Matryoshka
Rusia, orang menyebutnya negeri beruang merah. Sebuah negara terluas di dunia yang dulunya adalah bagian dari negara blok timur, negara komunis yang menjadi musuh bebuyutan Amerika Serikat, yaitu Uni Soviet. Siapa yang tidak kenal dengan Rusia dan KGB mereka? Atau pemimpin mereka yang terkenal diktator, Josef Stalin? Aku sendiri mengenal Rusia dari sebuah film kartun berjudul Anastasia, dan dalam benakku orang-orang Rusia itu identik dengan Rasputin – tokoh antagonis dalam film itu. Ini merupakan tahun keempatku di Moskow, ibu kota Rusia. Sebuah kota terluas di Eropa yang didaulat menjadi kota termahal di dunia dua tahun berturut-turut. Sudah tiga tahun aku kuliah di Universitas Negeri Moskow dengan bantuan beasiswa yang kudapat dari sebuah badan amal. Aku yang sebenarnya bercita-cita untuk kuliah di Inggris atau Prancis, atau minimal Belanda kini harus terdampar di sebuah kota tua yang penuh dengan bangunan-bangunan berarsitektur klasik nan indah ini.
Pukul 8 malam. Hanya saja matahari masih belum mau beranjak dari peraduannya sehingga tempatku duduk di dalam restoran Yolki-Palki yang dekat dengan jendela masih bermandi sinar matahari. Sambil membaca sebuah buku literatur yang kupinjam dari perpustakaan kampus aku menunggu dia datang. Dia sudah janji akan menemuiku di restoran ini, pukul 8 tepat setelah kuliah tambahannya hari ini selesai. Aku duduk tenang membaca buku dan tidak merasa begitu terganggu dengan orang-orang yang lalu lalang di samping mejaku. Malam ini setelanku masih seperti pagi tadi saat aku masuk kuliah, belum sempat aku ganti baju agar tidak telat datang ke sini. Syal tebal warna coklat madu melingkar di leher, dan aku memakai dua tumpuk baju plus sebuah jaket rajutan tebal warna coklat untuk membentengi tubuhku dari hawa dingin Rusia yang menusuk di awal musim gugur. Ada sebuah lelucon tentang cuaca Rusia yang memang cukup ekstrim di musim dingin. Saking dinginnya, jika kau meludah maka ludahmu akan beku sebelum jatuh ke tanah. Untungnya restoran ini memiliki mesin penghangat ruangan sehingga aku bisa membuka jaketku begitu masuk di dalam restoran. Aku juga mengenakan sepatu boot warna hitam yang kubeli di pasar saat sedang ada obral besar-besaran dua tahun yang lalu. Sambil sesekali menyesap segelas kisel hangat – minuman khas rusia seperti jeli tapi lebih encer yang dibuat dari buah-buahan.
Rusia, hingga tahun keempatku di sini aku masih belum menyangka aku akan duduk di dalam restoran bergaya country Rusia di kota Moskow dengan desain interior yang sangat alami sambil membaca buku tebal berbahasa dan beralfabet Rusia. Negara yang hanya kukenal lewat film, buku, gambar, berita, kini aku benar-benar berada di pelukan raksasa beruang merah. Tahun pertama aku nyaris tidak sanggup lagi hidup di sini karena aku belum juga lancar berbahasa Rusia dan hanya aku satu-satunya mahasiswi Indonesia yang kuliah di Universitas Negeri Moskow. Ungkapan bahwa siapa saja yang berhasil lulus kuliah dari Rusia maka dia akan dapat bertahan hidup di mana saja sepertinya berlaku juga untukku. Setelah empat tahun bergelut dengan kekejaman cuaca ekstrim Rusia, dengan mahalnya biaya hidup, dan hal-hal berat lainnya yang tidak pernah aku dapatkan di Indonesia, aku optimis akan dapat tinggal dimana saja di belahan bumi ini setelah lulus dari sini jika aku mau.
Aku tidak begitu sadar kalau orang yang aku tunggu telah berdiri di depanku. Aku mendongak dari lembaran kertas yang sedang kubaca dan mendapatinya berdiri di depan mejaku. Wajahnya pucat kemerahan karena cuaca dingin di awal musim gugur. Mungkin karena baru dua bulan di sini sehingga dia masih kewalahan beradaptasi dengan iklim Rusia. Meskipun matahari bersinar cukup terik di jam 8 malam, tapi angin dingin yang berhembus cukup menusuk tulang. Dia memakai topi wol, syal, baju tebal, jaket, sarung tangan rajut dan sepatu boot yang masih mengkilap. Sebuah ransel besar tersampir di punggungnya.
“Sudah lama?” tanyanya sambil duduk di kursi di depanku. Aku berhenti membaca dan menyimpan bukuku. “Baru sepuluh menit” jawabku singkat sambil memberi senyuman terbaikku.
Seorang pelayan, bapak-bapak tua dan memakai topi tinggi berwarna putih khas koki dan celemek berwarna hijau kotak-kotak menghampiri kami. Dengan bahasa Rusia dia bertanya apa yang ingin kami pesan. Aku membantu dia menerjemahkan beberapa kata dalam bahasa Rusia dan memilihkan dia minuman hangat dari daftar menu.
“Padahal nilaiku di pelajaran bahasa Rusia selalu yang tertinggi di kelas. Tapi tetap saja aku masih kesulitan menggunakannya” katanya gusar.
Aku tertawa kecil, memperhatikan dahinya yang berkerut dan matanya yang mengawasi pelayan itu berjalan masuk ke ruang belakang restoran. Aku selalu menyukai saat-saat seperti ini, manakala aku dapat mengamatinya hingga detil. Kerutan di ujung matanya setiap dia tertawa, lesung pipitnya saat dia tersenyum, atau ekspresinya setiap kali dia kesulitan berbahasa Rusia. Dia memang baru duduk di kelas persiapan bahasa. Normalnya setelah setahun di kelas persiapan bahasa baru mereka akan duduk di bangku kuliah. Hanya saja dia kesini untuk mengambil S3-nya, sementara aku baru mengambil S1.
“Nanti juga lancar, pak” sahutku membesarkan hatinya “aku aja baru bisa lancar bahasa Rusia setelah 6 bulan”.
“Oh iya” dia mengangkat jari telunjuknya “aku punya sesuatu untukmu”
Sekali lagi kuperhatikan sosoknya saat dia sedang mengaduk-aduk isi tas ranselnya. Namanya Tegar, aku biasa memanggilnya dengan sebutan Pak Tegar karena usianya yang terpaut jauh denganku. Dia delapan belas tahun lebih tua dariku yang masih berusia 22 tahun. Meski usia kami berbeda cukup jauh, tapi kami punya banyak kesamaan yang membuat kami sering nyambung jika mengobrol. Kami sama-sama suka membahas masalah politik di Indonesia, sepak bola, musik klasik, buku, film-film lama, bahkan resep masakan. Pak Tegar lumayan jago memasak dan dia selalu dengan senang hati mengajarkan padaku cara memasak masakan Palembang, daerah darimana dia berasal.
Aku kenal Pak Tegar sejak dua bulan yang lalu tapi baru benar-benar dekat sebulan terakhir ini. Pertemuan pertamaku dengannya terjadi di KBRI Rusia yang saat itu sedang mengadakan acara kumpul-kumpul bersama warga Indonesia lain yang tinggal di Moskow. Ketika itu kami hanya saling sapa sambil lalu. Tapi ternyata seminggu kemudian aku melihatnya lagi di restoran Yolki-Palki saat dia sedang kebingungan memilih menu karena ternyata dia belum hafal betul alfabet Rusia tapi nekat makan di restoran franchise paling terkenal di Rusia ini seorang diri. Belakangan aku tahu itu memang sifatnya, suka nekat menjajal kemampuannya sendiri dan selalu berusaha keras mewujudkan apa yang dia inginkan – dalam kasus ini dia sangat ngotot ingin cepat lancar berbahasa Rusia. Dan sebulan kemudian aku menjadi dekat dengannya.
Pak Tegar mengeluarkan sebuah kotak kardus dengan ukuran tinggi seperti botol teh dan meletakkannya di atas meja. “Hari minggu kemarin waktu diajak jalan-jalan sama Lika di Izmailovsky Vernisazh aku lihat ini lagi diobral” dia menyorongkan kotak kardus itu ke arahku.
Aku meraih kotak kardus berbentuk persegi panjang itu dan mengguncang-guncangnya. Aku tahu Izmailovsky Vernisazh adalah pasar tradisional yang khusus menjual souvernir khas Rusia dengan harga yang agak ‘miring’. Letaknya hanya dua puluh menit dari pusat kota jika berkendara dengan mobil. “Matryoshka ya?” tebakku sambil membuka penutup kardus.
Pak Tegar menangguk.
Aku mengeluarkan sebuah boneka kayu berbentuk bulat lonjong dengan dasar yang datar dan bergambar wajah seorang nenek yang tersenyum dengan guratan-guratan kelabu di pipinya dan memakai scarf di kepalanya. Matryoshka adalah boneka khas Rusia yang biasanya terdiri dari tujuh buah boneka berukuran besar hingga kecil dan dimasukkan ke dalam boneka yang berukuran paling besar. Matryoshka ini terinspirasi dari boneka Jepang sehingga sekilas dia nampak seperti bentuk seorang wanita jepang lengkap dengan sanggul dan kimononya meskipun sebenarnya dia digambarkan sebagai wanita yang berpakaian khas wanita pedesaan Rusia. Sejak awal aku memang sudah suka jatuh cinta dengan boneka Rusia ini. Dulu aku pernah punya satu buah matryoshka, oleh-oleh dari kakekku yang sempat ke Ufa, sebuah kota di Rusia yang jaraknya dari Moskow sekitar delapan jam naik kereta. Tapi sayang, matryoshka satu-satunya milikku itu hilang saat aku pergi ke Rusia empat tahun lalu. Anehnya, semenjak aku di Moskow aku malah tidak punya kesempatan untuk membeli lagi boneka unik itu.
“Darimana bapak tahu aku suka matryoshka ini?” tanyaku sambil mengeluarkan satu persatu bonekanya hingga berjejer tujuh buah boneka dari ukuran paling besar hingga ukuran paling kecil di atas meja.
“Dari ibu Yunita. Katanya tiap kali kamu main ke rumah beliau, kamu selalu memuji koleksi matryoshkanya” jawab Pak Tegar. Ibu Yunita adalah istri atase KBRI yang lumayan dekat denganku. Mungkin karena kami sama-sama berasal dari Sulawesi sehingga aku lebih sering main ke rumah beliau daripada ke rumah ibu-ibu KBRI yang lain.
Aku manggut-manggut kemudian memandangi satu persatu matryoshka di depanku. Tiba-tiba telepon selular Pak Tegar berdering. Dia memandangiku untuk meminta ijin mengangkat telepon dengan pandangan mata yang menyiratkan kalau telepon itu berasal dari si ‘wanita penting’. Aku mengangguk mengiyakan. Mana mungkin aku akan menggeleng? Dengan dia duduk di depanku saat ini pun aku sudah cukup senang. Jadi mana mungkin aku menggeleng hanya untuk sebuah panggilan telepon itu?
Sengaja aku menulikan telingaku saat dia mulai berbicara dengan ‘wanita penting’ yang ada di seberang. Sesekali wajahnya tersenyum, kadang tertawa. Setelah lima menit, pembicaraan yang diwarnai tawa itu selesai. Pak Tegar menyimpan telepon selularnya di dalam ransel.
Pesanan makanan kami datang, dibawa oleh seorang wanita bertopi tinggi. Sup Borsch dan ikan bakar dengan sekejap memenuhi meja kami. Aku menyingkirkan matryoshka yang masih berjejer di atas meja dan menyimpannya lagi ke dalam kotak kardusnya.
“Pernah ke sungai Moskow?” tanya Pak Tegar sambil menyendok supnya.
Aku tertawa. Tentu saja. Empat tahun hidup di Moskow mana mungkin tak pernah sekalipun ke sungai yang mengalir di tengah-tengah kota Moskow itu. Sungai yang bagi Moskow sama seperti sungai Nil bagi Kairo. Di sepanjang tepian sungai berdiri hotel-hotel mewah dan restoran yang menyajikan pemandangan indah sungai Moskow. Beberapa kapal pesiar juga berlayar di atas sungai itu.
“Aku ingin kesana besok siang, kebetulan kelas bahasa mulai nanti sore. Masak sudah dua bulan di sini aku belum pernah kesana. Bisa temani?”
Bola mataku berputar, berpura-pura tengah mempertimbangkan tawarannya sejenak. Sebenarnya aku tak begitu perlu berpikir dan bisa langsung mengangguk saja, besok siang aku tak punya jadwal kuliah. Setelah pura-pura berpikir sejenak, aku mengangguk.
“Kau memang tourist guide yang bisa diandalkan” sahut Pak Tegar sambil tersenyum. Lagi-lagi.
Aku membuang pandanganku ke arah pohon yang terletak di tengah-tengah restoran karena wajahku sedikit merona mendapat senyuman dari Pak Tegar.
***
‘Wanita penting’ itu menelepon lagi saat kami baru saja sampai di tepi sungai Moskow pukul 1 siang hari. samar-samar kudengar kalau wanita itu khawatir pada kondisi tubuh Pak Tegar yang memang tidak tahan dengan udara dingin, apalagi udara seekstrim di Rusia. Berkali-kali Pak Tegar berusaha meyakinkan wanita itu kalau dia baik-baik saja, hanya sedikit flu tapi sudah baikan. Ketika pembicaraan mereka semakin pribadi, aku sengaja menjauh dari sisi Pak Tegar, berjalan mendekati patung St. Pitersburg yang berdiri di atas sungai Moskow. Pandanganku kosong ke arah kapal pesiar yang tengah berlayar di tengah sungai.
“Resa!” panggil Pak Tegar padaku setelah dia menutup teleponnya. Dia melambaikan tangan dan menghampiriku.
“Sudah selesai teleponnya?” tanyaku sedikit ketus dengan wajah cemberut.
Astaga! Kenapa aku ini? Kenapa aku jadi cemberut? Buru-buru kurubah ekspresi wajahku sebelum dia sadar. Tapi aku terlanjur bicara padanya dengan nada ketus.
“Dia sangat khawatir karena sebelum kesini aku sudah terserang demam tinggi. Aku nyaris batal pergi ke sini kalau saja aku tidak sembuh tiga hari sebelum keberangkatanku” jawabnya tenang.
Aku diam saja. Kami berdua melangkahkan kaki berjalan-jalan menyusuri tepian sungai Moskow. Dia memasukkan tangannya ke dalam saku mantel sambil menerawang ke arah jembatan yang membentang di atas sungai Moskow, beratus-ratus meter di depan kami. Aku benci melihat pandangan matanya yang teduh seperti saat ini, matanya yang gelap seperti lautan di malam hari selalu membuatku ingin menjadi pemilik mata itu.
“Kau tidak butuh seseorang?” tanya Pak Tegar tiba-tiba. Dia menghentikan langkahnya dan langsung berbalik memandangku.
“Maksud bapak?” tanyaku heran, ikut berhenti berjalan. Aku memasukkan tanganku yang tiba-tiba bergetar hebat ke dalam saku jaket. Aku sedikit gugup, sehingga tak mampu cukup lama untuk mempertahankan ekrpesi heranku. Seketika wajahku terasa kebas. Ada sesuatu yang menari-nari di dadaku dan meloncat-loncat di kepalaku.
“Aku hanya ingin tahu saja kalau-kalau.. err.. mungkin kau butuh seseorang” katanya sedikit tersendat.
Aku berjalan menuju bangku kayu yang terletak di tepi beton penahan abrasi sungai dan duduk di atasnya. Dia ikut duduk di sampingku dan kami berdua diam selama beberapa saat. Aku mengamati orang-orang yang lalu lalang di depanku, mencoba mengalihkan pikiranku pada serombongan anak muda berpenampilan punk yang asyik bercanda di tengah jalan sehingga agak mengganggu pengguna jalan yang lain.
“Ah, lupakan saja pertanyaanku yang tadi” sahut Pak Tegar saat aku tak kunjung menjawab pertanyaannya. Atau pernyataan?
“Ahya, tentu saja” jawabku buru-buru, seakan tak mau kehilangan kesempatan untuk menjawab pertanyaannya.
“Kau sudah kenal siapa aku, Resa” kata Pak Tegar, dia menundukkan kepalanya.
Aku sendiri tak dapat lagi menikmati indahnya sungai Moskow, hal yang selalu aku dapatkan setiap kali aku jalan-jalan ke sini. Kini aku hanya terfokus pada sosok Pak Tegar yang duduk di sampingku, memandang potongan rambutnya yang kebapakan, mantelnya yang berwarna keabu-abuan, juga memandang jam tangan mahal yang dipakainya. Aku teringat dulu di awal-awal aku mulai dekat dengannya, aku suka protes dengan semua barang bermerk yang dipakainya. Sebagai mahasiswa yang hanya bertahan hidup dari beasiswa dan kiriman seadanya dari orang tuaku di Sulawesi tentu saja melihat mahasiswa lain berpenampilan mewah menimbulkan kesenjangan tersendiri bagi kami, mahasiswa pas-pasan lainnya. Akhirnya dia menanggalkan semua barang bermerknya itu dan hanya menyisakan jam tangan jutaan rupiah kesayangannya. Itulah kenapa sepatu bootnya masih berkilat, dia baru membelinya di pasar belum lama ini – barang obralan.
“Semua yang kupakai ini dia yang belikan” kata Pak Tegar kala itu saat aku protes dengan sepatu boot mahalnya. ‘Wanita penting’ itu yang membelikan, yang memilihkan.
“Aku tahu ini salah” ucap Pak Tegar membuyarkan lamunanku “tapi kau berbeda, Sa. Maaf, yang akan aku katakan ini bukan untuk merendahkan harga dirimu sebagai seorang wanita, tapi karena aku menghormatimu. Jika kau butuh seseorang, kurasa aku bisa jadi orang yang butuhkan itu...”
Dadaku berdebar lebih kencang lagi ketika Pak Tegar mengatakan kalimat terakhirnya itu. Dia benar, aku memang membutuhkan dia. Itulah kenapa aku rela pergi jauh-jauh ke rumah ibu Yunita hanya untuk menyapanya karena aku tahu dia sahabat baik suami Bu Yunita, atau sengaja menghampirinya di Yolki-Palki karena kulihat dari jendela kaca restoran dia sedang kebingungan membaca menu makanan, atau bahkan sengaja singgah ke kampus persiapan bahasa dengan berbagai alasan hanya untuk sekedar menyapanya. Dan aku berhasil dekat dengannya. Jadi mana mungkin aku tak membutuhkannya? Sejak pertemuan pertama kami di KBRI dulu, lewat sapaan akrabnya padaku, lewat senyuman ramahnya, lewat raut wajahnya yang dewasa dan menentramkan, lewat gaya bicaranya yang tenang tapi tegas, lewat sikapnya yang sopan dan agak kaku, aku tahu kalau aku membutuhkan dia. Aku jatuh cinta padanya.
“Aku minta maaf” katanya pelan melihat reaksiku yang hanya diam saja sejak tadi. Tak ada sepatah kata pun yang aku ucapkan. “Aku tahu memang tak pantas aku mengatakannya...”
“Iya” sahutku tiba-tiba “aku memang butuh seseorang. Aku senang Pak Tegar mau menjadi orang yang aku butuhkan itu”.
“Meskipun aku...?”
“Meski apapun” potongku “aku tak peduli”.
Kami saling berpandangan, di kepalaku berkecamuk banyak hal. Rasa senang, takut, gembira, tegang, semuanya bercampur jadi satu. Aku tahu ini tak akan mudah, tak ada yang mudah untuk sebuah kesalahan. Tapi entahlah, aku tak begitu peduli. Sungai Moskow terlihat dua kali lipat lebih indah di mataku dari yang biasanya. Angin berhembus lebih hangat di awal musim gugur ini, membelai rambut ikalku yang tergerai. Aku tak mampu menahan senyum bahkan tawaku. Sehingga kami berdua saling menertawai perasaan masing-masing di tepian sungai Moskow.
Rusia – siapa sangka kau membuatku bertemu dengan Dimitri-ku di sini? Negeri yang awalnya membuat gentar siapa saja yang mendengar namanya, negeri yang dulunya komunis, negeri yang dingin dengan penduduk yang tanpa ekspresi. Siapa sangka Rusia bisa menjadi sebuah negara yang jauh lebih romantis dari Prancis? Moskow bisa menjadi kota yang lebih berkilau dari Paris?
Aku ingat, aku sempat menangis manakala lamaran beasiswaku ke beberapa lembaga yang menyediakan beasiswa ke negara-negara Eropa barat ditolak. Dengan setengah hati aku mendaftar ikut beasiswa ke Rusia dan diterima. Aku sempat tak ingin berangkat ke sini, apalagi sejak di Indonesia kami belum diberi tahu di kota apa kami akan dikuliahkan. Untunglah aku mendapat tempat kuliah kota Moskow, ibu kota Rusia. Beberapa temanku yang lain tersebar di berbagai penjuru Rusia.
Dan kenapa aku harus sejauh ini untuk bertemu dengan Pak Tegar?
***
Moskow, awal musim dingin tahun berikutnya
Mrs. Petrovsky tersenyum kepadaku. Dosen bahasa Rusia yang sudah membimbingku sejak di kelas persiapan bahasa lima tahun silam ini amat dekat denganku. Satu-satunya dosen yang sering kukunjungi rumahnya setiap aku punya kesempatan. Usianya sudah 65 tahun. Rambutnya hampir seluruhnya berwarna keperakan dan beliau memakai kaca mata berbingkai perak, persis warna rambutnya.
“Aku punya seorang anak perempuan yang juga telah menikah.” Kata Mrs. Petrovsky tiba-tiba. “Kau tahu? Satu-satunya kebahagiaan seorang wanita yang membuatnya benar-benar menjadi seorang wanita adalah pernikahan. Jika kau menghancurkan pernikahan seorang wanita, maka itu sama saja dengan kau menghancurkan hidup seorang wanita. Sama saja dengan kau mengambil kebahagiaan dari hidupnya. Egois sekali”.
Aku hanya tersenyum menanggapi kalimatnya barusan, aku tahu beliau pasti sedang menyinggungku. Mrs. Petrovsky memang tidak pernah menyukaiku dekat dengan Pak Tegar. Aku maklum, dia sudah menganggapku sebagai anaknya sendiri dan tentu saja dia tak ingin aku kehilangan semuanya pada akhirnya.
“Aku tahu akibat yang akan aku tanggung, Mum” kataku pelan dan sopan sambil membelai rambutnya. Aku memanggil beliau dengan sebutan Mum – ibu – karena beliau sudah seperti ibu bagiku di Rusia ini.
Mrs. Petrovsky memelukku, lantas mengajakku masuk ke ruang keluarganya. Sudah tak terhitung berapa kali aku ke rumah beliau, tapi selalu saja ada hal baru yang bisa diceritakan Mrs. Petrovsky tentang rumahnya ini. Setiap sudut rumahnya memiliki cerita tersendiri. Kali ini ruang keluarganya akan menjadi muasal ceritanya sore ini selepas kuliah.
“Kau lihat foto-foto yang di sana?” beliau menunjuk bufet besar model kuno yang terbuat dari kayu.
Aku mengangguk, tentu saja sudah. Foto-foto hitam putih itu selalu saja menarik perhatianku setiap kali aku kemari, tapi aku selalu lupa menanyakan cerita di balik foto-foto itu. Mrs. Petrovsky adalah seorang pencerita yang hebat. Aku tak pernah bosan mendengar setiap lembar masa lalunya yang beliau ceritakan padaku.
Kami berdua mendekat ke foto-foto yang terpajang memenuhi bagian atas bufet, juga yang terpajang di dinding di atas bufet. Mrs. Petrovsky menunjuk sebuah foto yang letaknya paling ujung sebelah kiri kami. Di dalam foto itu nampak dua orang gadis muda yang cantik jelita memakai gaun dan saling melempar senyum di tengah-tengah ruangan yang sepertinya sebuah aula besar. “Itu fotoku dan sahabatku, Dinara”.
Aku mengamati wajah Dinara, seraut wajah yang angkuh dan dingin meskipun tengah tersenyum. Sangat cantik. Hidungnya mancung dan rambutnya ikal dipotong pendek. Meskipun foto hitam putih, tapi aku tahu Dinara pasti memakai lipstik tebal berwarna merah, karena di dalam foto bibirnya nampak kehitaman.
“Suamiku sempat jatuh cinta padanya” ucap Mrs. Petrovsky dengan nada sedih. “Sebenarnya aku tak ingin menyalahkan Dinara. Aku tahu suamiku seorang pria yang penuh pesona, mampu membuat wanita mana pun jatuh cinta padanya, termasuk aku. Tapi Dinara berbeda, dia orang yang keras dan angkuh, tak pernah mudah jatuh cinta pada pria mana pun. Bahkan pria-pria bangsawan Rusia sekalipun yang memang rata-rata berpenampilan menawan. Dinara bertemu suamiku setelah dia pulang dari Jerman untuk bersekolah dan mereka berdua saling jatuh cinta”.
Aku menelan ludah mendengar cerita Mrs. Petrovsky. Rasanya beliau mulai menyerangku. Sejak dulu beliau tak pernah mau bercerita tentang mantan suaminya kepadaku. Tapi sekarang...
“Awalnya aku tak menyangka, Dinara yang angkuh dan keras kepala jatuh cinta pada suamiku dan mereka berdua sempat berselingkuh dariku. Aku tiba-tiba merasa amat benci pada mereka berdua, dua orang yang tak pernah aku sangka akan membohongiku ternyata melakukannya. Aku memutuskan dengan segera persahabatanku dengan Dinara, meskipun dia meminta maaf padaku dengan tangisan.”
“Err... bagaimana Mum bisa tahu mereka berdua berselingkuh?” tanyaku takut-takut. Aku sedikit gelisah, terasa benar kalau Mrs. Petrovsky sedang menyerang posisiku.
“Dinara yang mengatakannya sendiri padaku. Ku akui dia hebat mau berterus terang dan minta maaf padaku. Tapi tetap saja aku tak dapat memaafkan dia, sekalipun aku sangat menyayanginya” jawab Mrs. Petrovsky pelan namum nada suaranya penuh ketegasan.
“Dan Mr. Petrovsky?”
“Tentu saja aku juga menceraikannya” kata beliau kalem “sebuah luka yang teramat besar tak mampu disembuhkan dengan beribu kata maaf, Nak. Sekalipun mereka berdua berlutut di depanku”
“Tapi... tapi kenapa Mum masih menggunakan nama Mr. Petrovsky di belakang namamu?” tanyaku tak mengerti. Kebencian yang bisa membuat Mrs. Petrovsky mendepak sahabat dan suaminya bagaimana mungkin tidak bisa membuat Mrs. Petrovsky menghapus nama suaminya di belakang namanya?
“Resa, kau lupa apa yang aku katakan di awal tadi” Mrs. Petrovsky tersenyum “Satu-satunya kebahagiaan seorang wanita yang membuatnya benar-benar menjadi seorang wanita adalah pernikahan. Jika kau menghancurkan pernikahan seorang wanita, maka itu sama saja dengan kau menghancurkan hidup seorang wanita. Sama saja dengan kau mengambil kebahagiaan dari hidupnya.” Ulang Mrs. Petrovsky.
“Apakah karena Mum masih mencintainya?”
Mrs. Petrovsky mengangguk lagi, sebuah anggukan lemah yang meruntuhkan ketegarannya selama berpuluh-puluh tahun semenjak perceraiannya dengan suaminya. “Aku menikah dengannya karena aku mencintainya, Nak. Aku telah bersumpah hanya dia satu-satunya pria yang akan aku cintai, dan aku memenuhi sumpahku untuk tidak menikah lagi dan tetap mempertahankan namanya di belakang namaku. Sebesar apapun kebencianku padanya, yang membuatku harus menceraikannya, aku tak pernah bisa untuk tidak mencintainya. Dia suamiku, aku mencintainya karena dia suamiku. Dan Dinara merenggut itu semua dari hidupku dalam sekejap saja.”
Aku terhenyak di atas kursi, kepalaku terasa sakit dan nafasku sesak. Mrs. Petrovsky adalah wanita yang sangat baik, merawat kami seperti anaknya sendiri. Bagaimana mungkin sahabatnya tega menghancurkan hidupnya dan suaminya tega mengkhianatinya? Fakta ini seperti menusuk-nusuk dadaku.
“Kau ingin menghancurkan hidup seorang wanita, Nak? Sangat mudah. Bukan dengan merusak karirnya atau merusak masa depannya. Cukup kau ambil suaminya sebentar saja, maka dia akan hancur seperti salju yang mencair di musim panas. Dan yang perlu kuingatkan, hanya sebagian kecil saja wanita yang mengambil sikap sepertiku untuk meninggalkan suami mereka, berapapun besarnya cinta mereka kepada suami mereka. Tapi sebagian besar wanita akan tetap bertahan di sisi suaminya, mengubah hati lembut mereka menjadi karang untuk menahan terpaan rasa sakit yang diberikan oleh suami-suami mereka entah disengaja atau tidak.”
Dalam benakku tiba-tiba muncul wajah Pak Tegar, wajah yang selalu aku rindukan, wajah yang selalu membuatku bersemangat melewati sisa hari-hariku di Moskow. Beberapa bulan lagi aku akan diwisuda dan setelah itu aku akan kembali ke Indonesia.
“Resa, sayang, sesuatu yang diawali dengan kesalahan maka tidak akan berakhir dengan kebahagiaan. Camkan ucapanku ini baik-baik, Nak. Kau tahu, cintamu kepada Tegar adalah sebuah kesalahan. Kau amat mengerti bahwa posisimu berbahaya dan kau paham kalau ceritamu dengan Tegar belum tentu akan berakhir bahagia. Jadi untuk apa kau tetap mempertahankan hubunganmu dengannya?”
Mataku panas, air mataku telah menggumpal di pelupuk mata. Aku bersedia melakukan hal apapun untuk Mrs. Petrovsky, tapi tidak untuk meninggalkan Pak Tegar. Aku tak akan pernah mau memenuhi permintaan yang satu ini.
“Jika kau menyayangiku, Nak. Dan paham dengan penderitaanku selama 40 tahun ini, aku harap kau mau melepaskan Tegar”
“Tapi... aku membutuhkannya, Mum!” sentakku tiba-tiba “Aku tidak hanya sekedar mencintainya, tapi aku sangat membutuhkannya. Kenapa tidak ada seorang pun yang bisa mengerti? Bahkan Mum pun tidak”
Mrs. Petrovsky membelai rambutku “Tuhan telah menentukan kebutuhan manusia masing-masing, sayang. Istri Tegar lebih membutuhkan Tegar daripada dirimu, itulah hal yang sudah Tuhan tentukan, karena itulah mereka berdua menikah. Coba tanya pada dirimu sendiri dan jawablah dengan jujur, apakah kau membutuhkan Tegar untuk dirimu?”
Air mataku mengalir. Tentu saja. Sudah berkali-kali aku menanyakan hal yang sama pada diriku sendiri, dan jawabannya masih sama seperti setahun yang lalu. Aku membutuhkan Tegar, lebih dari yang aku sendiri bisa bayangkan.
Bersambung...
Bersambung...
Comments
Post a Comment