Travel Together, Grow Together
“Saya mau ke Yogya. Sudah booking tiketnya, PP. Berangkat
dari Makassar pulangnya lewat Jakarta”
Nyatanya saya di Yogya tidak sampe 6 jam, itu pun lama di
staisun Tugu menunggu kereta yang akan membawa saya ke Bandung. Iss...benar-benar
mengecewakan!
Yogya itu semacam...hmm...apa ya?
Epidemi? Virus? *saya tau tidak nyambung*. Setelah dulu yang ada di kepala saya
hanya Bali, Bali dan Bali kini Yogya berhasil menggeser Bali yang berada di klasemen teratas tempat-tempat di
Indonesia yang sangat ingin saya kunjungi. Kenapa Yogya? Iya, kenapa Yogya? Saya
sendiri pun bingung kenapa Yogya yang harus saya jatuhi cinta kali ini. Kenapa bukan
Belitung? Kenapa bukan Papua? Kenapa bukan Bandung? Lantas kenapa Yogya?
Sometimes we don’t need any reason to fall in love.
Pokoknya mau ke Yogya. Mau ke
Borobudur dan melihat sunrise disana. Mau ngegembel di Yogya jalan kaki. Pokoknya
Yogya. Titik! *udah gitu aja*
Saya tidak mau menceritakan kisah
mengecewakan tentang Yogya kemarin. Ada beberapa kesalahan tekhnis yang sering
dialami para manusia-manusia impulsif seperti saya sehingga saya di Yogya hanya
‘mampir’ (bahkan mampir pun terdengar terlalu halus bahasanya) dan langsung
naik kereta api ke Bandung.
Alih-alih menghabiskan dua hari
di Yogya, saya malah menghabiskannya di Bandung. Dengan sangat terpaksa saya
menodong Sari untuk meninggalkan kuliahnya dan mengajak saya jalan-jalan ke
Lembang (sangat terpaksa loh ya. Saya cukup peduli dengan pendidikan)
Kami berdua naik motor ke Lembang
dengan rute Bosscha-Tangkuban Perahu. Berpetualang dengan sepeda motor
sebenarnya sangat tidak disarankan di cuaca yang tidak menentu seperti saat
itu. Awalnya dari Bandung sampai Lembang Sari yang bawa motornya. Tapi Sampai di
jalan masuk menanjak ke arah observatorium Bosscha, gantian saya yang bawa
motornya. Kata Sari dia tidak berani kalau bawa motor menanjak. Hihi. Tau saja
kalo di Luwuk isinya Cuma tanjakan.
Sampai di gerbang, ternyata hari
senin Bosscha tutup untuk perawatan. Tidak menerima kunjungan. Hiks. Meski sudah
dijelaskan kalau saya jauh-jauh dari Sulawesi Cuma untuk ingin masuk ke Bosscha
(padahal tidak) si bapak satpam teteap keukeuh dengan pendiriannya. Yasudahlayah.
Saya pulang dengan perasaan kecewa. Tapi di perjalanan pulang melewati sisi
Bosscha saya menakar-nakar siapa tau ada celah buat menyelinap masuk secara
ilegal. Ada sih, tapi tidak memungkinkan dilewati dengan kostum yang kami
pakai. Jadi kami langsung ke Tangkuban Perahu.
Jalan ke Tangkuban Perahu juga
menanjak dan berkelok-kelok. Motor Sari sampe ngos-ngosan waktu saya bawa. Masak
tanjakan yang tidak seberapa harus pake gigi 1. Belum lagi mesinnya yang sudah
panas. Sepanjang jalan kami tertawa-tawa karena motor Sari jalannya pelaaaan
meski sudah digas penuh. Dan itulah pertama kalinya saya bawa motor di luar
kota Luwuk. Nekat? Iya!
Ahya! Hari pertama di Bandung
kami ketemuan sama Nden dan Fadhil. Fadhil ternyata cerewet dan menggemaskan. Apalagi
kalo dia sudah ngomong pake bahasa Sunda yang tentu saja tidak saya mengerti. Suka
deh sama Fadhil, bikin jatuh sayang. Kami naik bus ke BIP untuk makan siang. Di
dalam bus yang penuh sesak itu, ada dua orang pengamen cilik yang bertengkar
gara-gara mereka mau nyanyi lagu masing-masing. Haha. Ada-ada saja anak-anak
jaman sekarang. Yang satunya sampe ngambek tidak mau ikutan nyanyi karena yang satunya
lagi memaksa menyanyi lagu pilihannya :D
Dua hari di Bandung dilanjutkan
menuju Jakarta. Sebenarnya saya paling tidak suka ke Jakarta dan jika disuruh
memilih kota yang ingin saya tinggali, maka Jakarta berada di daftar paling
akhir. Saya benci macet, crowded,
polusi, terlalu banyak orang dan semua hal yang hedonis yang ada di Jakarta. Tapi
mau gimana lagi? Indonesia Open-nya diadakan di Jakarta sik. Coba kaya
tahun-tahun sebelumnya yang pindah-pindah mulai dari Surabaya sampe Bali.
Yaa...semuanya hanya demi melihat
langsung Fu Haifeng untuk pertama sekaligus terakhir kalinya. Janji! Ini terakhir
kalinya saya nonton Indonesia Open dan memilih untuk mengalihkan budget
tersebut ke kota atau hal lain. Saya janji. Serius. Tolong dicatat ya!
Oke, hari pertama Fu Haifeng
belum tanding, jadi nontonnya masih biasa-biasa aja. Hari kedua dia tanding. Saya
sama Sita datang jam 1 siang tapi dia tandingnya jam 7 malam. benar-benar
perjuangan (yang sama sekali tiada gunanya) -___-“
Dan begitu namanya disebut, saya
langsung mencubit tangan Sita. Finally after
nine years...I can see him directly!
Oo...jadi itu dia ya? Oo...gitu
ya orangnya?
Udah, gitu aja reaksi saya. Iya sih,
agak-agak lebay pas di awal. Tapi setelah itu biasa saja. Memang ya kalau
sesuatu itu belum pernah kita dapatkan rasanya masih gimanaaa gitu. Tapi setelah
bisa ketemu langsung, tring, mendadak perasaan yang gimanaaa gitu jadi biasa
saja. Kau tidak akan pernah tau sampai kau menjalaninya kalo kata bapaknya Alif
di film Negeri 5 Menara.
Di jakarta sempat main ke kota
tua, naik sepeda onthel, keliling-keliling museum Fatahillah. Sama lebaynya
seperti pas ketemu Fu Haifeng, di kota tua setiap spot yang menunjukkan ‘ke-jadul-an’
pasti langsung saya foto. Ntah itu pintu kayu berat nan tinggi, ntah itu
jendela besar, ntah itu meja, kursi, lemari, tempat tidur. Pokoknya semuanya. Sepertinya
saya lebih terobsesi dengan masa lalu, sama terobsesinya dengan travelling dan
sama terobsesinya dengan Papua dan jadi guru relawan.
Untunglah saya hanya tiga hari di
Jakarta. Kalau tidak mungkin saya bisa stres. Sita balik ke Yogya naik kereta
api dari staisun senen dan saya balik ke Luwuk. Karena jadwal keretanya pagi,
setelah subuh kami sudah check out dari hotel. Untunglah ada teman yang berbaik
hati yang mau mengantarkan kami ke stasiun dan bandara meski dia sendiri tidak
hafal jalan dan ngantuk berat karena baru semalam tiba di Jakarta. Akibatnya,
yang seharusnya ke stasiun Pasar Senen, kami malah masuk ke pasar senen – literally -____-“
Kita wajib tau kapan harus
berhenti dan kapan harus terus berjalan kan? Ada hal-hal yang tidak bisa
dipaksakan meski kita ingin, meski kita berusaha keras untuk mendapatkannya. Dan
sekali lagi, saya harus belajar, jangan hanya melihat dari satu sisi saja, tapi
lihatlah dari banyak sisi.
Kembali saya harus mengangkat
koper saya sendiri setelah sebelumnya sempat ada yang nyaris membantu mengangkatkan
koper saya. Mungkin kopernya terlalu berat karena saya membawa terlalu banyak
hal. Tak apa, saya bisa menarik koper saya alih-alih mengangkatnya sendiri. Perempuan
memang selalu fleksibel. Pengangkat koper yang asli pasti sedang bersiap-siap
menunggu saya menyerahkan koper saya padanya dan kami berdua akan bepergian
bersama. A couple who travel together,
grow together. Yap, just the two of
us. Merantau bersama bukanlah ide yang buruk. Sekali-sekali saya juga ingin
mudik. Mungkin ke kampung halaman saya dan mungkin ke kampung halaman
pengangkat koper saya. Nanti... J
13.02 PM
Kamar, hujan sejak pagi
Comments
Post a Comment