Autumn


Sepatu boot-ku menjejak setapak demi setapak jalanan yang telah diselimuti oleh dedaunan berwarna oranye kemerahan ini. Musim gugur ternyata tiba lebih awal daripada prediksi seluruh pembawa acara ramalan cuaca di televisi. Dan kali ini angin musim gugur jauh lebih mampu menghadirkan gigil daripada tahun-tahun sebelumnya.

Sudah berapa tahun? Tanyaku dalam hati, tersenyum, kemudian senyum itu terasa sakit. Sudah berapa tahun aku mengenalnya? Apakah usia perkenalan kami jauh lebih tua daripada mantel yang aku kenakan? Mantel yang kubeli di hari pertama aku menginjakkan kaki di Tokyo. Sudah berapa tahun sejak aku tidak ingin beranjak dari sisinya sedikit pun?


"Tidak perlu ada komitmen, tidak perlu ada tuntutan seperti layaknya orang kebanyakan" ucapnya saat itu dan bodohnya, aku mengangguk. Sebuah anggukan yang makin mengukuhkan betapa dangkalnya pemikiranku dulu. Setidaknya itu yang ada di pikiran orang-orang yang peduli padaku.

Beberapa pelajar yang bersepeda lalu lalang di jalan ini, menerbangkan helai-helai daun yang berjatuhan. Tokyo dan musim gugur adalah kombinasi terbaik untuk menghabiskan sore dengan berjalan-jalan atau bersepeda di taman, seperti yang aku lakukan sekarang.

"Kenapa kau tidak meninggalkan aku saja?" tanyanya di hari yang lain. Aku menggenggam tangannya erat, sangat erat. Aku takut dia berlari saat itu juga dan meninggalkan aku.

Aku menggeleng. "Aku tidak ingin" jawabku "aku tidak bisa. Aku tidak mau. Aku tidak suka."

Dia tersenyum, menepuk punggung tanganku "kau tau kan? Kau tidak bisa berharap apa-apa dariku."

"Aku tidak peduli" kataku, memeluk lengannya.

"Gadis bodoh" dia tertawa kemudian mengacak rambutku.

"Aku tidak peduli mereka menyebut aku bodoh. Siapa sih yang bisa cerdas dengan perasaan mereka? Kalau bisa, aku yakin Marc Anthony tidak akan jatuh cinta pada Cleopatra.”

Kembali dia tertawa “kau selalu mengatakan hal-hal yang tidak aku pahami, Nala...”

“Kamu memang tidak perlu memahaminya, cukup berada di sampingku dan melihatmu tertawa seperti ini, aku tidak peduli dengan yang lain.”

Dia menepuk bahuku kemudian mengangguk “meski begitu, kamu selalu spesial bagiku Nala. Tetaplah menjadi spesial jika nanti aku tidak ada di sampingmu.”

Dan itu memang menjadi ketakutan terbesarku saat ini.

***

Aku terus saja berjalan menyusuri jalanan berselimut daun hingga melihat dia melambai ke arahku dari sebuah kursi taman. Aku balas melambai dan berjalan ke arahnya. Seperti yang sering aku lakukan, dulu.

“Bagaimana kabarmu?” tanyanya seraya menyerahkan kotak makanan berisi onigiri kepadaku. Aku mengambil sebuah dan menggigitnya.

“Baik” jawabku “onigirinya enak. Putri yang membuatnya?”

Dia mengangguk, senyum di wajahnya sedikit memudar.

“Dimana mereka? Maksudku Putri dan Bara.”

Tangannya mengarah ke ayunan yang letaknya tidak jauh dari tempat kami duduk. Di sana tampak Putri yang tampak anggun dengan gaun panjangnya tengah mendorong ayunan yang sedang diduduki anak laki-laki mereka, Bara. Aku melambai ke arah Putri dan perempuan itu balas melambai ke arahku.

“Kalian baik-baik saja?” tanyaku, kembali mencomot sebuah onigiri.

Dia tersenyum, kemudian mengangguk. “Kami baik-baik saja.”

“Oh, ayolah. Jangan tersenyum seperti itu kepadaku. Kau tau, gara-gara senyum itu dulu aku sulit sekali jauh-jauh darimu.” Aku tertawa, dia juga ikut tertawa. Tapi setelah itu tawa di wajah kami lenyap, berganti keheningan panjang yang membuatku sesak. Kami sama-sama memandangi Putri dan Bara, dua orang yang seharusnya paling tersakiti tanpa mereka tau akulah penyebabnya.

“Bagaimana kabarmu?” dia bertanya.

“Kau sudah menanyakannya tadi...”

“Bukan itu maksudku” potongnya “aku benar-benar ingin tau bagaimana kabarmu sekarang? Bukan sekadar jawaban basa-basi kalau kau baik-baik saja. aku tidak melihat itu di matamu, Nala. Kau tidak sedang baik-baik saja.”

Aku menunduk, menyembunyikan mataku dari pandangannya. “Aku benar-benar baik” jawabku, tetapi suaraku terdengar bergetar menahan gemuruh. “Bagaimana dengan kesehatanmu? Kau masih sering terkena flu setiap musim semi? Jangan bilang kau juga sering lupa dengan jaketmu di loker ruang lab?” aku mengalihkan pembicaraan.

“Kau masih ingat kalau aku sering lupa dengan jaketku di loker”

Aku tertawa “tentu saja aku ingat. Kau pikir aku bisa lupa ketika kau nyaris mati beku gara-gara hal itu? berlari tunggang langgang bersembunyi dari rasa dingin di asrama perempuan. Padahal saat itu musim semi...”

“Dan keesokan harinya aku diserang flu” lanjutnya, tertawa.

“Dan sejak saat itu kau selalu secara misterius diserang flu pada awal musim semi.”

Kembali keheningan menyelimuti kami setelah percakapan dan tawa yang singkat itu.

“Nala, boleh aku bertanya sesuatu?”

“Hmmm...?”

“Dulu...apa dulu kau benar-benar menyukaiku? Maksudku, aku tau dulu kita dekat, terlalu dekat malah. Kau tidak peduli aku punya Putri, semua orang menyebutmu bodoh, kau bahkan tidak peduli ketika aku bilang padamu jangan pernah berharap apa-apa dariku. Kita dekat tanpa perlu ada komitmen dan tuntutan apa pun. Semua itu, kamu tau kan, tidak adil buatmu...”

Aku mengangkat bahu “entahlah. Mungkin memang aku bodoh, dan terlalu sombong untuk mengakui kalau aku memang bodoh. Tapi aku tidak lupa kalau aku pernah bilang, tidak ada orang yang bisa cerdas dengan perasaannya sendiri kan?”

Dia tersenyum, lagi. Kenapa dia begitu banyak tersenyum sore ini? Aku berharap tiba-tiba musim gugur ini berganti menjadi musim semi hingga dia diserang flu dan tidak mampu tersenyum kepadaku.

“Aku tidak benar-benar menyukaimu dulu...” kataku “tapi aku, sepertinya aku mencintaimu. Dan ketika aku sadar aku mencintaimu, aku memutuskan untuk pergi...”

Dia menarik nafas panjang. “Jadi itu alasanmu pergi dulu?”

Kali ini giliranku yang tersenyum, terpaksa. Menjadi orang yang meninggalkan seharusnya tidak perlu sesakit ini kan? Meski apa yang aku lakukan dulu telah melewati empat kali musim gugur.

“Apa aku juga boleh bertanya?”

Dia mengangguk mempersilahkan.

“Dulu...apa pernah, meski hanya sedikit, kamu menyukaiku?”

Dia memandang ke arah Putri dan Bara yang masih asyik bermain ayunan. Aku meremas jemariku, mengumpulkan segenap keberanian untuk mendengar apa jawabannya. Jawaban yang mungkin akan menuntaskan seluruh perasaanku hingga lunas tanpa bekas.

“Aku tidak bisa menganggap Putri tidak ada Nala”

“Aku tahu...” jawabku, bergumam.

“Tapi aku juga tidak bisa menganggap kau tidak ada. Mungkin beberapa pria memang harus mencintai dua perempuan pada waktu yang sama. Beberapa lainnya memutuskan untuk menganggap salah satu dari mereka tidak nyata" dia berhenti sejenak, "jika dulu aku tidak mencintaimu, mungkin aku tidak pernah akan membiarkan kamu pergi. Tapi aku membiarkan kamu pergi, Nala. Karena kamu terlalu berharga. Cintaku hanya akan membuatmu sia-sia. Kamu akan jauh lebih baik, tapi tidak akan pernah jika tetap denganku...”

Hangat. Aku merasa hangat. Entah karena jawabannya, atau karena butiran hangat yang baru saja mengalir di pipiku. “Kau bodoh” kataku, kemudian tertawa sambil menghapus air mata di wajahku. “Aku pikir dulu hanya aku yang bodoh. Ternyata kau juga bodoh!”

Dia ikut tertawa “iya, kita memang bodoh dengan cara kita masing-masing.” Tangannya dia lambaikan kepada Putri dan Bara “dan mencintai dengan cara kita masing-masing.”

Aku mengangguk, ikut melambai ke arah Putri dan Bara. Ternyata perasaan ini memang tidak akan pernah lunas, dan memang tidak ada yang perlu dilunasi. Dia adalah jalan, yang meski tidak aku sukai, harus aku lewati. Sekaligus jalan, yang meski tidak ingin aku tinggalkan, harus aku lalui. Begitu seharusnya hidup kan?


19.43

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

Pierre Tendean (Lagi-lagi)

Antara Pierre Tendean dan Hiruk Pikuk Jalanan Di Depan Kantor

Saya dan Tahun 60-an