Matryoshka (Bag. 2)


Moskow, penghujung musim dingin
Aku menangis.
Seharusnya aku menangis.
Tapi tidak di hadapan ‘wanita penting’ yang kini berdiri di depanku. Aku yang mengundangnya kemari, di depan Kathedral st. Basil. Sudah saatnya aku mengalah dan membuang sifat egoisku. Mrs. Petrovsky memang benar, jangan menghancurkan kebahagiaan wanita lain seperti sahabatnya sendiri yang menghancurkan kebahagiaannya. Tapi keputusanku ini bukan karena kisah Mrs. Petrovsky, bukan juga karena aku merasa bersalah atau karena aku tak ingin mengkhianati wanita yang belum sepenuhnya aku kenal ini. Juga bukan karena aku tak membutuhkan Pak Tegar lagi, karena ternyata saat aku mengambil keputusan ini justru rasa butuh itu semakin besar dan nyaris membuatku mengurungkan niatku untuk menyelesaikan semuanya sebelum aku kembali ke Indonesia. Semua itu lebih karena aku menyerah, aku putus asa. Aku tak punya energi lagi untuk mempertahankannya, aku lelah dan ingin berhenti saja.
Meskipun keberanianku sudah aku kumpulkan sejak seminggu yang lalu, tetap saja ada rasa gentar ketika berhadapan langsung dengan ‘wanita penting’ ini. Aura keibuan benar-benar nampak dari seluruh tubuhnya yang terbalut mantel tebal mahal. Sebenarnya dengan penampilan seperti itu dia bisa saja bersikap angkuh di depanku – seperti bangsawan dan rakyat jelata – tapi alih-alih bersikap kaku, dia malah tersenyum ramah kepadaku, persis Pak Tegar ketika kami baru pertama kali bertemu setahun yang lalu.
“Resa ya? Tegar sering cerita tentang kamu loh” sapanya begitu melihatku sedang berdiri menunggunya di depan Kathedral. Kupandangi dia sejenak untuk memastikan apa benar dia Maiza, wanita yang dinikahi Pak Tegar 15 tahun yang lalu dan yang telah memberinya tiga orang anak. Seorang dokter gigi yang lebih memilih mengurus rumah tangga alih-alih bekerja di rumah sakit besar atau membuka klinik gigi sendiri.
Aku iri pada wanita di hadapanku ini.
Dia punya segalanya, termasuk Pak Tegar. Lebih dari semua yang dia miliki, aku lebih iri pada kenyataan bahwa ternyata Pak Tegar adalah miliknya.
“Iya, aku Resa” sahutku pelan. “Bagaimana perjalanannya kemari?” tanyaku sedikit berbasa-basi.
“Melelahkan” jawabnya sembari tertawa. Cantik. “Tapi demi Tegar aku rela jauh-jauh kesini. Kangen juga loh, Res. Dua tahun aku belum ketemu dia. Jadi mumpung anak-anak lagi libur sekolah, dan kakek mereka mau berbaik hati mengajak kami ke sini, jadi yah... begitulah”.
Aku berusaha mengulum senyum, “Oh, dengan ayah Tegar juga ya kemari?”
Maiza mengangguk “Iya, ayah penasaran sama suasana Moskow yang sering diceritain Tegar. Katanya ayah penasaran sama tempat-tempat wisata di Rusia, sekalian mau tengok kondisi Tegar. Ayah juga penasaran Tegar bisa bertahan hidup dua tahun tanpa aku” jawabnya sembari tertawa.
Dadaku sakit mendengarnya.
“Tegar cerita, katanya kamu sudah selesai kuliah ya? Wah, selamat ya, Sa! Kamu bisa bertahan kuliah di Rusia sampai selesai” kata Maiza tulus dan langsung merangkulku. Aku jadi bertambah tak enak hati dengan sikap Maiza yang cepat akrab.
“Eh... ada hal penting yang i-ingin ak-u sampaikan...” kataku sedikit gugup – pada akhirnya. Mata bulat Maiza tampak heran. Tentu saja dia akan heran, aku yang baru kenal beberapa menit dengannya tiba-tiba ingin menyampaikan hal penting.
“Ohya? Apa itu Sa?”
Aku menarik nafas panjang, menyiapkan mentalku untuk menerima apapun reaksi Maiza. Serta merta kupeluk dia erat dan membisikkan kalimat yang sudah kusiapkan sejak seminggu lalu di telinganya. “A..aku mencintai Pak Tegar, ah, bukan. Maksudku aku membutuhkan Pak Tegar, sama sepertimu membutuhkannya. Kami berdua sama-sama saling membutuhkan...”
Tubuh Maiza terasa kaku dalam pelukanku. Dia mendorong tubuhku yang sedang memeluknya dengan keras. Membuatku terdorong cukup jauh nyaris terjatuh. Wajahnya yang ceria tiba-tiba berubah menjadi tegas dan keras. Matanya berkilat dan menatapku penuh kebencian, meskipun aku sangat yakin di balik pandangan yang penuh kebencian itu nampak samar-samar sebuah sinar mata kehancuran.
“Sudah aku duga...” gumamnya lebih kepada diri sendiri. Pandangan matanya berubah menjadi pandangan mata yang bingung dan berkaca-kaca. Dia tak lagi menatapku melainkan membuang pandangannya ke kathedral St. Basil yang berdiri kokoh di samping kami. “Sudah aku duga...” ulangnya lagi “Selalu kamu. Tegar selalu cerita tentang kamu. Resa lagi sakit, Resa mau ujian, Resa mau wisuda. Kamu, kamu, dan kamu!” bentaknya.
Aku hanya bisa diam menunduk, menggigit bibir mencoba menahan air mata.
Mata Maiza telah basah, dia menggeleng-geleng berkali-kali seolah masih tak percaya dengan pengakuanku. “Kenapa kamu tega?” desisnya “kau tahu kan Tegar sudah memiliki aku? Kenapa kau masih memaksa untuk masuk di kehidupannya? Dimana harga dirimu hah?”
“Aku...” sahutku lemah.
“Setiap kali kutelepon Tegar, dia hanya asyik bercerita tentang kamu” ucap Maiza, dengan setiap kata yang dia ucapkan disertai denyutan nadi di dahinya.
“Karena itu aku ingin minta maaf!” seruku setengah berteriak. Aku tak peduli orang-orang yang lalu lalang di dekat kami memandang kami dengan heran. Toh mereka juga tak mengerti dengan bahasa Indonesia. “Aku tahu aku salah, Za! Aku mau merendahkan diriku untuk mengakui semuanya kepadamu agar kau tahu betapa menyesalnya aku.”
“Tapi kenapa harus Tegar??!!!”
“Andai aku punya pilihan lain...”
“Kau punya! Setiap orang punya pilihan! Kau bisa memilih untuk tidak memilih. Kau egois Sa! Kau juga wanita sama sepertiku. Harusnya kau paham bagaimana perasaanku”. Air mata Maiza telah membanjiri wajahnya.
Kalau saja dia tahu aku telah seminggu ini menangis tanpa henti, kalau saja dia tahu aku jauh lebih sakit karena sampai kapanpun aku tak akan bisa memiliki suaminya.
“Aku minta maaf, Za...” kataku lemah, hanya sebutir air bening yang mengalir di pipiku.
“Lalu untuk apa kau mengakui semua ini kepadaku?” bentak Maiza lagi, lebih marah dari sebelumnya. Nadi di dahinya kini nampak lebih jelas.
Aku tak menjawab, sibuk dengan rasa sakitku sendiri.
“Apa kau pikir dengan mengakui semuanya aku akan meninggalkan Tegar untukmu?” Maiza tertawa sinis “aku tak akan pernah meninggalkan Tegar, sebesar apapun kesalahan yang telah dia buat kepadaku. Aku tak akan membiarkan kamu memilikinya. Ingat itu Resa! Sejak awal Tegar bukan milikmu, dan dia tak akan pernah jadi milikmu! Tidak akan.”
Setelah mengucapkan kalimat yang sangat menyakitkan itu, Maiza berbalik dan pergi meninggalkanku sendirian di depan Kathedral St. Basil. Kakiku tiba-tiba lemas, sehingga tanpa bisa aku tahan aku jatuh terduduk di atas jalanan yang dingin. Salju belum mencair sepenuhnya.

***
Aku kenal jam tangan mahal jutaan rupiah miliknya, aku juga amat mengenal siapa pemilik tangan yang diulurkannya kepadaku yang masih duduk pasrah di atas jalanan berlapis saju tipis. Ingin sekali aku meraih tangan itu dan langsung menangis di depannya. Tapi harga diriku menahanku untuk melakukannya. Kutepis tangannya yang masih terjulur di depanku dan tak sedikitpun aku pandangi wajahnya yang kini sendu itu.
Pak Tegar menjatuhkan dirinya di sampingku dengan tiba-tiba, ikut duduk di atas lapisan salju tipis yang kotor seperti orang yang hendak bersemedi. Kedua kakinya dia silangkan sambil memainkan salju yang terhampar di depan kami. “Aku melihat kalian tadi” katanya pelan.
Aku masih tak peduli padanya, memandang ke arah lain asal tidak ke arahnya yang duduk di sampingku.
“Ayo, kuantar kau pulang” ajaknya.
Aku masih diam.
“Bagaimana kabar matryoshka yang kubelikan? Jangan bilang kau sudah membuangnya” katanya mencoba bercanda.
Aku berbalik dan kupandangi dia lekat. Lama kami saling berpandangan tanpa bicara apapun. Air mataku tumpah manakala kupandangi wajahnya, jatuh membasahi mantelku. Aku menggeleng kencang. Tidak, aku tidak akan pernah bisa meninggalkan dia. Ya Tuhan. Mana mungkin aku tidak bisa? Pikiranku berkecamuk, antara logika dan perasaanku.
Ya Tuhan, aku tidak bisa!
Pak Tegar mengangguk pelan.
Aku tetap menggeleng.
Dan dari kedua mata Pak Tegar mengalir sepasang butiran bening, padahal wajahnya penuh dengan senyuman. Semakin dia berusaha keras untuk tersenyum, air mata itu semakin deras keluar.
Aku menggeleng. “Aku tidak bisa, Pak” kataku di tengah isak kecil “Aku ternyata tidak bisa” kuremas salju di sekitar tempatku duduk. “Aku tidak bisa meninggalkan bapak”
Pak Tegar mengusap wajahnya yang basah, pandangannya menerawang.
“Aku tidak bisa...” gumamku sembari berdiri dari atas jalanan. Pakaianku basah oleh salju yang mencair. Aku berjalan meninggalkan Pak Tegar, menjauhinya, berusaha seolah-olah tak pernah mengenalnya.

***
Bandara  Domodedovo
Setelah lima tahun tinggal di Moskow, berjuang jatuh bangun untuk bertahan hidup, mati-matian mengejar kuliah agar bisa selesai tepat waktu sehingga tak membebani keuangan orang tuaku lagi, dan berjuang melawan cuaca Rusia yang ekstrim, mau tak mau aku jatuh cinta pada kota dan negeri ini.
Sayangnya waktuku di sini telah habis.
Mrs. Petrovsky mengantarkan aku ke bandara bersama beberapa teman mahasiswiku. Saat mereka memelukku untuk mengucapkan perpisahan, aku tak mampu membendung air mataku. Lima tahun hidup bersama-sama dengan mereka di asrama, berbagi banyak hal, bertengkar, tertawa, menangis, marah, semuanya telah aku rasakan bersama mereka. Terutama Mrs. Petrovsky. Beliau memelukku sangat lama.
“Kau sudah menyelesaikannya, Nak?” tanya Mrs. Petrovsky saat memelukku.
Aku mengangguk. Aku sudah menyelesaikannya, tapi apa yang kurasakan di hatiku belum selesai. Tak akan pernah selesai. Kataku dalam hati.
Mrs. Petrovsky melepas pelukannya. “Kau lupa ini di kamarmu, Nak” kata beliau sambil mengeluarkan sesuatu dari dalam tas tangannya.
Nafasku tercekat menerima benda itu. Benda yang sudah sengaja aku tinggal di kamar asramaku dan tak ingin kubawa. Sebuah boneka kayu berbentuk bulat lonjong dengan bagian bawah yang datar dan berlukiskan wajah nenek-nenek dengan kerutan kelabu. Matryoshka pemberian Pak Tegar setahun yang lalu.
“Kita boleh melupakan hal-hal yang menyakitkan dalam hidup kita. Tapi bukan berarti kita harus ikut melupakan hal-hal indah yang terselip di dalam hal-hal yang menyakitkan itu, Nak” Mrs. Petrovsky mengedipkan sebelah matanya. “Kau tahu? Cara terbaik untuk melupakan seseorang adalah dengan mengingatnya hingga kau bosan untuk mengingatnya. Anggap saja matryoshka ini sebagai asosiasi dari apa yang kau alami di sini. Anggap saja kau butuh waktu, selapis demi selapis untuk mengingatnya hingga akhirnya kau tak menyisakan apa-apa tentangnya”
Kupeluk Mrs. Petrovsky sekali lagi. Aku akan sangat merindukan wanita ini, wanita yang tiap kalimat yang keluar dari mulutnya adalah mutiara kehidupan bagiku. Wanita yang rela menyendiri selama berpuluh-puluh tahun hanya untuk mengenang suaminya.
Aku menarik troli barangku, berjalan menjauhi mereka dan melewati petugas yang memeriksa tiket pesawat. Aku melambai untuk terakhir kalinya kepada Mrs. Petrovsky dan teman-temanku. Dan ahya, sekilas kulihat Pak Tegar berdiri di antara orang-orang yang berlalu lalang di bandara dan menatap ke arahku, berdiri tak jauh dari kami mengenakan mantel hitam dan sepatu boot obralannya. Aku mengagguk kepadanya dan kemudian berbalik masuk ruang check-in bandara.

Comments

Popular posts from this blog

Pierre Tendean (Lagi-lagi)

Saya dan Tahun 60-an

Antara Pierre Tendean dan Hiruk Pikuk Jalanan Di Depan Kantor