Suku


Papa saya Banggai-Tionghoa sementara mama saya Jawa-Bugis. Hal ini yang terkadang membuat saya bingung ketika ada yang bertanya apa suku saya. Jika saya menjawab saya orang Banggai, saya sama sekali tidak bisa berbahasa daerah Banggai, bahkan saya ke Banggai pun sangat jarang. Jika saya bilang saya orang Tionghoa, lebih-lebih tidak cocok lagi. Hubungan saya dengan negeri tirai bambu itu hanya sebatas pernah memakai HP Xiaomi, dan, err beberapa produk keluaran negeri itu seperti VCD yang merk-nya Sonya. You know, God created the world, the rest was Made in China. Bahasa Mandarin? Jangan tanya lagi. Saya tidak bisa sama sekali. Paling-paling hanya kedua mata sipit ini yang menjadi penanda kalau saya diserempet sedikit darah Tionghoa. Sayangnya mata sipit saya jadi bahan bully jaman SD. Sering dipanggil cipit. Hiks. Akoh sedyiih :(

Kalau saya bilang saya orang Jawa, pasti ada yang bilang 'jawa apanya, mata sipit gitu'. Jadi serba salah kan. Padahal meski tidak tau bicara Jawa, saya ngerti kalau ada orang yang ngomong Jawa ke saya. Dan semenjak saya bekerja di Perusahaan yang balai diklatnya di Surabaya saya jadi lebih sering ke Surabaya daripada ke Banggai. Tapi yang paling tidak mungkin kalau saya ngaku-ngaku orang Bugis. Karena... I have no idea where the Bugis' blood came from. Haha. Saya bahkan baru tau kalau tete (kakek) sebelah mama saya orang Bugis pas mama saya mau pergi ke arisan orang Bugis.

Jadi kalau ada yang bertanya saya suku atau orang apa, saya jawabnya sederhana. Saya orang Luwuk. Udah, tamat. Saya lebih merasa orang Luwuk karena saya lahir, tumbuh, kerja, bahkan menikah di sini.

Jadi rasanya miris ketika kemarin di kota mungil ini terjadi konflik antar suku, antara suku asli dan suku pendatang. Miris karena tidak seharusnya ada penggunaan istilah 'suku pendatang'. Karena darimana pun asalnya kita, ketika kita telah tumbuh bersama kota ini, maka bolehlah dengan bangga kita menyebut diri kita orang Luwuk. Tidak peduli apa suku kita, Banggai, Saluan, Balantak, Muna, Jawa, Gorontalo, dll. Tidak ada suku yang lebih superior daripada suku lainnya. Toh nenek moyang kita adalah pengembara. Hidup mereka nomaden. Jadi tidak pas saja penyebutan suku asli maupun suku pendatang disematkan pada orang-orang yang sudah berpuluh-puluh tahun menghabiskan hidupnya di sini.

Dimana kita tinggal, hidup, dan bertumbuh, di situlah tempat kita berasal. Karena tempat itulah yang membentuk kita menjadi seperti saat ini. Apa pun itu, tidak elok mengusir orang yang telah berpuluh tahun meneteskan keringat dan air matanya di sini. Tidak adil memusuhi orang yang tidak bersalah karena kesalahan orang lain yang sesuku dengan mereka. Jangan ikut-ikutan merusak kedamaian dan kerukunan di kota ini. Dan yang paling penting, ingat pesan Bang Haji Rhoma Irama : jauhi Mirasantika.

Simpong,
11 September 2017

Sumber gambar di sini

Comments

Popular posts from this blog

Pierre Tendean (Lagi-lagi)

Antara Pierre Tendean dan Hiruk Pikuk Jalanan Di Depan Kantor

Saya dan Soe Hok Gie