tidak ada inovasi dan lain sebagainya.



Menikah. Menikah bukanlah sebuah kata dimana hanya terdapat kemesraan saja di dalamnya. Menikah bukanlah solusi dari semua masalah. Menikah lebih kompleks dari itu dan jika kita tidak berhati-hati dalam mengambil keputusan untuk menikah dan memperhitungkan segala akibatnya, akan sangat besar kemungkinan kita untuk gagal. Bukankah – jika bisa – kita hanya akan menikah sekali dalam seumur hidup kita?

Jadi saya hanya ingin bilang, duhai para wanita yang berpikiran terbuka, cerdas dan mandiri. Telitilah lebih dahulu siapa pria yang akan menjadi suami kalian. Periksalah pola pikirnya apakah dia bisa memahamimu atau tidak. Cari tahulah tingkah lakunya apakah dia cocok denganmu atau tidak. Gali informasi sedalam-dalamnya tentang bagaimana dia memandang hidupnya, tentang bagaimana nanti dia akan membawa hidupnya, tentang tujuan hidupnya, tentang cita-citanya. Dan lebih penting, kalian harus tahu akan ada di posisi mana kalian setelah menikah nanti. Apakah hanya akan menjadi tukang masak dan tukang cuci mereka, ataukah menjadi partner, kolega, dan mungkin bahkan rival dalam mengarungi hidup.

Saya teramat sangat tidak setuju jika wanita hanya memposisikan fungsi mereka sebagai istri saja. Hanya memasak, mendengar keluhan mereka, mencuci baju mereka, menyetrika kemeja mereka, membelai rambut mereka. Sungguh seorang wanita dapat berperan lebih besar daripada itu. seorang wanita bisa menjadi pengubah dunia, bahkan bukan tidak mungkin seorang wanita bisa menguasai dunia. Jangan biarkan kecerdasan kalian tenggelam, jangan biarkan peran kalian dikerdilkan oleh suami-suami kalian. Kita bisa berbuat lebih untuk dunia ini, kita bisa berperan lebih banyak dalam hidup kita.

Ada yang bilang, di balik seorang pria hebat terdapat seorang istri yang hebat. ‘Di balik’? itukah posisi kita di hadapan mereka? Kita hanya berdiri di balik punggung mereka dan hanya akan menerima pujian atas keberhasilan kita setelah mereka lebih dahulu di puji. Kenapa kita harus berada di balik punggung mereka jika kita bisa berada di sisi mereka? Bukankah kita bisa ‘bicara’ lebih banyak dari sisi mereka daripada dari balik punggung mereka? Sekali lagi saya ingin bilang, jangan mau peran wanita dikerdilkan oleh suami-suami kita hanya karena kita telah salah memilih pasangan hidup!

Lupakan saja berbagai kriteria suami sempurna yang ada di dalam angan-angan kalian semasa remaja. Seorang pria yang baik hati, sayang keluarga, ramah, bla bla bla dan semua kriteria sempurna yang hanya ada di negeri dongeng. Hentikan mimpi itu sekarang juga karena belum tentu orang seperti itu bisa memahami kita. Yang kita butuhkan hanyalah seorang pria yang cukup cerdas untuk tidak mengkerdilkan peran kita dalam hidupnya. Yang kita butuhkan hanyalah seorang pria yang bisa memahami apa yang ada di dalam kepala kita, apa yang meledak-ledak di dada kita, membantu kita meraih cita-cita kita. Betapa beruntungnya jika kita memiliki seorang suami seperti suami R.A Kartini. Seorang suami yang sepaham dengan beliau, memiliki cita-cita yang sama dengan beliau, bahkan bekerja sama dengan beliau membangun sekolah mereka. Seorang suami yang mampu membuat R.A Kartini meredam mimpinya untuk bersekolah ke Betawi yang sudah dia cita-citakan sejak dulu dan memutuskan untuk menikah dengan seorang duda yang telah memiliki anak.

Ayolah, mari kita buka pikiran kita. Jangan jadikan pernikahan sebagai satu-satuny a tujuan kita. Itu hal yang lucu, sangat lucu menurut saya. Karena ada banyak wanita di luar sana yang tidak menikah sampai akhir hayat mereka dan mereka baik-baik saja. Mereka masih punya tujuan hidup lain yang lebih besar daripada sebuah pernikahan. Menikah adalah pilihan dan kita bisa memilih menikah atau tidak. Siapa bilang kita tidak bisa bahagia jika kita tidak menikah? Kebahagiaan bisa kita ciptakan sendiri, bukan ditunggu. Untuk apa kita menghabiskan waktu bertahun-tahun dalam penantian panjang akan datangnya seorang suami? Mereka datang atau tidak pada kita hasilnya akan sama saja. Kita tetaplah kita dengan sejuta mimpi. Tidak lantas setelah kita menikah maka mimpi-mimpi kita akan sirna begitu saja. Yang perlu kita pahami, menikah hanyalah ‘sarana’ kita dalam meraih mimpi kita yang lebih besar. Jika pada akhirnya menikah hanyalah menjadi penghambat, sebaiknya kita tak usah memaksakan diri menjadi bagian dari masyarakat pada umumnya yang menetapkan pernikahan sebagai sebuah keharusan.

Tidak, saya tidak menentang pernikahan karena saya tahu pernikahan adalah sunnah yang amat dianjurkan oleh Rasulullah. Saya juga yakin pengabdian seorang istri pada seorang suami dapat berbuah surga. Tapi bukankah kita bisa berbuat lebih daripada sekedar mengabdi terhadap suami? Kita bisa mengabdi kepada orang banyak, kepada masyarakat, kepada dunia. Jangan mau menikah sengan seorang pria berpikiran sempit. Orang seperti itu tak punya masa depan selain sebuah kotak berukuran 2x3 meter – kubikel kantornya. Hindari orang-orang seperti mereka yang hanya akan mematikan potensi kalian. Lupakan pria-pria tak berpendidikan di luar sana yang tidak sepadan dengan kalian. Kalian jauh lebih hebat daripada sekedar hanya untuk seorang pria kaya, baik hati, ramah, atau berpendidikan tinggi tapi isi kepalanya kosong, tidak punya mimpi-mimpi, dan monoton.

Kita dapat berbuat lebih banyak.
Dengan menikah atau tidak.

Comments

Popular posts from this blog

Pierre Tendean (Lagi-lagi)

Saya dan Tahun 60-an

Antara Pierre Tendean dan Hiruk Pikuk Jalanan Di Depan Kantor