Country Road

“Sudah tiga tahun, Tu. Sudah saatnya aku melepaskan dia” ucap Sarah sambil tertunduk, menyembunyikan sinar matanya dari pandangan Restu yang tengah berdiri di depannya. Dia tak ingin laki-laki itu melihat sesungguhnya berat bagi Sarah untuk mengatakan hal itu. “Sudah tiga tahun…”
“Tiga tahun? Jadi waktu kau jadikan alasan untuk melupakannya dan membiarkan dia pergi begitu saja? Hanya karena sudah tiga tahun?”
“Kau tak mengerti kekuatan waktu. Kau tak mengerti bahwa tak ada hal di dunia ini yang dapat membantuku untuk benar-benar melupakannya kecuali waktu. Kau pikir tiga tahun itu waktu yang singkat? Kau pikir mudah bagiku ketika pada akhirnya aku harus mengakui di dalam hatiku kalau aku jatuh cinta pada orang lain? Dan orang lain itu adalah kau?”
Restu Nampak terkejut. Tapi dia melepas semua keterkejutan dari raut wajahnya dan mencoba memahami pandangan mata Sarah yang sayangnya sejak tadi dia sembunyikan. “Apa benar semuanya telah selesai?” Tanya Restu hati-hati “kau yakin, Sarah? Aku tahu selama tiga tahun ini kau tak pernah benar-benar berusaha. Kau biarkan dirimu ditarik ulur dalam kehidupan Ananta. Kau bahkan membiarkan dirimu terpuruk berulang-ulang ketika dia baru saja mengangkatmu. Kau terjatuh setelah dia melepasmu. Kau biarkan Ananta memegang kendali seluruh rotasi logikamu”
“Aku tahu…” sentak Sarah “aku tahu aku telah menjadi orang yang bodoh selama tiga tahun ini, dan aku menyesal. Kenapa aku tak mengenalmu jauh sebelum aku mengenal dia? Kenapa aku baru mengenalmu justru saat aku sedang memenuhi hidupku dengan namanya? kemana saja kau? Kenapa kau tak segera menolongku saat aku membutuhkan uluran tanganmu? Kenapa saat itu kau hanya diam saja melihatku tertipu oleh senyum yang diberikan Ananta? Bukankah kau ada di sana saat itu?”
Restu mengacak rambutnya. Dia bingung sekaligus marah pada dirinya sendiri. Sarah terlampau mendominasi, gadis di depannya ini terlampau kuat untuk dia atasi. Dan karena itulah dia mencintainya juga. Harusnya dia senang bukan? Sarah ternyata mencintainya juga… pada akhirnya…
Suara kendaraan bermotor yang sedang lewat menghiasi sekeliling mereka. Matahari bersinar cerah hari ini, menyelimuti mereka dengan sinarnya. Keduanya berdiri berhadap-hadapan, tak peduli pada teriknya matahari ataupun pada kendaraan yang lalu lalang di dekat mereka. Tak ada waktu lagi untuk menghiraukan semua hal itu.
“Bertanggung jawablah padaku!” kata Sarah, kini dia mengangkat wajahnya yang telah bersimbah air mata bercampur peluh. “Bukankah cinta itu adalah bentuk tanggung jawab? Jadi bertanggung jawablah atas perasaanku ini. Bertanggung jawablah atas cinta yang telah Allah berikan padaku untuk aku minta kepadamu.”
“Nanti, Sarah. Suatu saat aku akan mengambil tanggung jawab itu darimu” sahut Restu. Pantulan cahaya matahari dari sebuah kaca mobil yang tengah berjalan mendekat ke arah mereka menyilaukannya. Dia menyipitkan matanya.
“Tapi kapan?” Tanya Sarah  “Aku sudah lelah menunggu. Aku telah letih menjumpai beberapa laki-laki yang salah dan aku tak mau kau menjadi orang yang salah berikutnya”
“Aku pun tak mau kau menjadi wanita salah yang pertama” sela Restu, menatap tajam Sarah.
“Kalau begitu, apa lagi yang harus kita tunggu? Apalagi yang membuatmu merasa berat melangkahkan kakimu menuju rumahku dan berbicara kepada kedua orang tuaku? Apa aku tidak cukup pantas untuk membuatmu bersegera?”
“Aku masih menunggu.” Restu menendang sebuah kerikil kecil yang tergeletak di ujung sepatunya  “aku menunggu hingga beban tanggung jawab yang ada padamu sedikit lebih ringan. Kau terlalu berat bagiku dan aku takut tak akan sanggup memikulnya”
“Aku akan mengurangi beban itu untukmu.” Nada suara Sarah bergetar “Aku bahkan akan memikul sebagian beban itu untukmu jika memang itu masih terasa berat buatmu. Atau aku akan menghilangkan beban itu sama sekali agar tak ada yang memberatkan langkahmu untuk menikahiku. Kau tahu? Aku tidak mencintaimu dengan begitu saja. Tapi aku mencintai kasih sayang dan tanggung jawab yang kau berikan kepada keluargamu. Aku mencintai kehanifan jiwa yang kau miliki. Aku tidak pernah berpikir untuk mencintai rupamu atau mencintai kedudukanmu. Semua itu terlalu tak berarti buatku manakala kau tawarkan komitmenmu untuk meraih akhirat. Aku bukan orang yang lemah atau pengecut sehingga aku takut menghadapi duniaku sendirian. Aku cukup berani. Hanya saja aku tak pernah cukup sanggup untuk meraih janji surga Allah sendirian. Aku butuh komitmenmu yang telah ada pada dirimu. Sesuatu yang sesungguhnya secara tak kasat mata telah kau tawarkan padaku lewat orang-orang yang kau cintai. Saat itu juga hingga saat ini, kamu adalah orang yang telah membuatku cemas aku adalah orang yang salah buatmu”
“Kau tahu beratnya apa yang harus aku tanggung. Aku sadar betul, tanggung jawab kepadamu dua kali lebih berat daripada tanggung jawabku kepada keluargaku. sosokmu terlampau kuat untuk aku lindungi. Aku merasa kerdil di dekatmu dan aku takut itu akan mengecewakanmu. Sarah, kau harus mengerti kalau aku tak pernah merasa cukup sanggup untuk memilikimu. Aku pun sudah menyimpannya cukup lama dan bagiku waktu sama sekali tidak membantu. Kau tetap menjadi sosok yang penting di pusaran hidupku. Kau penting bagi keluargaku…”
Sarah menggeleng. Dia membalikkan badannya memunggungi Restu hendak berjalan pergi meninggalkan Restu sendirian di tepi jalan yang semakin ramai itu. “Aku tak ingin mendengar keluhan seperti itu darimu. Kau tahu kenapa dulu Ananta membiarkan aku pergi? Karena alasan yang sama denganmu! Dia ketakutan! Dia merasa tak akan sanggup memilikiku hanya karena dia terlalu pengecut. Dia tak menyukai aku yang terlampau hebat untuk dirinya dan dengan mudahnya dia berkata kepadaku agar aku menemukan orang lain yang lebih hebat darinya. Kau dengar itu? dengan mudahnya dia berkata seperti itu kepadaku!”
“Aku tidak mengatakan hal ini dengan mudah, kau tahu itu.” seru Restu, setengah berteriak “kau sudah sangat mengenal aku, keluargaku. Kau tahu hidup seperti apa yang aku hadapi. Aku harus berpikir dua kali untuk membawa seorang wanita masuk ke dalam hidupku…”
“Kau pikir aku akan meninggalkanmu karena semua hal itu?” potong Sarah, kembali membalikkan badannya dan tersenyum sinis kepada Restu.
“Bukan!” sela Restu “meski aku tidak begitu mengenal Ananta, aku tahu betapa hebatnya dia. Dan dia – orang yang hebat itu – pun merasa tak mampu untuk memilikimu. Apalagi aku?”
“Ternyata kau sama seperti dia” kata Sarah dengan senyum getirnya. Air matanya mengalir kian deras membasahi wajahnya. “Jujur saja, aku tak bisa menunggu seseorang sepertimu. Aku tak ingin menyia-nyiakan waktuku lagi dan bergumul dengan perasaan yang sama seperti sejak tiga tahun yang lalu. Ternyata dugaanku salah. Kau adalah laki-laki yang salah yang kesekian aku temui. Semoga kau tidak menemukan wanita yang salah untuk kedua kalinya.”
Sarah berjalan pelan, melangkahkan kakinya menyusuri trotoar jalan tanpa sedikitpun menoleh ke arah Restu. Dia terus berjalan dan berjalan hingga dirinya menghilang dari pandangan Restu, ditelan oleh kerumunan manusia lain.

***

Sedikit berangin di akhir bulan Desember
Restu tersenyum kepada Sarah yang masih berdiri kaku di depan halte bus sambil membawa sebuah tas ransel besar yang dia sandarkan di sisinya. Rasanya mustahil dia akhirnya bertemu Restu di belahan dunia lain, di suatu tempat antah berantah yang memerlukan setengah putaran bumi untuk bisa mencapainya.
Di ujung sana, di sisi jalan, turun dari bus angkutan umum sosok Restu mengenakan baju hangat tebal dan membawa sebuah ransel besar. Keduanya tampak tak percaya akan dipertemukan lagi di tempat seperti ini, lima tahun setelah pertemuan terakhir mereka.

Bakewell, Derbyshire, Inggris

“Terakhir kita bertemu di pinggir jalan di depan kantorku” sapa Restu tersenyum hangat “dan sekarang kita bertemu lagi di pinggir jalan Bakewell, sebuah desa kecil di Inggris yang sangat indah. Aku ingin bilang kebetulan sekali. Tapi aku tahu, tidak ada kebetulan di dunia ini bagi orang yang percaya dengan adanya Tuhan – perancang agung semesta ini”
Sarah tersenyum, berdiri dari bangku halte menghampiri Restu.
“Dengan siapa kau kesini?” Tanya Restu sambil mencari-cari sosok orang lain yang mungkin ikut bersama Sarah. Restu tahu gadis ini sangat menyukai travelling tapi dia cukup yakin Sarah tidak senekad itu untuk melakukan perjalanan seorang diri – single traveller.
“Sendirian” jawab Sarah “ternyata perjalanan seorang diri itu seru. Tapi aku baru berani keliling beberapa Negara saja. Negara-negara Eropa yang aman saja loh”
Restu berdecak, entah karena kagum atau tak percaya Sarah mampu melakukan semuanya sendiri.
“Dan kau? Bersama siapa kesini?” Tanya Sarah.
“Sendirian. Ada sedikit keperluan di dekat sini. Hey, kau sudah menikah?” Restu terkejut melihat sebuah cincin melingkar di jari manis Sarah.
Sarah tertawa. “Bukan” dia mengangkat jarinya dan menunjukkan cincin itu “ini hanya saran dari sesama single traveller. Kalau mau bepergian sendiri, sebaiknya mengenakan cincin kawin. Hanya untuk melindungi diri. Kau tahu kan wanita lajang sulit menemukan rasa aman di manapun mereka berada hanya karena mereka terlalu cantik atau terlalu menarik ketika mereka sedang duduk sendirian di sudut sebuah kafe sambil membaca buku atau majalah. Kau sendiri bagaimana? Kau sudah menikah?”
Restu menggeleng dan tersenyum “tidak, eh, belum. Karena aku masih mencarimu kemana-mana”
Wajah Sarah bersemu merah jambu, ditambah udara yang dingin makin membuat wajah Sarah tampak kemerahan. Untuk menutupinya dia berpura-pura merapikan jaket dan syal yang dikenakannya.
“Aku menunggu….hanya saja setelah itu kau tak pernah datang padaku lagi. Jadi kupikir mungkin aku bisa melupakanmu sama seperti aku melupakan Ananta beberapa tahun kemudian. Mungkin aku hanya butuh waktu satu atau dua tahun. Tapi aku salah. Tiga, empat dan akhirnya lima tahun tapi aku masih tak bisa menemukan orang lain….dan aku memutuskan untuk bertualang sendirian, aku tak percaya ternyata kau juga ada disini dan kita bertemu dan….”
“Dan aku akan mengantarmu pulang” potong Restu “aku ingin bertemu dengan orang tuamu. Aku telah siap untuk mengambil tanggung jawab itu.”
Sarah tampak sedikit terpana ketika Restu berjalan kea rah tas ranselnya yang tergeletak di sisi kursi halte dan memikulnya. Setelah itu dia menarik tangan Sarah agar ikut dengannya. Sebuah bus berhenti di depan halte. Restu menatap Sarah dengan pandangan mata yang penuh keyakinan “Saatnya kita pulang. Saatnya aku pulang bersamamu…”

Comments

Popular posts from this blog

Pierre Tendean (Lagi-lagi)

Saya dan Tahun 60-an

Antara Pierre Tendean dan Hiruk Pikuk Jalanan Di Depan Kantor