Wanderlust : Quiet Down



I’ll fly away tomorrow
To far away
I’ll admit a cliché
Things won’t be the same without you

I’ll be looking at my window seeing Adelaide sky
Would you be kind enough to remember
I’ll be hearing my own foot steps under Adelaide sky
Would you be kind enough to remember me

(Adelaide Sky)

Singgah beberapa jam di Jepara tidak lantas membuat saya hanya diam menunggu kapal berangkat. Dengan menyewa becak, kami keliling Jepara di pagi hari ketika jalanan masih sangat sepi. Ketika orang-orang baru memulai aktivitas mereka. Jepara seperti kota kecil cantik kebanyakan. Mungkin saya akan betah jika suatu saat harus tinggal disini. Saya suka deretan pepohonan yang berjejer di sepanjang jalan. Saya juga suka ukiran-ukiran khas Jepara yang menghiasi sebagian besar rumah-rumah mewah di sini.


Tapi saya memang tidak pernah cocok dengan masakan Jawa. Saat sarapan saya memesan pindang daging yang menurut penjaga warungnya sama dengan rawon. Oke, penampilannya sudah persis mirip rawon. Tapi ketika dicicipi, saya meringis. Kuahnya manis sekali dan saya sulit menelannya tapi tetap saya paksakan diri untuk makan. Rugi, sudah dipesan. Selesai makan, saya minta bapak tukang becaknya mengantar kami ke museum Kartini yang sayangnya masih tutup. Saya hanya bisa mengambil foto dari luar pagar padahal sebenarnya saya ingin sekali masuk ke dalam. Ibu Kartini gitu loh. Habis gelap terbitlah terang. Pejuang kaumnya.

Then I noticed the sign on your back
It boldly says try to walk away
I go on pretending I’ll be ok
This morning it hits me hard that

(Blue Sky Collapse)

Setelah dua jam tertidur pulas di atas kapal Ekspress Bahari, kami tiba di pelabuhan Karimunjawa. Pelabuhan dimana saya tidak bisa menemukan buruh yang bisa mengangkat koper kami. Bayangkanlah dua orang cewek manis lemah lembut mengangkat koper besar plus satu tas turun dari atas kapal, menyeret-nyeret dan mengangkat sebisanya sampai ada yang iba dan membantu menurunkan koper dari atas kapal. Matahari Karimunjawa langsung menyengat, pertanda kami tidak datang di waktu yang salah.

Begitu tiba di hotel, demi melihat AC, saya langsung blingsatan nyari remote AC. Tekan-tekan, guncang-guncang remote-nya, AC tetap saja tidak mau nyala. Kami berasumsi ada yang salah dengan sekring listrik dan keluar untuk mengecek. Ternyata begitu kami keluar dan mengutak-atik sekring listrik, bapak-bapak yang lagi duduk-duduk di luar hotel tertawa melihat tingkah kami. Mbak, listriknya mati. Di sini listrik cuma nyala dari jam 6 sore sampe jam 12 malam. Tapi kalo di hotel ini listriknya nyala sampe jam 6 pagi.

Jrengg...

Selama saya googling tentang Karimunjawa tidak pernah saya menemukan info sedikit pun soal listrik ini, atau mungkin saya melewatkannya? Yang jelas ternyata masih ada pulau yang lebih parah dari pulau-pulau kecil di kabupaten Bangkep sana. Padahal tujuan wisata nasional loh.

Untunglah jadwal tour yang padat membuat kami lupa soal listrik itu karena sejak pagi sampai menjelang maghrib kami akan snorkeling, main di pantai, pergi ke pulau terpencil dan snorkeling lagi. Jadi okelah.

Hari pertama saya tidak ikut snorkeling karena sisa baju saya yang masih bisa dipakai tinggal beberapa potong saja. Akhirnya hari kedua baru saya puas-puaskan diri nyebur ke dalam laut dan berenang di atas terumbu karang sambil pegang-pegang ikan yang mendekat. Kalau capek berenang saya tinggal mengapung menghadapkan wajah ke langit sambil sesekali menutup wajah dengan tangan karena takut gosong. Yah..gini-gini saya juga cewek yang tidak suka terlihat gosong pulang liburan nanti. Iyain aja deh.

Yang lucu tentu saja melihat anggota tour lain yang tidak bisa berenang tapi penasaran ingin nyebur dan melihat terumbu karang. Terpaksa mereka digeret sama bapak-bapak pemandunya naik ke atas karang yang menonjol di tengah laut biar bisa melihat terumbu karang sambil berdiri. Giliran mau balik ke kapal malah saya yang dimintai tolong bawa mereka balik. Padahal saya masih amatir soal renang berenang. Cuma karena pake life jacket makanya saya berani keliling-keliling kesana kemari di perairan dalam. Bisa sih berenang, tapi kalo sudah terlalu dalam kadang jadi panik, pikiran jadi blank, lupa caranya berenang dan ujung-ujungnya pasti tenggelam persis batu arca yang dilempar ke dalam laut.

But every time I try to catch you I stumble and I fall
How do I begin to finish this never ending fairy tale
I need to get back to reality

(Reality)

Kali ini lautan memeluk saya dengan kedalamannya dan saya tidak takut lagi. Tidak ada kepanikan, hanya perasaan hambar, tiba-tiba pulang tidak menjadi destinasi saya lagi. Saya ingin terus menerus berjalan hingga lelah menghampiri dan saya berhenti. Bukankah perjalanan selalu memberi kekuatan baru untuk terus berjalan?
Rumah...saya hanya belum menemukannya sekarang.

So tell me I’m trying to define
The meaning of unconditional love
When it puts you faced down on the ground
You’re out there sailing away

And maybe a deadly storm will come and catch you
Lightning thunder will strike you
It hits your head so hard you’ll come to me

(Deadly Storm Lightning Thunder)

Menjelang sore, kapal kembali bergerak menuju dermaga Karimunjawa. Di atas kapal, bola merah saga besar perlahan turun menuju peraduannya. Pemandangan magis lainnya ketika menyaksikan bola merah itu beranjak pergi sedikit demi sedikit dari tengah lautan. Saya membiarkan kedua kaki saya bergelantungan di tepi kapal dan menerpa lautan. Sempat melihat seekor hiu melintas (yang untunglah saya melihatnya setelah semua rangkaian tour spot snorkeling selesai), sambil sesekali memotret matahari yang nyaris terbenam. Rasa lelah seharian tidak terasa lagi ketika saya duduk bersandar di tiang kapal dan memanjakan mata saya dengan birunya laut yang mulai kehitaman menjelang malam.

Sampai di dermaga, kami berdua berlarian balik ke hotel demi mengejar sisa-sisa sunset di dermaga pribadi di belakang hotel. Sayang kami telat, saling menyalahkan kenapa jalannya lelet, kenapa bbman sambil jalan dan sederet kenapa-kenapa lainnya. Kami hanya menemukan sisa-sisa semburat oranye di kaki langit, bukan lagi semburat merah saga yang memenuhi langit seperti beberapa menit sebelumnya. Tidak mengapa meskipun rasa hambar itu tetap tidak hilang sejak kemarin.


I stand up high in the pouring rain
Have flashing thunder on my head
But I still won’t live Without Your Love

Everybody can laugh at my face
Till their jaws touched the ground
I will be counting the days till I can run to you
Rainfall will through and my work here is done
And I’ll come home to you

(W.Y.L)

Kapal Bahari Ekspress kembali mengantar kami ke Jepara. Karena perubahan jadwal kapal, terpaksa kami langsung ke Semarang untuk mengejar bus ke Surabaya. Beginilah akibatnya kalo jalan tapi buta peta. Seharusnya kami turun saja di Kudus dan langsung naik bus dari sana. Yang ada kami malah ke Semarang dulu, naik bus yang akan berangkat sepuluh menit lagi. Bus ekonomi dengan kondisi isi dan luarnya terasa horor. Saya baru sadar kedodolan ini setelah bus tujuan Surabaya yang kami tumpangi kembali melewati Demak dan Kudus. Maka sia-sialah dua jam perjalanan Kudus – Semarang – Kudus.

Well, oleh-oleh traveling saya kali ini adalah jidat yang benjol gara-gara terantuk di jendela bus berkali-kali, jantung yang lebih sehat karena dua kali olahraga jantung dalam perjalanan Jogja-Jepara dan Semarang-Surabaya, wajah dan tangan yang eksotis kecoklatan beserta empat butir jerawat yang sakit luar biasa. Ditambah tidak tidur semalaman karena begitu sampai di Surabaya jam 10 malam, jam 3 pagi sudah harus pergi ke bandara. Untunglah ketika saya ketiduran di atas pesawat, kepala saya nyender ke penumpang cewek di sebelah kiri saya, bukan penumpang bapak-bapak di sebelah kanan saya. Legaa...meskipun si cewek sepertinya agak terganggu dengan saya. Maap ya mbak, skali-skali kok saya kaya gini.

Cause you don’t even have to try
You’re already my number one
I don’t need the mellow tunes
And all the lines you’ve wasted over me

I don’t mind if time goes too soon
We’ll stay up all night an make it slower
And when the morning comes between us
We’ll just get ready to start it over

(Number One)

19.01
02/04/2014
Pemulihan diri setelah liburan

Comments

Popular posts from this blog

Pierre Tendean (Lagi-lagi)

Saya dan Tahun 60-an

Antara Pierre Tendean dan Hiruk Pikuk Jalanan Di Depan Kantor