How I Met My Baby
Akhirnya punya kesempatan juga menuliskan peristiwa paling fenomenal dalam hidup saya :D
Nama saya Ayyub kakaak. Bukan Yusuf atau Ya'kub ^^ |
Setiap perempuan yang mengandung, terutama yang kandungannya memasuki trimester ke-3 pasti punya perasaan seperti ini : antara tidak sabaran dan takut.
Jujur, kadar takut saya sedikit lebih banyak dibanding kadar tidak sabaran melihat bayi saya. Bagaimana tidak takut kalau saya sudah baca dan lihat gambar yang tulisannya gini : tubuh manusia hanya dapat menahan rasa sakit hingga 45 del (unit), tapi pada saat melahirkan rasa sakit yang dirasakan oleh seorang ibu mencapai 57 del (unit) rasa sakit. Rasa sakit sebesar itu hampir setara dengan rasa nyeri yang ditimbulkan akibat patah tulang pada 20 titik dalam waktu bersamaan.
Nah, gimana coba itu rasa cenat cenutnya kalau 20 tulang patah bersamaan? Makanya menjelang HPL saya makin giat baca-baca artikel soal proses melahirkan, mulai dari pengalaman pertama melahirkan para ibu-ibu di blog mereka, grup facebook gentle birth, tips dan trik melahirkan untuk mengurangi rasa sakit...dan semua yang saya baca itu sirna ketika saya sudah terbaring di atas meja bersalin dengan pembukaan lengkap. Mbuh. Gimana mau mikir kalau perut saya sakitnya gitu amat.
Jadi saya datang ke klinik bersalin Dengan kondisi pecah ketuban. Err...sebenarnya itu asumsi saya sendiri karena ada air yang terus menerus mengalir keluar, lumayan banyak dan deras dari jalan persalinan. Semua para tetua (mama, mama mertua, nenek mbak) bilang kalau itu hanya kembar air, tidak usah buru-buru ke klinik. Lah, kok saya tidak pernah nemu istilah itu tiap saya baca artikel tentang proses melahirkan? Takutnya kembar air itu bukan istilah medis, tapi istilah tradisional, dan berhubung saya hidup di jaman dimana naik ojek saja bisa pake hape, saya memutuskan jadi sedikit keras kepala dan tetap mengajak suami ke klinik. Saya khawatir air ketuban saya habis dan terjadi apa-apa dengan janin saya.
Sampai di klinik, bidan langsung meriksa. Bener, katanya itu air ketuban. Saya diminta berbaring saja dan tidak boleh jalan karena setiap kali saya berdiri air ketuban langsung merembes keluar. Tapi masalahnya belum terjadi pembukaan. Akhirnya dokter menyuruh untuk diinduksi lewat cairan infus.
Bidan : dokternya bilang diinduksi saja ya Bu?
Saya : mengangguk iya iya aja.
Bidan : tapi sakitnya ditahan ya? Soalnya kalau diinduksi sakitnya dua kali lipat dari melahirkan normal.
Saya : heh??!!!!
Akhirnya diinduksi juga. Seumur-umur saya belum pernah pakai infus, jadi agak heboh sendiri waktu infus dipasang, takut gerakin tangan, takut jarum infusnya patah di dalam. Halah. Abaikan kekurangpengalaman saya dipakaikan infus.
Dan rasanya?
Rasanya langsung pingin cium kaki emak. Mamaaa....sakitnya subhanallah. Semua orang yang berdiri dekat saya jadi sasaran cubit dan remasan tangan saya. Semua adik saya yang datang saya suruh memijat punggung saya. Dan suami saya? Yah, di tipe suami tukang panik sampai tidak berani masuk ruang bersalin dan hanya mondar-mandir di depan ruang bersalin persis setrikaan ayam. Katanya waktu dia menunggu saya melahirkan, semua doa yang dia hafal sudah dia baca, semua ayat Alquran yang dia hafal sudah dia baca. Kayanya menunggui istri bersalin adalah waktu yang paling efektif untuk muroja'ah hafalan. Do'oh.
Singkatnya saya masuk klinik jam 3 sore, diinduksi, sakitnya mulai berasa sejak maghrib dan pembukaan lengkap jam 3 pagi. Dalam jangka waktu itu saya berusaha fokus, mengingat semua tips dan trik melahirkan, yang kemudian gagal. Kemudian mengkritik dekorasi ruang bersalin yang kaku sehingga membuat ibu-ibu yang mau melahirkan jadi tegang untuk mengalihkan pikiran, dan juga gagal. Hingga akhirnya saya pasrah dan cuma bisa inhale-exhale sebisa mungkin sambil menunggu pembukaan lengkap.
Begitu pembukaan lengkap, dua orang bidan datang. Tanpa dokter, karena dokter obsgyn cewek yang sudah saya pesan sedang sakit dan saya tidak mau ditangani dokter bapak-bapak. Dua bidan itu menyuruh saya untuk mendorong sekuat tenaga. Berkali-kali saya melakukannya tapi gagal terus hingga saya lelah, ngantuk, dan dikit-dikit tidur. Serius, saya tertidur. Dan setiap kali saya tertidur, bidan selalu membangunkan saya. Saya kesal, bidannya capek. Sudah selesai subuh tapi belum juga melahirkan. Last effort, saya mengerahkan seluruh tenaga untu mendorong karena kepala bayinya sudah kelihatan. Bidannya sampe teriak-teriak menyemangati. Ruang bersalin mendadak jadi kaya stadion sepakbola. Saya teriak, bidannya juga teriak. Bahkan bidan yang satunya sudah ikut manjat di atas tempat tidur dan membantu mendorong perut saya. Konon kata suami teriakan saya terdengar sampai di pinggir jalan tempat dia berdiri dengan galau karena stres saya belum melahirkan juga. Dan... Alhamdulillah... Ayyub lahir jam setengah enam pagi. Dua jam setengah nak. Ibukmu ini benar-benar payah. Tapi begitu dengar Ayyub nangis, rasanya pingin langsung bangun dan cium kaki emak yang saat itu menemani saya di ruang bersalin (suami tidak berani, red). Jadi begini ya perjuangan ibu kita melahirkan kita? Saya jadi bergidik kalau ingat dulu waktu kecil sering memaksa sambil merengek-rengek minta dibelikan sesuatu meski pun mama sudah bilang kalau beliau belum punya uang. Ternyata akoh pernah jadi Malin Kundang *crying*
Akhirul Kalam, untuk semua perempuan yang telah menjadi seorang ibu, kalian luar biasa!!!!!
Comments
Post a Comment