Semoga



Sepertinya sudah lama sekali tidak mampir ke sini dan meninggalkan jejak. Ya. Dia terlalu banyak menarik perhatian saya hingga saya seperti tidak pernah punya cukup waktu untuk terus bersamanya.

Dan err...sedikit mengabaikan blog ini. Maaf... *elus keyboard*

Seperti yang sudah saya ceritakan sebelumnya, sekarang saya telah menjadi seorang istri dari pria yang hobi joget-joget tidak jelas di depan saya, doyan makan, debat-able, yakin kalo dirinya cakep tiap kali bercermin, kritikus fashion saya, dan paling suka bangun malam masak mie - cobaan terberat saya sejauh ini. Menjadi seorang istri dengan sebuah pemahaman baru : belum tentu ada orang lain yang bisa memperlakukan saya seperti dia memperlakukan saya :)

Memang belum ada hal-hal luar biasa yang dijumpai. Belum ada cerita-cerita seru seperti dalam buku. Tapi setiap kali mengingat komitmen seumur hidup yang telah dibuat, rasanya setiap hari menjadi luar biasa. Untuk bersabar, untuk bertahan, untuk menepati janji pada diri, menjadi tua bersama.

Pernikahan mengajarkan bahwa rumah tidak harus selalu berarti pulang. Pasanganmu adalah rumahmu, tapi tidak berarti membuatmu melupakan keinginan untuk pulang. Kadang rindu itu menyergap. Rindu suara berisik adik-adik. Rindu suara burung hutan setiap pagi. Rindu kokok ayam tetangga yang sahut menyahut. Rindu masakan mama, dua ikat sayur dalundung tumis terasi yang saya habiskan seorang diri. Bahkan ajaibnya, saya rindu sikap menyebalkan adik-adik saya.

Pernikahan juga mengajarkan, dengan tiba-tiba kita bisa begitu menyayangi orang yang dahulunya asing. Selalu ingin melihat dia tertawa. Selalu ingin memberikan yang terbaik padanya. Bangga berada di sisinya. Dan selalu suka menggenggam tangannya kemana pun kami pergi, tanpa alasan apa pun.

Juga mengajarkan, hal-hal sederhana bisa jadi istimewa. Jika sedang punya uang lebih kami akan pergi minum kopi, atau makan nasi goreng di tempat favorit, atau jika sedang mengalami sindrom akhir bulan kami hanya akan jalan-jalan berdua saja melihat sudut-sudut kota ini, menertawakan sisa uang di dompet yang tidak cukup untuk dua cangkir kopi, dan berakhir di sebuah warung sembako, membeli dua bungkus mie instan dan dua butir telur. Kemudian berdebat soal siapa yang harus menggoreng telur.

Ada banyak hal - banyak sekali hal baru yang kami alami dan rasanya tak sabar untuk terus mengalami hal baru setiap hari. Tak sabar untuk menjumpai pagi dan kemudian jatuh cinta lagi pada orang yang sama, berkali-kali. Tak sabar menanti keajaiban-keajaiban dari Allah hingga nanti. Hingga jika Allah memberi kami waktu berpuluh-puluh tahun untuk bersama. Hingga nanti tangan ini terlampau lemah untuk menggenggam tangannya dengan erat. Hingga nanti, hingga masa itu tiba, saya ingin terus merasa tak sabar menjumpai fajar.

Banyak semoga untuk itu semua. Dan lebih banyak lagi semoga untuk amanah yang tengah dinanti. Semoga kesabaran selalu menyertai. Semoga amanah spesial itu segera menghampiri. Semoga :)

Comments

Popular posts from this blog

Pierre Tendean (Lagi-lagi)

Saya dan Tahun 60-an

Antara Pierre Tendean dan Hiruk Pikuk Jalanan Di Depan Kantor