An Answer

Aku tak suka dia memunggungiku dan bersikap seolah-olah aku ini tidak ada.
“Naz, aku pergi” kataku pelan, sangat pelan malah, aku sengaja sehingga dia tak perlu mendengar kata perpisahan dari mulutku. Tapi nyatanya kulihat dia mengangkat punggungnya – mengiyakan – tanpa sedikitpun membalikkan pandangannya kepadaku.
Aku tahu Inaz tak benar-benar sedang menonton siaran berita di TV yang ada di depannya. Aku tahu dia hanya memandang kosong para narasumber yang sibuk komat-kamit mengomentari keadaan negara tanpa sedikitpun mengerti apa yang mereka katakan. Setidaknya, dua tahun menjadi istrinya telah membuatku paling tidak mengenal kebiasaannya.
Aku menelan ludah, mengusap sedikit mataku yang entah kenapa tiba-tiba berair. Ah, aku tak suka perpisahan sekalipun aku sendiri yang menginginkan perpisahan ini. Selalu ada air mata di sana, memaksaku mengangkat wajahku ke langit-langit rumah agar air mataku tak segera mengalir ke wajahku. Langit-langit rumah kami – dulunya. Inaz mengencangkan volume TV sehingga suara pembawa acara seorang wanita cantik memenuhi ruangan tempat kami berdua berada.
“Selamat tinggal. Assalamualaikum...” ucapku sekali lagi dengan suara pelan yang langsung ditenggelamkan oleh suara TV di depan Inaz. Dengan gontai kuseret koper terakhirku yang akan aku bawa keluar dari rumah kami, berusaha keras agar menahan keinginan untuk melihat punggungnya sekali lagi. Kutinggalkan dia sendirian, setelah dua tahun pernikahan indah kami. Dua tahun ternyata tak pernah cukup membuatku mempertahankan pernikahan kami. Dua tahun yang telah aku buang sia-sia dengan seorang pria terbaik yang pernah aku kenal. Aku tak pernah cukup baik untuk mantan suamiku itu.

“Naz, aku sudah memikirkannya selama beberapa minggu ini” aku mengucapkan setiap kata dalam kalimatku dengan tenang dan jelas, berusaha tak terlihat gugup atau ragu di hadapannya. Aku telah yakin dengan keputusan yang aku ambil. “Kurasa... kita memang sebaiknya bercerai...”
Ekspresi wajah Inaz yang sedang duduk di hadapanku sama sekali tak berubah. Dia bersikap biasa seolah-olah perceraian ini hanya urusan membeli sepatu yang salah ukurannya.
“Aku...tak yakin kita harus melanjutkan pernikahan ini” sambungku lagi.
Inaz mengaduk kopinya, pelan dan lama.
“A-aku yang akan mengurus semuanya kalau kau sibuk...”
Inaz menyesap kopinya.
“Aku punya teman seorang pengacara. Dia akan membantu kita mengurus semuanya kalau kau tak bisa...”
“Aku tak sibuk, Va” potong Inaz setelah dia meletakkan cangkir kopinya “kalau itu memang keputusanmu, aku akan membantumu mengurus semuanya” katanya tenang.
Aku terkejut. Dia setuju? Padahal selama dua tahun pernikahan kami tak sekalipun dia memiliki keinginan untuk bercerai. Tapi sekarang....?
Dia bahkan tak berusaha mencegahku untuk meminta perceraian.
Dia tak membujukku untuk mengubah pikiranku?
Sejak awal semuanya telah berakhir. Aku benar. Apa yang aku rasakan memang benar. Kami tak seharusnya menikah, pernikahan ini seharusnya tak pernah terjadi. Aku seharusnya tahu, Inaz tak pernah mencintaiku. Inaz menikahiku hanya karena dia putus asa cintanya pada Maiza tak pernah disetujui orang tuanya. Dia menikahiku hanya untuk lari dari hidup Maiza. Dia menikahiku hanya karena terpaksa, hanya karena orang tuanya sangat menyukaiku, hanya karena dia terlalu pengecut untuk memperjuangkan cintanya pada Maiza.
Dia bahkan memperlakukan aku seperti orang asing di bulan-bulan pertama pernikahan kami. Menyapaku dengan kaku, menyibukkan diri dengan pekerjaannya dan meninggalkan aku sendirian di rumah besar miliknya itu. Tahun pertama aku masih bisa bersabar menerima keadaannya yang seperti itu. Aku hanya berusaha menjadi istri terbaik untuknya, melayaninya dengan tulus, aku hanya mengharapkan ridho darinya sebagai seorang suami agar aku dapat masuk dari pintu surga manapun yang aku inginkan.
Tahun kedua sikapnya mulai melunak, dia mulai suka bercanda dan tak lagi bersikap kaku padaku. Kami bahkan mulai sering keluar bersama, berjalan-jalan di sore hari dengan motor bututnya – aku lebih suka naik sepeda motor bututnya daripada mobil. Saat itu rasanya semua telah berjalan normal. Aku mengira kehidupan kami sebagai suami istri akan berjalan normal seperti pada pasangan-pasangan lainnya tanpa ada lagi bayang-bayang Maiza di kehidupan kami. Tapi ternyata aku salah.
Di akhir tahun kedua nama itu kembali lagi, lebih merusak, lebih memporak-porandakan pertahananku daripada sebelumnya. Ternyata mereka berdua masih saling mencintai, bahkan lebih daripada yang bisa aku bayangkan, lebih daripada yang bisa diterima oleh logikaku sendiri.
Dan akhirnya aku memutuskan untuk mundur setelah memikirkannya selama berminggu-minggu.
Sayangnya Inaz setuju. Dia menyetujui perpisahan kami. Ternyata dua tahun tak cukup baginya untuk bisa mencintaiku, istrinya.

4 tahun kemudian
Sehelai undangan reuni hadir di meja kerjaku. Reuni SMA 1 angkatan 2001 di sebuah restoran pada hari sabtu malam. Aku tertawa, teringat kembali masa-masa SMA kami yang lugu dan konyol, bahkan kadang nakal. Pencetus ide reuni ini pasti Satya, ketua OSIS angkatanku yang memang amat bersemangat mengurus hal-hal seperti ini – dia punya sebuah EO dan sepertinya sejak dulu bakatnya adalah mengurus event-event sekolah. Undangan itu ku simpan di laci meja kerja, tentu saja aku akan hadir.
Aku turun dari taksi tepat di depan restoran tempat reuni kami berlangsung. Dengan sedikit gugup, aku melangkah masuk ke dalam restoran. Tentu saja aku gugup karena akan bertemu teman-temanku yang sudah sepuluh tahun terakhir ini jarang bertemu bahkan ada yang sama sekali tidak pernah bertemu. Bagaimana rupa mereka? Apa masih sama seperti dulu? Berapa anak mereka? Di mana sekarang mereka tinggal? Semua pertanyaan itu berputar-putar di kepalaku.
“Nauva?” sapa seseorang dari arah belakangku.
Aku berbalik, Inaz baru turun dari motor bututnya yang diparkir di depan restoran. Inaz adalah teman SMA-ku juga.
“Eh..hai” sapaku kaku. Sejak perceraian kami 4 tahun lalu, kami tak pernah bertemu lagi. Aku juga tak pernah lagi mendengar bagaimana kabarnya kecuali satu hal, dia belum menikah lagi sejak kami bercerai. Entah kenapa.
“Mobil kamu kemana?” tanyaku heran.
“Lagi males bawa mobil. Macet.” Jawabnya singkat “ayo masuk ke dalam”
Aku mengangguuk. Kami berdua berjalan masuk ke dalam restoran.
“Nauvaaa...” jerit seorang wanita begitu kami masuk di dalam. Dia langsung memelukku erat. “Idiiihh... kok jalan sama Inaz sih?” serunya berisik.
Aku meringis, memandangi Inaz agar segera pergi menjauh dari kami karena Karen, biang gosip kelasku saat SMA dulu ternyata sama sekali belum menghilangkan kebiasaan buruknya itu.
Karen menggamit lenganku untuk duduk di salah satu meja yang masih tersedia sebuah kursi kosong. “Tempat ini sengaja kami kosongkan khusus buatmu loh, Va” cerocos Karen.
Aku duduk di atas kursi dan memandang sekeliling. Rupanya seisi restoran telah disewa khusus untuk acara reuni kali ini. Teman-teman yang duduk semeja denganku semuanya adalah teman segengku dulu. Kami berlima – aku, Karen, Natya, Mia, dan Ardina. Karen masih sama seperti dulu, masih dengan rambut panjang ikalnya dan kulit putihnya. Serta masih sama cerewetnya. Aku takjub, 10 tahun sama sekali tak mengubah penampilan cantik wanita itu. kurasa jika dia memakai seragam SMA kami yang dulu, tak ada yang akan tahu kalau sekarang usianya sudah di akhir 20-an.
Natya dan Mia sama sepertiku telah mengenakan kerudung meski kerudung Natya dan Mia sama sekali tak bisa dibilang kerudung dengan banyaknya ornamen yan melekat di kepala dan leher mereka. Aku membayangkan pastilah ribet sekali mengenakan kerudung rumit seperti mereka. Tapi overall, mereka juga tetap sama seperti SMA dulu.
Aku hanya agak kaget melihat Ardina. Tubuhnya yang dulu ramping kini tampak tiga kali lebih gendut. Rupanya dia baru saja melahirkan, anak kembar, dan sedang dalam program menurunkan berat badan. Di antara kami, hanya aku dan Ardina yang pendiam sehingga kami berdua lebih dekat daripada yang lain. sayangnya semenjak dia ikut suaminya ke Belanda, kami kehilangan kontak.
“Dan kamu?” todong Mia “kapan nih tante-tante cantik seperti kami ini menggendong anak kamu?” Aku meringis dan tiba-tiba merasa gerah dengan pertanyaan itu. “Eh, belum.” Jawabku singkat.
“Kamu ke sini sama Inaz ya?” potong Karen yang memang sejak tadi sudah tidak tahan mengomentari kedatanganku dengan Inaz.
“Eh, tidak” jawabku buru-buru “kami bertemu di depan restoran. Aku naik taksi kemari”
“Taksi?” sahut Natya kaget “suami kamu gak nganterin kamu?”
“Pak Alif lagi sibuk, nggak sempat” jawabku sambil menyesap sirup yang baru dihidangkan oleh pelayan.
“Ya gitu deh kalo udah jadi ibu-ibu pejabat. Ditinggal terus sama suami” celetuk Mia.
Yang lain tertawa, aku tersenyum saja, merasa tak ada yang lucu dari kalimat Mia barusan. Ternyata sepuluh tahun telah mengubah cara pandang kami. Aku tak lagi bisa tertawa bersama mereka untuk hal-hal yang tak pantas ditertawakan.
Dua tahun lalu, dua tahun semenjak perceraianku dengan Inaz, aku menikah lagi dengan dosen pembimbing tesisku, Pak Alif. Dia seorang pria yang dewasa, amat baik hati dan cerdas. Sejak dulu aku memang sudah mengagumi beliau, sejak aku masih menjadi mahasiswa S1 dan beliau menjadi dosenku. Aku sudah mengenalnya jauh lebih dulu sebelum aku menikah dengan Inaz. Siapa sangka aku bisa lebih mengenal beliau sejak dia menjadi dosen pembimbingku? Dan siapa sangka pula setelah aku menyelesaikan S2-ku, dia langsung melamarku?
Saat itu rasanya seperti mimpi.
Kemudian Pak Alif memutuskan terjun di dunia politik, ikut mencalonkan diri menjadi anggota dewan dan sekarang dia menjadi super sibuk, jauh lebih sibuk dari pekerjaan Inaz yang seorang konsultan.
Kini aku menjadi bahan lelucon teman-teman segengku. Ibu-ibu pejabat? Aku bahkan tak pernah ikut pertemuan istri-istri pejabat.
“Eh, waktu pemilihan kemarin, aku milih suami kamu loh Va” kata Natya sambil mencolek krim kue di atas meja.
“Oh ya?” tanyaku tak tertarik.
“Iya” sahutnya bersemangat “habis Cuma suami kamu yang paling ganteng sih. Makanya aku milih dia” lanjut Natya yang kembali disambung tawa teman-temanku yang lainnya.
Selanjutnya aku tak bisa menyimak lagi apa yang teman-temanku katakan. Aku tak nyaman berada di antara mereka, menggosipkan orang lain, mengomentari orang lain. Reuni kali ini ternyata tidak sesuai dengan bayanganku, bahkan jauh lebih buruk dari yang bisa aku bayangkan. Aku ingin pulang.

Hujan deras mengguyur. Hujan terderas yang pernah aku saksikan.
Setelah dadah-dadahan dengan Natya, Mia, Karen, dan Ardina dari dalam mobil mereka masing-masing, setelah menyapa beberapa teman lain yang juga pulang dengan kendaraan masing-masing, setelah restoran telah sepi, aku berdiri di depan restoran menunggu Pak Alif menjemputku.
“Kenapa belum pulang?” tanya Inaz yang berdiri di sisi lain teras restoran, bersandar di pilar sambil memandang curahan air hujan yang jatuh di depannya. Suaranya tersamarkan oleh derasnya air hujan sehingga aku harus memandanginya untuk mengetahui apa yang dikatakannya.
“Eh, menunggu dijemput” jawabku.
Inaz memandangiku dengan ganjil tanpa ekspresi.
“Kau sendiri...” pertanyaanku tiba-tiba terhenti. Aku ingat, dia kemari membawa sepeda motor bututnya.
“Kalau aku memintamu kembali, apa kau mau Va?” tanyanya tiba-tiba. Kali ini suaranya lebih kencang daripada bunyi hujan yang jatuh berdebam di atas tanah.
Aku menahan tawa. Aku tahu Inaz hanya bercanda.
Tapi sejak kapan dia bercanda untuk masalah seperti ini? Dia bahkan jarang bercanda untuk hal-hal sepele.
“Aku kehilangan kamu, Va! Aku baru menyadarinya saat aku menandatangani surat perceraian kita dulu. Aku benar-benar kehilangan kamu”
Nafasku tercekat. Ada yang salah dengan Inaz. Pasti ada yang salah.
“Maiza ternyata tak bisa menggantikan posisimu. Tak ada yang bisa. Seharusnya sejak awal aku sadar, aku dan Maiza memang tidak akan bisa bersama. Va, aku mohon kembalilah padaku seperti dulu!”
Inaz berjalan mendekatiku, sehingga aku bisa melihat jelas matanya yang memerah dan basah. Aku bisa melihat jelas wajahnya yang sayu dan sinar matanya yang telah hilang entah kemana. Aku sekarang bisa melihat Inaz yang hancur. Inaz yang bahkan tak pernah ku dengar mengeluh sedikitpun di hadapanku. Inaz yang selalu tenang dan tanpa ekspresi. Inaz yang kaku dan dingin.
“Va, aku mohon” ulangnya sekali lagi “kau tak tahu betapa tersiksanya aku tinggal di rumah itu sendirian? Setelah dua tahun kau hadir di sana? Aku bahkan tak suka lagi bawa mobil sejak kau bilang kau lebih suka naik sepeda motor bututku.”
Aku menggeleng, berusaha terlihat tegar mendengar kenyataan ini. Kenyataan yang tiba-tiba menyeretku kembali ke masa lalu, saat aku masih bersama dengannya. Saat aku masih bisa mengingat setiap detil senyuman yang dia cipta untukku. Aku menggeleng untuk menolak semua itu, untuk meyakinkan diriku kalau itu tak lebih hanyalah candaan Inaz semata. Untuk memperingatkan diriku Inaz bisa saja tiba-tiba terwata dan mengatakan betapa bodohnya aku mau mempercayai semua perkataannya.
Tapi, lebih daripada itu, aku menggeleng untuk meyakinkan diriku kalau aku tak lagi mencintainya.
Air mata Inaz menetes, untuk pertama kalinya dalam hidupku semenjak kami berteman hingga kami menikah dan bercerai, aku melihat dia menangis. Ternyata tangisan seseorang yang tanpa ekspresi dan dingin seperti Inaz jauh terlihat lebih menyakitkan. Jauh terlihat betapa tersiksanya dia meneteskan air mata itu.
“Kau bercanda, Naz!” sahutku, kehilangan kata-kata.
Dia menggeleng, pandangannya seperti mencengkramku dan menahanku di pusaran waktunya. Di pusaran waktu milik kami berdua yang belum sempat kami benahi.
“Menurutmu mengapa aku tak pernah menikah lagi sejak kau pergi dari rumah kita empat tahun yang lalu?” tanyanya.
Pandanganku memohon agar dia segera menghentikan tingkah ganjilnya ini. Aku tak ingin dia mengusik lagi kehidupanku.
“Aku menunggumu, Va. Aku menunggu kau kembali ke rumah itu”
Sebuah mobil mendekat ke arah kami, membuyarkan semua perhatianku pada Inaz yang terlihat semakin ganjil. Mobil suamiku yang datang menjemputku.
“Aku pergi Naz” kataku singkat, buru-buru meninggalkan dia seorang diri.

Aku tak tahu apa perkataan Inaz pada malam reuni itu mempengaruhi kehidupanku atau tidak. Tapi aku merasa ada yang berbeda di kehidupanku setelahnya. Pak Alif semakin sibuk dengan pekerjaannya dan membuatku merasa mempunyai jarak dengannya. Aku juga tak bisa berhenti memikirkan masa laluku dengan Inaz yang makin memperparah suasana.
Dan kadang aku harus bisa memutuskan kapan semuanya harus berakhir.
“Aku mencintaimu, Va” kata Pak Alif.
Dia pria pertama yang mengatakan cinta padaku.
Teleponku berbunyi. Sms masuk dari Pak Alif membuyarkan lamunanku sepanjang perjalanan. Aku sudah sampai. Begitu katanya singkat. Aku mengusap air mataku. Seluruh masa laluku terbingkai jelas sejak percerianku dengan Inaz, dan kini aku harus menghadapi perceraian keduaku dengan Pak Alif. Skandal itu terlalu jelas, bahkan seluruh negeri pun sudah mengetahuinya. Media-media itu melibas Pak Alif tanpa ampun, menghancurkan karirnya dan merampas semuanya. Pak Alif sudah mengakui kesalahannya, berharap aku masih punya kesempatan kedua untuknya.
Ah, sayangnya aku bukan orang yang mudah memberikan kesempatan kedua.
Surat perceraian itu kini ada di tanganku. Aku akan membawanya ke pegadilan. Dan sekali lagi, ah, aku tak pernah suka dengan perpisahan.
Sampai di halaman depan pengadilan, telah banyak wartawan yang berkumpul, hendak meliput kedatanganku untuk mengajukan berkas perceraian. Mereka selalu saja ingin mengetahui urusan orang, selalu saja ingin membuka aib orang. Dengan bersemangat mereka mengarahkan kamera kepadaku, bertanya ini itu, bahkan ada mic seorang wartawan yang nyaris mengenai wajahku kalau saja Pak Alif tidak dengan sigap menarikku keluar dari kerumunan wartawan. Dia menarik tanganku dan membawaku masuk berlindung ke dalam sebuah ruangan.
“Mereka beringas sekali” kataku pucat.
Pak Alif meringis, dia mengusap-usap lengannya yang tadi tak sengaja menahan kamera agar tak diarahkan kepadaku. “Ternyata politikus sama terkenalnya dengan artis” canda Pak Alif “lihatlah cara mereka mengerumunimu demi sedikit saja komentar darimu”
Aku menggeleng.
“Kenapa? Kamu tidak setuju aku bilang politikus sama terkenalnya dengan artis?” tanya Pak Alif dengan wajah jenaka. Dia bahkan masih berusaha melucu di saat seperti ini.
Aku tak menanggapi perkataannya. Aku keluarkan sebuah map berisi beberapa lembar kertas dari dalam tasku.
“Bapak ingin aku meninggalkan bapak?” tanyaku tegas.
“Maksudmu?” tanya Pak Alif heran.
“Aku butuh jawaban bapak. Ya atau tidak?”
“Tidak” jawab Pak Alif mantap dan lebih tegas dariku “aku tak pernah menginginkan kau meninggalkan aku, tidak sedikit pun Nauva”
Kali ini aku mengangguk. Kuusap air mata yang berjatuhan di pipiku. “Tentu saja” kataku tertahan. Aku mengeluarkan surat perceraian kami dari dalam map, membacanya sebentar, lantas merobek-robek kertas itu menjadi serpihan-serpihan kecil dan melemparnya ke udara. “Aku tak akan meninggalkan bapak. Tak akan pernah”. Aku tak ingin kehilangan segalanya lagi untuk yang kedua kalinya. Sama sekali tak ingin.

Comments

Popular posts from this blog

Pierre Tendean (Lagi-lagi)

Saya dan Tahun 60-an

Antara Pierre Tendean dan Hiruk Pikuk Jalanan Di Depan Kantor