Sinestesia
Dia duduk di kursi paling pojok ruang tunggu penumpang, menghalangi hiruk pikuk bandara dengan headset yang menempel di kedua telinganya.
Aku menarik nafas panjang, mencoba bernafas dengan normal, hirup, hembus, hirup, hembus. Jantungku berdetak tiga kali lebih cepat dari biasanya dan aku seperti mendapat serangan panik melihat keberadaannya di sini. Empat tahun lebih tujuh bulan tidak pernah bersua, kenapa kami harus berada di gate yang sama?! Mau kemana dia?? Huh, semoga saja tempat duduknya tidak dekat denganku sehingga kami tidak harus saling menyapa. Ya Tuhan, ada seratus lima puluh kursi di dalam pesawat, buat dia duduk sejauh seratus kursi dari aku. Please...
Begitu pintu garbarata menuju pesawat dibuka, aku berlari seperti dikejar burung unta masuk ke dalam pesawat. Pokoknya aku harus cepat duduk di kursi pesawat kemudian menutup wajahku dengan buku atau topi atau apalah agar aku tidak terlihat olehnya. Untunglah aku mendapat tempat duduk di sisi jendela sehingga aku makin mudah untuk bersembunyi. Aku tidak sudi menyapanya, aku tidak sudi berbincang dengannya lagi. Aku tidak sudi melihat senyumannya.
Lima belas menit aku menunduk dengan topi yang melindungi wajahku, berpura-pura tertidur. Aku merasa seseorang telah duduk di sampingku, memasang sabuk pengaman dan mengambil koran yang terlipat di kantong kursi yang ada di depannya. Dia mulai membaca koran dan aku semakin aman tersembunyi.
Aku bernafas lega ketika pesawat akhirnya lepas landas dan lampu tanda sabuk pengaman telah dimatikan. Aku membuka topiku dan bersandar dengan santai di kursiku sambil memandangi pegunungan di bawah sana. Perlahan aku letakkan tanganku di dada. Debarnya mulai mereda meski tadi aku sempat kaget. Debar itu ternyata masih ada ketika aku melihatnya. Dan ajaibnya, sensasinya masih sama. Aku kaku, lidahku kelu. Yang aku lakukan hanya tertunduk berusaha menenangkannya. Melupakan ternyata bukan pekerjaan yang mudah.
Seorang pramugari berhenti dan menawarkan minuman kepada aku dan dua orang yang duduk di sisiku. Orang di sampingku yang sejak tadi membaca koran menurunkan korannya. Mendadak aku merasa seperti terkena serangan jantung. Aku mencengkeram baju di dada. Ada seratus empat puluh empat kursi di pesawat ini yang bisa dia duduki sehingga aku tidak terlihat, tapi kenapa harus di sampingku?
Dia juga sepertinya tampak salah tingkah ketika mendapatiku duduk di sampingnya. Suasana menjadi canggung karena untuk sesaat kami berdua hanya diam dan saling memandang.
"Hei" akhirnya aku membuka percakapan lebih dulu "mau kemana?" Dari mulutku keluar sebuah pertanyaan bodoh yang baru aku sadari sedetik kemudian. Ini pesawat, bukan angkot. Tentu saja hanya ada satu bandara tujuan. Tapi bisa saja hanya transit. Aku membela diri.
"Surabaya" jawabnya sambil mengambil gelas minuman dari tangan pramugari.
Untunglah aku sudah menelan jus apel ku, jika tidak bisa saja wajahnya sudah basah terkena semburan jus dari mulutku. Tujuan kami sama.
"Kamu?" Tanyanya
"Eh, Surabaya juga" suaraku sedikit bergetar. Aku benar-benar gugup. Perasaanku tidak karu-karuan. Aku benar-benar tidak seharusnya gugup dan salah tingkah di depannya. Ini tidak benar. Aku akan menikah. Dan dia, dia sudah menikah! Aku seharusnya tidak bertingkah seperti remaja tanggung yang sedang mengalami pubertas.
"Sendirian?" Selidiknya
"Iyap" aku mengangguk lemah.
"Kamu kan mau nikah bulan depan. Kenapa jalan-jalan sendirian?"
Dia tau! Dia tau!
Hatiku berteriak-teriak girang. Bagaimana dia tahu aku akan menikah? Apa dia masih peduli dengan kehidupan pribadiku? Masih?
"Bukan jalan-jalan. Urusan kantor Maliiihhh..."
Dia tertawa, aku refleks menutup mulutku. Aku memanggilnya Malih, panggilan kesukaanku padanya, dulu. Seharusnya aku tidak lagi memanggilnya begitu. Namanya Galih. Bukan Malih. Galih bukan lagi Malih. Mereka kini dua orang yang berbeda. Meski debarnya selalu terasa sama.
"Sudah lama sekali aku tidak mendengar nama itu" ucapnya. Kemudian dia mengatupkan mulutnya. Sepertinya dia ingin berbicara lebih banyak tapi memutuskan untuk diam saja. Kembali dia membuka koran di tangannya. Suasana canggung kembali berpendar mengelilingi kami berdua.
Aku mengetukkan jemari di permukaan jendela pesawat sambil memandangi awan yang berarak tipis. Dulu aku pernah bermimpi bepergian berdua saja dengannya. Kami akan mengunjungi banyak tempat, berdua saja. Kami akan terbang sejauh yang kami bisa, menghabiskan waktu dengan bepergian. Tapi semua mimpi-mimpi itu tidak sempat melayang tinggi, mereka menjadi layangan yang putus sebelum sempat membumbung di langit dan memamerkannya pada semua orang. Mimpi-mimpi itu terbang menghilang di balik awan yang berarak. Awan yang berarak itu kemudian menggumpal dan menjadi kelabu, sempurna menelan layangan yang telah sobek dicerai berai angin.
Berhentilah bersikap kaku, Matari! Rutukku dalam hati.
***
Aku terbangun. Sepertinya tadi aku hanya tertidur sebentar, tetapi rasanya sangat lama. Aku memimpikan kami. Seperti film yang diputar mundur, kenangan itu kembali satu-satu. Membuat aku ingat kembali alasan kami harus saling menjauh. Aku lelah, Galih. Bisikku dalam hati. Rasanya aku ingin menangis saja dan bersandar di bahunya sebentar.
"Kita akan landing di Ngurah Rai" Galih memberitahu.
Aku mengangguk lemah. Tapi... "Eh, kok Ngurah Rai? Bukannya pesawat ini tujuan Juanda? Perasaan kita tidak transit di Bali deh"
"Tadi waktu kamu tertidur, diumumin sama pilotnya. Bandara Juanda sedang ditutup, ada tabrakan pesawat di landasan pacu. Jadi dia memutuskan kita landing di Ngurah Rai saja. Ini lagi putar balik."
"What?" Aku berseru "malam ini aku sudah harus check in di hotel" aku mulai cemas "aduh, gimana nih? Gak bisa ya langsung ke Surabaya? Coba bilang pilotnya cek lagi ke menara ATC Juanda gitu" aku mulai tidak terkendali.
Dia tersenyum "Matari, lihat aku. Kamu harus tenang. Kamu itu dari dulu panikan ya. Aku pikir tambah tua sifat panikan kamu mulai hilang"
Tuing! Di saat seperti ini dia masih bisa bercanda dan bersikap tenang.
Beberapa menit kemudian pilot mengumumkan kalau sebentar lagi kami akan mendarat di bandara Ngurah Rai Denpasar.
Setelah keluar dari pesawat dan mengambil bagasi, aku langsung berlari menuju bagian informasi. Sambil menyeret koper, terengah-engah aku menghampiri perempuan bersanggul rapi yang berdiri di balik loket informasi.
"Mbak, bandara Juanda ditutup berapa lama?" Suaraku terputus-putus karena berusaha memenuhi oksigen ke dalam paru-paru setelah berlari mengarungi bandara.
"Menurut informasi terakhir, besok sore baru dibuka lagi bu"
"Jadi tidak ada penerbangan ke Surabaya malam ini?" Aku nyaris menjerit tapi masih bisa aku tahan.
Jangan panik...jangan panik Matari. All is well. All is well.
Aku mengulang-ulang mantera yang sama seperti dalam film sambil mengatur nafasku.
"Sayang sekali Bu, tidak ada" jawab perempuan itu tanpa nada penyesalan. Tentu saja dia tidak menyesal. Bukan urusannya aku terlambat atau tidak datang ke acara kantor.
"Tapi kalau mau ibu bisa naik feri ke Banyuwangi dan dari Banyuwangi ibu bisa naik mobil atau kereta api ke Surabaya" lanjutnya.
"Serius mbak? Berapa jam ya kira-kira saya sampai di Surabaya nanti?" Aku melihat secercah harapan dari jawaban mbak-mbak di depanku ini.
"Eh, sekitar 7-8 jam Bu, tergantung keadaan" jawabnya.
Aku tertunduk lunglai. Tenagaku sudah habis untuk mengarungi Bali-Jawa selama delapan jam. Aku hanya ingin duduk sebentar di dalam pesawat dan mendarat dengan cantik di Surabaya. Tanpa perlu ganti-ganti alat transportasi, tanpa perlu capek-capek menggeret koper raksasa di belakangku ini.
"Oh, iya mbak. Terima kasih infonya" jawabku lesu. Aku berbalik dan berjalan lunglai menjauhi loket informasi. Dan di depan sana aku melihat Galih yang sedang berdiri sambil menelepon. Dia menutup teleponnya ketika melihat aku berjalan pelan ke arahnya.
"Jadi?" Tanyanya
Aku menggeleng. Aku sungguh tidak tahu apa yang harus aku lakukan sekarang.
"Kamu benar-benar harus ke Surabaya malam ini ya?"
Aku mengangguk
"Tidak bisa apa ditunda sehari saja?"
Aku menggeleng
"Ya sudah, kita sama-sama naik feri saja dari Gilimanuk. Gimana?"
Aku tidak mengangguk, juga tidak menggeleng.
Galih berdecak gemas melihat tingkahku.
"Sini, pinjam teleponmu" dia menengadahkan tangannya.
Aku, entah kenapa, memberinya telepon genggamku begitu saja.
"Siapa nama panitia acara kantormu yang bisa dihubungi?"
Aku menyebut sebuah nama, masih terduduk lunglai di atas koperku.
Aku mendengar dia menelepon, menyebut namaku, menyebut namanya, memberitahu sesuatu, ini itu, bla bla bla, kemudian, klik, dia menutup telepon.
"Beres. Aku sudah menelepon ke Surabaya. Mereka juga sudah mendengar berita soal bandara yang ditutup. Kamu dapat dispensasi ikut acaranya lusa. Katanya tidak apa kamu absen sehari. Ini keadaan darurat" nada suara Galih tampak jumawa. Dia merasa baru saja menyelesaikan masalahku. Telepon genggamku dia kembalikan.
"Lalu kamu?"
"Aku? Aku juga besok baru ke Surabaya, sebentar" dia berjalan agak menjauh dan kembali menelepon seseorang yang entah siapa.
Tidak lama kemudian Galih kembali, "ayo, kita cari hotel atau penginapan."
"Tapi Galih" aku ragu.
Dia berhenti menarik koperku. "Ada apa lagi?"
"Aku tidak mau nginap sama kamu"
Galih menjitakku. Aku tertawa dan berlari menyusulnya yang telah lebih dulu keluar dari bandara.
***
"Mau kemana?" Tanyaku penuh curiga. Kami berdua bertemu di lobby hotel setelah satu jam yang lalu check in dan menuju kamar masing-masing. Galih tampak segar, dia telah berganti pakaian sementara aku masih mengenakan pakaian yang sama.
"Jalan-jalan. Mumpung lagi di Bali. Liburan singkat yang tak terduga. Kamu sendiri mau kemana?" Dia melihatku penuh selidik.
"Nyari makan" jawabku ketus kemudian melangkah keluar hotel.
"Mau makan apa?" Galih mensejajarkan langkahnya dengan langkahku "sea food? Fast food? Fine dining?"
"Cari tempat makan yang paling dekat saja sambil jalan kaki. Cari angin"
"Ntar masuk angin"
Aku tertawa, Galih juga ikut tertawa.
Kami berdua berjalan pelan bersisian sambil memandangi orang-orang yang lalu lalang juga klab-klab yang selalu penuh. Galih menunjuk sebuah klab malam, aku tahu dia hanya bercanda mengajakku makan di dalam klab yang bising, aku memelototinya. Kami terus berjalan melewati bagian belakang sebuah mall hingga memasuki kawasan pantai.
"Ayo" dia refleks menggenggam tanganku agar mengikutinya menyeberang jalan, dan aku refleks menepis tangannya. Kami berdua kembali canggung.
Kami memutuskan memasuki sebuah restoran di tepi jalan yang terlihat kalem dan tidak terdengar suara musik yang menghentak-hentak. Masih banyak meja yang kosong dan aku memilih meja yang berada di sisi jendela besar sehingga nampak pemandangan jalan di luar yang ramai dilalui pejalan kaki.
"Lama tidak bertemu" ucapku setelah kami berdua terdiam cukup lama dan pesanan makanan kami belum juga datang.
"Kamu yang menghindar" tuduhnya.
"Aku tidak menghindar, kamu saja yang terlalu tidak menyadari kehadiranku."
Dia tersenyum, sejumput kerutan hadir di kedua sisi matanya. Dia menua, aku juga. Beberapa waktu dari kami telah kami lalui tanpa kehadiran satu sama lain.
"Bagaimana kabarnya?" Aku berusaha terlihat biasa saja ketika bertanya kabar perempuan itu. Sungguh aku ingin menghindari segala sesuatu tentang perempuannya, tapi aku tidak bisa. Aku harus tahu bagaimana dia melewati tahun-tahun berikutnya tanpa aku, dan semua itu bisa terjawab jika aku bertanya tentang perempuannya.
"Baik" jawabnya "dia mulai jago memasak menu makanan laut. Lumayan. Kini aku bisa makan makanan laut kapan pun aku mau"
Galih adalah seorang penggila sea food. Dulu, jika dia ingin makan di luar, dia pasti akan menunggu aku di restoran sea food dekat kantornya.
"Kamu masih ingat? Saat pertandingan futsal, kamu menonton terlalu semangat dan terjatuh di tengah lapangan sehingga memaksa wasit menghentikan pertandingan?"
Aku tertawa. Mana mungkin aku lupa kejadian epic seperti itu. Aku terlalu bersemangat mendukungnya bermain hingga tergelincir masuk ke dalam lapangan.
"Sampai sekarang dia terus bertanya siapa teman perempuanku yang kupapah keluar lapangan waktu itu. Dan aku tidak bisa menjawabnya. Sulit menyebut namamu tanpa menghadirkan kenangan itu."
Tawaku padam mendengar kalimat terakhirnya.
"Kamu tidak ingin mengingatku?" Aku meringis, merasa sakit dengan pertanyaanku sendiri pada dirinya.
"Sebaliknya, karena aku terlalu mengingatmu, membuat semuanya menjadi lebih sulit. Matari Samudera, aku ingin bertanya padamu. Kenapa dulu kamu pergi?" Galih menatapku serius. Dia benar-benar serius. Pertanyaannya serius.
Aku tidak tahu harus menjawab apa. Makanan kami telah dihidangkan sejak beberapa menit yang lalu. Tapi kami belum menyentuhnya sama sekali. Aku menusuk-nusuk chicken steak milikku dengan garpu.
"Aku pergi karena kamu memilihnya"
"Aku memilihnya karena kamu pergi" Galih mengoreksi jawabanku.
"Kamu salah. Aku pergi karena kamu memilihnya"
Galih menggeleng, dia tampak marah "kamu pergi lebih dulu, sehingga aku memilihnya."
"Aku tidak pergi, aku tidak kemana-mana. Kenapa kamu beranggapan kalau aku pergi? Aku menunggu tapi kamu tidak datang. Kamu malah mendatangi orang lain, perempuan itu"
"Dia memintaku datang" Galih menjawab, kalem.
Aku mencengkeram sendok yang baru saja aku pegang, "jadi aku harus memohon padamu agar kamu mau datang? Begitu? Cinta seperti apa yang isinya hanya permohonan dan memelas?"
"Dia membutuhkan aku"
"Tapi dia memohon!"
"Kenapa tidak? Apa kau pikir setiap perempuan harus bersikap sama sepertimu? Apa setiap perempuan harus terlihat hebat? Apa kamu pikir dengan bersikap seolah tidak membutuhkan orang lain akan membuatmu lebih bahagia?"
Aku memandang Galih tidak percaya. Dia baru saja merendahkan diriku, dia menghina apa yang menjadi pilihan sikapku. "Jadi kau lebih suka dengan perempuan seperti itu?" Suaraku bergetar. Air mulai menggenang di pelupuk mataku. "Untunglah, semuanya tidak berjalan seperti keinginan kita. Aku tidak menyangka pada akhirnya aku akan mensyukuri semua ini." Aku menyeka sebutir air mata yang terlanjur mengalir di wajahku kemudian berdiri meninggalkannya yang masih duduk menunduk.
***
Dia ikut duduk di sampingku, di atas pasir pantai, dan bersandar dengan kedua tangannya di belakang punggungnya.
"Jangan menangis" ucapnya lirih "bertahun-tahun aku tidak pernah melihatmu menangis, kenapa sekarang kamu menangis?"
Aku memeluk lutut dan menyembunyikan wajahku di antara kedua tanganku. "Dulu" ucapku dengan suara parau "apa dulu kamu benar-benar menginginkan aku?"
Dia diam, entah apa yang sedang dipandangnya saat ini. Aku masih menunduk menyembunyikan wajahku.
"Dulu apa semua itu nyata? Aku pernah benar-benar ada di dirimu?"
Hening
Aku menggigil. Sesungguhnya aku benar-benar takut menanyakan hal itu. Aku takut mendengar jawaban darinya. Harusnya semua berakhir begitu saja. Harusnya aku tidak usah mengusik hal itu lagi.
Masih hening. Aku semakin takut.
"Aku" sahutnya. Kemudian jeda.
"Lebih dari sekadar itu" jawabnya pelan tapi penuh keyakinan.
Aku terhenyak. Rasanya aku ingin menangis lebih keras lagi atau bersandar di bahunya dan melupakan sejenak apa yang pernah terjadi dulu di antara kami. Aku ingin menjahit helai-helai memori itu menjadi satu dan menatanya rapih-rapih. Bagai berlembar-lembar foto, aku ingin melihat wajahnya yang tertawa di salah satu helaian itu. Tawanya yang dulu, yang hanya untukku. Meski pada akhirnya semakin terasa perih, semakin sakit. Sebahagia apa pun dia dulu, dan seindah apa pun helai kenangan itu, semua hanya dulu. Lampau yang jauh. Lampau yang sepi. Lampau yang akan perlahan dihapus waktu. Tapi aku tetap ingin, sebelum lampau itu benar-benar hilang. Sebelum aku lupa pernah menginginkan dia. Sebelum aku bahagia dengan orang selain dia.
"Boleh aku...?" Dia meminta izin. Tapi sebelum ada jawaban dariku, tanganku telah berada di dalam genggamannya. Jemarinya telah berada di sela-sela jemariku. Aku merasakan hangatnya, aku merasakan eratnya. Aku rindu dia. Sangat. Dan genggamannya belum pernah seerat seperti saat ini.
"Sebelum hari luar biasa ini berakhir, dan kita kembali ke kehidupan kita yang biasa. Ya, dulu aku benar-benar menginginkan kamu, sekarang pun jika masih bisa. Aku pernah menyesal kita harus berakhir seperti ini, aku pernah berharap kita bisa seperti semula. Dulu aku memimpikan banyak hal, semua tentang kamu. Sekarang, aku ingin kamu tidak membenciku. Sekarang, aku ingin kamu berbahagia. Dan sekarang, menikahlah tanpa rasa khawatir. Dan jika nanti kita punya kesempatan kedua, aku tidak ingin kalah lagi."
Aku melepaskan genggaman tangannya. Ini salah, tapi aku tidak bisa mengalah. Terlalu banyak ingin, terlalu banyak mimpi, dengan dia. Tapi apa pun itu, semua telah dan harus berhenti sampai di sini. Kami tidak bisa melanjutkannya. Dan kesempatan ke dua itu, jahat sekali jika aku menginginkannya.
"Satu pertanyaan terakhir saja" ucapku lirih "satu jawaban darimu, semoga bisa menyelesaikan semuanya. Semoga bisa membuat kita memaafkan masa lalu."
Dia mengangguk.
"Jika dulu aku juga memohon kedatanganmu, siapa yang akan kau datangi?" Sebuah pertanyaan jahat, tapi aku harus tau.
"Sebelum dia ada, aku telah memilihmu."
***
Kami berangkat ke Surabaya dengan maskapai yang berbeda. Kantor kami masing-masing membelikan tiket pesawat yang berbeda. Dia melambai padaku ketika aku berjalan meninggalkan loket check in dan masuk ke ruang tunggu sementara dirinya masih menunggu antrian untuk check-in.
Hati-hati. Hanya itu kalimat darinya yang sempat aku dengar. Selebihnya aku tidak ingin tahu. Ada banyak hal yang harus aku urus, pernikahan itu akan terjadi sebentar lagi. Dan ini bagian yang paling sulit, sekarang aku harus bahagia.
Comments
Post a Comment