Wanderlust : Forget Your Plans
Will you take a moment, just a little moment
It
wont take much of your plan
If destiny is waiting, tell her I’ll be walking
Cause I’m not playing the waiting game
If destiny is waiting, tell her I’ll be walking
Cause I’m not playing the waiting game
(Secret)
Sekali lagi rasa jenuh dan keingintahuan
membawa saya ke tempat yang sama, selalu, untuk memulai semua petualangan. Bandara
Sultan Hasanuddin Makassar, di sudut restoran, mengganjal rasa lapar dengan
makanan yang harganya sungguh tak bersahabat. Menjelang pukul 2 siang,
menjelang keberangkatan pesawat teman saya dari Gorontalo ke Makassar, dia
menelepon. Saya ketinggalan pesawat. Ucapnya
dari seberang. Tiba-tiba makanan yang tengah saya santap terasa hambar.
Ini pengalaman pertama saya mengalami
ketinggalan pesawat meskipun bukan saya sendiri yang mengalaminya. Tapi kami
sudah janjian untuk bertemu di Makassar sore ini dan berangkat bersama-sama ke
Surabaya. Sebagai budget traveler,
haram bagi kami untuk ketinggalan pesawat mengingat harga tiket pesawat di
bagian timur Indonesia sungguh tidak pernah mau bersahabat dengan kondisi
kantung. Ketinggalan pesawat sama artinya dengan kehilangan sehelai tiket
dengan harga selangit plus harus membeli tiket yang baru keesokan harinya
karena itu adalah penerbangan terakhir. Meski sempat deg-degan tapi saya
berusaha untuk tidak panik. Jadi apa rencana saya selanjutnya? Apa yang akan
saya lakukan seharian di Surabaya sendirian saja?
Saya termenung menatap itinerary yang sudah saya buat. Seharusnya malam ini kami sudah
naik mobil ke Probolinggo dan menjelang matahari terbit seharusnya kami sudah
berdiri manis di Penanjakan menanti sunrise
di Bromo. Jika ditotal, maka ini ketiga kalinya saya gagal melihat sunrise di puncak Penanjakan yang konon
katanya sangat cantik itu. Saya menyerah, memutuskan tidak akan lagi memaksakan
diri datang ke Bromo untuk melihat sunrise.
Siapa tau nanti takdir berkata lain, membawa saya kesana bersama seseorang yang
dengan sigap akan mengalungkan syalnya pada saya jika melihat saya mulai
kedinginan. Mungkin. Siapa tau?
If destiny is waiting, tell her I’ll be walking cause I’m not playing the waiting game.
Kereta melaju kencang membawa kami meninggalkan
Malang. Sengaja ke Jogja via Malang karena kami singgah dulu ke rumah mantan
ibu kost yang sekarang menetap di Malang. Bertemu Coco, anak laki-lakinya yang
lucu minta ampun dan jalan-jalan ke Batu. Dari jendela kereta, saya melayangkan
pandangan ke arah sawah, perkebunan tebu, petani yang sedang memanen padi, dan deretan
rumah-rumah beratap rendah di tepi rel kereta.
I travel the world to get to where you are
Strangers i met along the way
You forget Jakarta
Leaving all the lunacy behind
This time give me back my sanity
(Forget Jakarta)
Suara Adhitia Sofyan menemani saya menghabiskan
7 jam perjalanan di atas roda besi yang berputar cepat menuju Jogjakarta. Kota yang
sebenarnya tidak pernah ingin saya kunjungi sendirian saja, tidak ingin saya
nikmati sendirian saja. Tapi apa boleh buat, saya sudah terlalu sangat ingin
kesana sementara Tuan Pengangkat Koper belum datang juga. Jadi saya memutuskan
tetap kesana tanpa dia. Agar jika nanti dia datang, saya akan menceritakan
padanya tentang cantiknya kota itu kemudian mengajaknya kesana. Bukan ide yang
buruk kecuali saya tidak tau berapa lama waktu yang saya butuhkan untuk
kembali ke Jogja lagi nanti.
Lagu Forget
Jakarta mengalun. Saya memang tidak pernah suka dengan kota itu. Let’s forget
Jakarta. Our dreams don’t need that crowded town.
Jogja, kota ini terasa spesial bagi saya. Entah
karena warganya yang ramah, entah karena suasananya yang tourist friendly, entah karena saya jatuh cinta pada kota yang sama
dengan seseorang, atau entah karena kota ini adalah kota sejarah. Semua bercampur
aduk menjadi satu, melahirkan semangat untuk saya menjelajahinya. Jadi, kemana saya
akan memulai cerita kali ini?
Borobudur.
Memang tidak tepat mengatakan Borobudur berada
di Jogja mengingat letaknya yang ternyata masuk wilayah Jawa Tengah. Tapi Jogja
selalu identik dengan Borobudur, hal yang membuat saya memasukkan candi Budha
terbesar ini ke dalam daftar paling atas tempat yang harus saya kunjungi. Kami naik
bus trans jogja menuju terminal Jombor dan setelah sampai di terminal Jombor
kami naik bus lagi ke Borobudur selama sejam.
Kemegahan Borobudur sempat membius saya,
membuat saya tak bergerak selama beberapa detik ketika telah sampai di tingkat
yang ke tiga dan memandangi bukit berkabut di depan sana. Lagi-lagi candi yang
cantik ini mengumbar habis-habisan pesonanya, membuat saya sedikit menyesal
kenapa tidak menyewa seorang tour guide
agar dia bisa menjelaskan setiap sejarah yang terukir pada relief-relief di
dinding batunya.
Setelah mengelilingi seluruh area candi, kami
memutuskan untuk langsung kembali ke Jogja, menuju candi cantik lainnya,
Prambanan yang berada di (hampir) Klaten (wilayah candi masuk daerah Sleman
sementara pintu gerbangnya masuk daerah Klaten).
Turun lagi di terminal Jombor, kami langsung
naik trans jogja dan beberapa kali ganti bus sebelum akhirnya tiba di terminal
Prambanan. Dari terminal Prambanan kami naik lagi becak untuk masuk ke dalam
area candi. Ternyata kali ini kami belum begitu beruntung karena candi Siwa,
candi yang paling besar, sedang dalam perawatan sehingga tidak bisa masuk ke
dalamnya. Saya hanya masuk ke salah satu candi yang di dalamnya hanya ada
patung batu tinggi dan gelap minta ampun. Berbeda dengan Borobudur yang
merupakan candi Budha, Prambanan adalah candi Hindu. Jogja memang unik.
Malamnya kami ke Malioboro, wilayah sejuta umat
turis dan musisi jalanan. Makan di warung lesehan, berganti-ganti tanpa jeda
pengamen menghampiri (ini kapan makannya coba). Akhirnya kami nyerah, buru-buru
makan dan segera beranjak melihat-lihat suasana malioboro di malam hari.
But if you stay, I will stay
Even though the town’s not what it used to be
Perjalanan, apa yang menarik dari berjalan? Bukan,
bukan tentang destinasi yang kita inginkan, tapi apa yang kita lihat dan alami
selama perjalanan itu. Menyusuri Malioboro, menyaksikan penjual segala jenis
barang berderet-deret, mendengar tawar menawar antara calon pembeli dan
penjual, pengamen (maaf) tuna netra yang menggendong alat musik kotaknya
kemana-mana, para musisi jalanan yang berkumpul di pinggir jalan menabuh alat
musik, delman yang dihias berwarna-warni, orang-orang yang bercengkerama di
lesehan atau duduk melingkar beralas tikar menyeruput kopi hitam dan para
tukang becak yang menawarkan tur keliling malioboro. Saya tipe orang yang tidak
begitu menyukai keramaian. Tapi suasana Jogja malam ini menawarkan saya untuk mengobati
rasa rindu yang entah tentang apa.
If I could bottled the smell of the wet land after the rain
I’d make it a perfume and send it to your house
If one in a million stars suddenly will hit satellite
I’ll pick some pieces, they’ll be on your way
(After The Rain)
Mungkin sekarang saya sedang tidak berjalan ke
arahmu, entah karena nyasar atau entah karena tengah mendung dan membuyarkan
peta langit saya menujumu. Tapi saya memintamu dari Dia, berharap jika nanti
hujan menetes lagi, ada tangan kamu di sisi saya menggenggamnya erat,
memayungkan tanganmu yang lainnya ke atas kepala saya meskipun kamu tau itu
tidak akan berhasil membuat saya tidak basah. Ya, nanti, kita akan menikmati
hujan yang sama dan biarkan saya berteduh di bawah senyummu.
If somewhere down the line
We will never get to meet
I’ll always wait for you after the rain
Tour de Keraton. Hari kedua kami berkeliling
keraton, Taman Sari, masjid bawah tanah dan (hal yang sebenarnya paling malas
saya lakukan selama bepergian) belanja ke Bering harjo. Seorang bapak tukang
becak menawari tur mengunjungi lima tempat di sekitar keraton dengan biaya
20.000 rupiah. Kami setuju. Maka diangkutlah kami keliling daerah keraton yang
luas sambil bercerita tentang sejarah keraton juga tentang para abdi dalem
(beliau sendiri adalah seorang abdi dalem yang sedang off dan mencari
penghasilan sampingan sebagai tukang becak) yang menghuni rumah-rumah di dalam
area keraton tanpa sertifikat dan hanya berupa hak pakai saja dengan gaji 8.500
rupiah setiap bulan dan kenaikan pangkat (dan juga gaji) setiap beberapa tahun sekali. Yang unik
tentu saja tentang sejarah Taman Sari dimana raja selalu memilih salah seorang
istrinya setiap kali hendak mandi untuk menemani dia. Raja juga membangun jalan
bawah tanah untuk istri-istrinya yang takut bepergian dari keraton naik perahu
karena dulu keraton masih dikelilingi sungai. Raja yang amat menyayangi ‘istri-istrinya’.
Lewat di alun-alun kidul, bapak tukang becak
singgah. Dia menawarkan pada kami kalau ingin ‘masangin’. Masangin itu artinya
masuk di antara dua beringin. Jadi jalan kaki lurus saja dengan mata ditutup
melewati dua buah beringin kembar yang berdiri di tengah-tengah alun-alun
kidul. Kata bapaknya, jika berhasil melewati tengah beringin keinginan kita
akan terwujud. Saya tidak percaya mitos itu tentu saja, tapi saya ingin coba
karena penasaran apa sih susahnya berjalan lurus dari jarak beberapa puluh
meter menuju tengah beringin yang luas itu?
Dan percobaan pertama saya gagal. Saya malah
nyaris menabrak beringin. Percobaan kedua saya berhasil meskipun kata bapaknya
awalnya saya masih ragu-ragu melewati beringin itu. Disini saya hanya menarik
kesimpulan kecil kenapa banyak yang gagal melewatinya. Fokus pada tujuan awal
dan jangan pedulikan godaan yang hadir sepanjang jalan menuju tujuan itu. Mata saya
memang ditutup, tapi selama berjalan kadang saya seperti lupa letak tujuan awal
itu hingga tanpa sadar terus bergeser jauh. Seperti itulah manusia, dia tau apa
yang jadi tujuan awalnya, tapi selama perjalanan dia kadang lupa atau malah
tergoda untuk melakukan hal lain hingga dia gagal mencapai tujuannya. Tidak asing
bukan?
So let me remember the shape
of the evening
Cause when the day’s over who knows when I’ll see you again
Cause when the day’s over who knows when I’ll see you again
I do remember your name
We stayed at the carnival this time
(Carnival)
Well...one place is never enough for the
travelers.
Maka Solo menjadi kota selanjutnya agar
rangkaian tur dari keraton ke keraton kami menjadi lengkap. Keraton Yogyakarta,
Keraton Surakarta, dan Keraton Mangkunegara.
Sebatik-batiknya Jogja, lebih batik lagi Solo. Bahkan
nama busnya Batik Solo Trans. Penjaranya pun dilukis motif batik. Dari stasiun
Purwosari kami langsung naik BST ke keraton surakarta. Keratonnya kurang terawat sih menurut saya dan dilarang masuk area
keraton pakai sendal jepit tapi tidak apa-apa kalau pakai sepatu. Akhirnya teman
saya nyeker keliling bagian dalam keraton. Berbeda dengan keraton Yogyakarta
yang jawa banget, keraton surakarta berdiri patung-patung yang eropa banget.
Kemudian kami minggat ke masjid agung surakarta
karena sudah masuk waktu zhuhur. Di pendopo mesjid banyaaaak sekali orang yang
tidur-tiduran sambil dibelai angin sepoi-sepoi. Untunglah tempat wudhu
perempuan khusus berada di dalam masjid tidak bercampur dengan tempat wudhu
laki-laki. Bahkan tempat sholat perempuan pun berada di ruangan tersendiri yang
dihubungkan dengan sebuah pintu menuju tempat sholat jamaah laki-laki. Rasanya nyaman
saja sholat di tempat yang serba terpisah dan tertutup kaya gini.
Satu lagi keraton yang harus saya kunjungi di
Solo, Keraton Mangkunegara. Jadi Solo punya dua buah kerajaan hasil dari devide et impera VOC. Keraton surakarta
dipimpin oleh Paku Buwono sementara Mangkunegara dipimpin oleh raja bergelar
mangkunegara. Pecahnya kerajaan mataram menjadi kerajaan kecil-kecil seiprit
kaya ginilah yang membuat kita tiga setengah abad berada dalam pelukan
penjajah. Meskipun tidak bisa dipungkiri dalam tiga setengah abad itu kita juga
dikenalkan pada dunia modern. Baiklah, mari kita tutup buku sejarah ini dan
nikmatilah megahnya keraton yang bercampur gaya eropa.
Sayang kami datang ketika keraton sudah tutup. Mungkin
karena melihat wajah saya yang memelas sambil mendramatisir bilang ke bapak
penjaganya kalau saya jauh-jauh dari Sulawesi dan harus pulang malam ini, kami
diajak berkeliling di halaman depan keraton dan pendopo.
Every time you see the rain
I’m every drop that you feel
And anywhere the sun would shine
I’m every ray that you feel
(The Stalker)
Stasiun Purwosari, menanti kereta Prambanan
Express yang akan mengangkut kami kembali ke Jogja.
Ada perasaan aneh ketika menempuh perjalan
selama sejam kembali ke Jogja. Semacam perasaan senang akan pulang untuk
kemudian pergi lagi. Ya, malamnya kami harus langsung berangkat ke Jepara
karena besok pagi kami akan melanjutkan perjalanan ke Karimunjawa. Jam sebelas
malam kami check-out padahal masih ada jatah sarapan untuk besok pagi (fyi,
bubur ayam di hotel Adya Nalendra-nya enak pake banget). Dan sepanjang
perjalanan Jogja-Jepara saya tidak bisa tidur melihat kondisi jalan yang horor.
Bukan horor karena apa, tapi jalanannya padat dengan truk-truk kontainer
sementara bapak supirnya dengan santai menyetir dengan kecepatan tinggi,
menyelip-nyelip di antara truk-truk besar dari dua arah. Apa ini bisa dibilang
olahraga jantung? Memompa adrenalin? Yang jelas sampai di atas kapal saya
menyicil tidur saya yang terbuang semalaman.
Here today gone tomorrow
Washed away all my sorrow
There will be a time when I will come and find you again.
Washed away all my sorrow
There will be a time when I will come and find you again.
Leave the
light on your window
I just might try to follow
There will be a time when I will finally find you
But
midnight close my eyes I’m tired I’m fading
I am only human, Searching
Places I wont go where your name are written
We’re all only human, faking
(Midnight)
02/04/2014
13.13
Mendadak rindu Jogja
Comments
Post a Comment