First Step : Bali


Dari jaman masih SD dulu saya punya semacam obsesi tersendiri dengan Bali. Tidak tau kenapa. Mungkin karena waktu kecil suka dengan lagu Denpasarmoon-nya Maribeth atau sering nonton di TVRI tentang keindahan Bali, saya jadi punya semacam tekad harus liburan ke sana lebih dulu suatu saat baru kemudian saya akan berpetualang ke tempat-tempat indah lainnya.

Dan bulan Mei kemarin saya benar-benar datang ke sana :p
Setelah sempat tertunda berkali-kali, saya dan seorang teman saya akhirnya sepakat akan berangkat ke Bali tahun ini meski hanya berdua saja. Padahal awalnya kami merencanakannya berlima tapi karena kesibukan kami masing-masing, hanya kami berdua yang bisa pergi. Saya dan Ramla – teman saya itu berjanji ketemu di Manado dan berangkat sama-sama dengan Lion Air ke Denpasar.


Sebenarnya sih tiket pesawat dari Luwuk lebih murah kalau lewat Makassar. Tapi berhubung saya juga sudah lama tidak jalan-jalan ke Manado saya setuju ketemuan di Manado. Saya sudah memesan tiket pesawat PP Manado – Denpasar, paket tour di Bali juga sudah deal hanya agak kesulitan mendapatkan tiket Luwuk – Manado. Alhamdulillah, saya dapat tiket Express Air tujuan Manado sesuai dengan jadwal yang saya inginkan. Pokoknya semuanya sudah siap dan tinggal berangkat saja.

Tapi yang namanya maskapai penerbangan, apalagi yang melayani rute-rute di Indonesia timur memang tidak bisa dipegang janji jadwal keberangkatannya. Saya yang sudah siap-siap mau berangkat dapat telpon dari agen tiket kalau penerbangan ke Manado hari ini dibatalkan! What? Batal? Bahkan bukan delay. Padahal di jadwal saya harus check in jam 2 siang dan baru jam 12 siang saya dapat telepon kalau tidak ada penerbangan ke Manado hari ini.

Gimana ya? Rasa-rasanya saya mau nimpuk pakai sepatu bocah-bocah di travel agent yang ngurusin tiket saya. Kok ya nyantai banget sih bilang tidak ada pesawat hari ini? Padahal saya kan besok pagi-pagi sekali sudah harus naik pesawat ke Denpasar. Memang sih mereka mencarikan alternative lain dengan rute yang berbeda. Tapi kebanyakan pesawatnya sudah penuh. Dengan sangat terpaksa saya membatalkan tiket ke Manado dan beralih naik Batavia Air ke Makassar. Ngomong-ngomong, saat lagi ngurus tiket ke Makassar, pesawatnya sudah landing loh. Jadilah sama seperti di sinetron-sinetron, saya ngebut ke Bandara yang jaraknya lumayan jauh dari rumah saya. Super tegang takut ketinggalan pesawat. Untunglah saya tidak terlambat tapi konsekuensinya karena pergi dari rumah buru-buru saya ketinggalan charger BB saya. Terima kasih Express Air :)

Di Makassar saya nginap sama adik saya setelah sebelumnya muter-muter di Bandara Hasanuddin nyari agen penjualan Lion Air untuk penerbangan ke Denpasar besok. Alhamdulillah lagi, saya dapat tiket ke Denpasar masih dengan harga normal. Setidaknya masalah penerbangan saya sudah teratasi. Dan saya benar-benar tidak sabar berangkat ke land of dream saya.

Saya ketemu dengan Ramla di dalam pesawat yang awalnya janjian ketemu di Manado. Yah, setidaknya kami masih satu pesawat jadi tidak perlu berkeliaran di bandara Ngurah Rai nanti untuk ketemuan. Dari Makassar penerbangan hanya memakan waktu satu setengah jam dan setelah delay selama setengah jam, kami akhirnya tiba di atas pulau Bali. Dari jendela pesawat, bahkan meski baru berupa titik-titik kecil hingga mulai tampak seperti maket, saya jatuh cinta dengan keindahannya.

Setelah kedinginan di dalam pesawat, ketika menjejakkan kaki di Bandara Ngurah Rai, saya langsung disambut dengan cahaya matahari yang sangat terik. Sepertinya Bali selalu cerah karena di saat yang bersamaan di kota saya sedang musim hujan. Untunglah tempat klaim bagasinya tidak jauh jadi kami tidak perlu berjalan jauh setelah turun dari pesawat. Dan hey! Saya sudah berada di Bali!

Bandara Ngurah Rai ternyata tidak seperti yang ada dalam bayangan saya. Sebagai tujuan wisata internasional Bali seharusnya memiliki bandara yang mewah. Tapi bandara Ngurah Rai ternyata tidak sebagus Bandara Hasanuddin. Bahkan tidak sebagus bandara Sam Ratulangi. Tapi tidak masalah. Meski harus berdesak-desakkan di ruang baggage claim dan harus menunggu sekitar satu jam sampai bagasi kami keluar, sama sekali tidak mengurangi kegirangan saya berada di Bali. I did it! Impian jaman SD saya berhasil saya wujudkan. Saya ada di tempat yang terik, ramai, banyak turis asingnya, dan cantik. Yah, cantik. Bali itu cantik.

Kami dijemput oleh guide kami, Ibu Komang namanya. orangnya ramah, sama seperti semua penduduk di Bali. Mungkin karena mereka sadar betul, kecantikan alam mereka sama sekali tak akan menarik jika tidak disertai keramahan penduduk aslinya. Karena profesinya yang sebagai guide, sepanjang perjalanan Ibu komang terus bercerita tentang Bali. saya dan Ramla hanya bisa saling memandang – antara heran dan takjub mungkin dengan pengetahuan beliau yang mendalam tentang Bali. Kami diantar sampai di hotel Adi Dharma di daerah Kuta. Dengan fasilitas yang super nyaman, hotel ini benar-benar membuat kami berdua betah dan mungkin kalau kami tidak ikut tour yang terjadwal pasti kami hanya akan tidur di kamar hotel seharian.

Hari pertama acaranya bebas. Kami berencana jalan-jalan ke pantai Kuta. Dengan berbekal google maps, kami jalan kaki dari hotel menjelajah Kuta yang ramainya minta ampun. Kuta itu padat, dipenuhi toko-toko penjual baju, penjual kerajinan, salon, pub, minimarket circle K, restoran, penyewaan sepeda motor, semuanya tumplek jadi satu dan bisa dijangkau dengan jalan kaki. Mungkin juga jalanan Kuta lebih dikhususkan untuk pejalan kaki karena jalanannya sempit dan hanya bisa dilalui oleh satu mobil saja.

Akhirnya sampai juga di pantai. Tapi pas liat papan nama pantainya kok ya Legian sih? Kok bukan Kuta? Yahhh… saya kan maunya ke Kuta. Penasaran sama pantai yang katanya romantis itu. Sampai-sampai dibuat lagu yang judulnya Kuta Bali. tapi berhubung sudah sampai di pantai, kami masuk juga ke area pantai Legian dan waaaaww… pantainya luaaaassss banget. Dan landai. Keren pokoknya. Kami berdua jalan-jalan di pantai teruusss terusss sampai tiba di sisi sebelah selatan pantai. Tapi saya masih penasaran dengan yang namanya pantai Kuta dan kembali melihat google maps di hape. Lah, kata google saya sudah berada di pantai Kuta tapi kok sama sekali tidak ada tulisan kutanya sih? Pokoknya apapun yang terjadi saya harus ke pantai Kuta!
Pantai Legian

Karena sudah capek, kaki pegal gara-gara jalan kaki dari hotel ke pantai, kami akhirnya langsung pulang dan siap-siap untuk tur yang pertama besok.

Hari pertama, setelah menyaksikan tari Barong di desa Batubulan, kami di’angkut’ menuju Kintamani untuk makan siang. Berangkatnya kesiangan sih soalnya bingung pilih menu buat sarapan di hotel yang penuh dengan bule. Akhirnya setelah membaca ada menu ‘pork’ yang tersedia di meja, saya memutuskan buat makan roti tawar saja dicampur nasi yang sudah terlanjur diambil tadi. Menu yang sangat aneh tapi malu kalau tidak dimakan. Haha.

Gunung Batur
Makan siangnya di restoran dengan pemandangan gunung api Batur. Udaranya lumayan dingin dan sedikit berkabut. Tapi banyak sekali turis yang numpuk Cuma buat liatin gunung yang separuhnya berwarna coklat itu. Pas selesai makan dan mau foto-foto, ada ibu-ibu nawarin baju ke kita dengan harga 15 ringgit yang kalau dihitung-hitung sekitar 50 ribu. Buset, mahal amat. Padahal kan Cuma kaos biasa aja gitu. Tapi yang bikin saya heran sih kenapa dijualnya pakai mata uang ringgit yak? Bukannya Malaysia itu nun jauh di atas Kalimantan sana? Kok penjualnya pakai mata uang ringgit?

Pertanyaan itu baru terjawab pas kita singgah di gua gajah. Eng ing eng, ternyata karena kita berdua dikira turis dari Malaysia makanya ditawarin dagangan pakai mata uang ringgit. Para penjual disini menerima mata uang dollar dan ringgit juga. Wuih, saya aja belum pernah liat gimana bentuk mata uang dari Malaysia itu. Dan  kami dikira orang Malaysia karena pakai kerudung. Alamak. Apa karena saya mirip Siti Nurhaliza yah? Hihi…

Dan makan malam di Jimbaran…..speechless…. maaak, romantissss. Di tepi pantai banyak meja berjejer dengan pemandangan langsung ke laut plus taburan bintang di langit. Ditambah lagi ada grup music yang mirip di film-film menyanyikan lagu dari satu meja ke meja lain sesuai permintaan tamu restoran. Mejanya dikasih lilin jadi kaya candle light dinner gitu. Bunyi suara ombak berpadu dengan alunan lagu romantis bikin saya jadi merenung… ternyata garing juga ya kalo pergi berdua saja sama teman cewek. Hehe. Maaf Ram, bukan maksudku. Perjalanan kita di Bali memang seru tapi lebih seru lagi kalau pergi ke sana sambil bulan madu. Halah.


Jimbaran, The Romantic Place Ever!

Hari kedua, kami menjelajah Pura Taman Ayun, Tanah Lot, dan Pura Ulundanu. Ternyata di Tanah Lot kami ketemu lagi sama pasangan turis dari Korea yang super heboh pas di Pura Taman Ayun tadi. Beneran deh, ternyata drama korea yang selama ini saya tonton sama sekali tidak bohong. Orang korea itu ternyata asyik dan heboh, tidak malu-malu berpose di depan kamera dengan gaya yang aneh dan norak sekalipun. Liat saja, di tanah Lot mereka memasang kamera di atas tripod dan berfoto berdua dengan senyum lebar trus kedua jari mereka membntuk ‘love’. Norak. Tapi asyik dan lucu. Bikin saya jadi pingin kenalan dengan mereka. Sayang saya tidak bisa bahasa korea dan bahasa Inggris saya juga masih belepotan tinta kamus.

Pas mau pulang dari tanah Lot, kita ketemu sama pasangan muda dari Jepang. Yang ini keliatan lebih kalem. Yang laki-laki wajahnya itu mirip-mirip aktor oriental yang saya lupa siapa namanya. Pokoknya orangnya keren. Cuma pakai kaos oblong, celana selutut, rambut acak-acakan, tapi tetap saja keliatan keren. Kalau istrinya, wah, cantiiiiiiik banget. Mirip artis-artis dorama. Rambutnya panjang kulitnya putih. Kalau istrinya sih kayanya masih malu-malu. Suaminya yang mau diajak ngobrol dan bilang mereka kemari buat bulan madu. Saya dan Ramla langsung saling pandang dan saling berkomunikasi melalui pandangan mata. Kami iriiiiiiii. Sumpah!

Oh, iya ding. Kami juga singgah ke Alas Kedaton yang penuh sama primata yang konon kata Darwin adalah nenek moyang kita. Saya mah ogah disebut turunan primata berbulu ini. Jumlahnya banyak, lari-lari kesana kemari dan kadang kalau ada yang iseng malah menjatin turis-turis yang lewat. Dikira pohon kali. Tapi ternyata mereka manjatin turis kaya gitu kalau ada turis yang bawa makanan. Fuihh… untung camilan saya sudah habis duluan di mobil. Jadi tidak perlu berbagi sama mereka. Cuma sempat beli kacang kulit trus kasih makan seekor monyet lucu dan imut yang Nampak malu-malu pas saya tawarin kacang ke dia. Hihi. Kalau boleh sih mau bawa pulang aja monyetnya yang pemalu ini.

Di Alas kedaton kami dapat satu pengalaman yang berharga. Di Bali harus pintar-pintar nawar! Bayangin, Ramla bisa dapat barang seharga sepuluh ribu rupiah yang awalnya dijual seharga Sembilan puluh ribu rupiah. Tsk! Yang bener yang mana sih? Penjualnya yang ngambil untung terlalu banyak atau pembelinya yang ngotot minta harga segitu?

Makan malamnya di tanjung benoa. Tidak seromantis seperti di Jimbaran sih, tapi makanannya enak! Saya yang seumur-umur tidak suka makan udang melahap habis sepiring udang goreng telur yang baru dari aromanya saja bisa bikin saya ileran. Plus sup jagung kentalnya yang top. Aih, kalau cerita soal udang gorang telurnya bikin saya jadi lapar mau makan *puasa oy!
Ini dia tampilan Sup Jagungnya. Nyam...nyam...nyam...

Hari ketiga, water sport di nusa dua. Sayang kostum saya tidak memungkinkan untuk ikutan water sport. Gamis sama kerudung mana cocok sih main aer, naik banana boat maupun parasailing. Jadi saya Cuma bisa liatin Ramla main parasailing sambil menghibur diri kalau saya kan seorang akrofobia sejati. Jadi saya tidak rugi kalau tidak naik yang gituan. Pulang dari Nusa Dua langsung lanjut ke GWK. Makan siang dan sholat disana. Puanas rek. Mana lokasinya itu di atas gunung, sama sekali tidak rimbun dan bikin ngos-ngosan. Sampai di atas, sepertinya jadi hal yang wajib buat para turis berfoto di depan patung Khrisna yang setengah jad itu (err…Wisnu apa Khrisna yak? Lupa saya).

Puas main-main di GWK, lanjut ke Uluwatu. Pemandangannya sih keren, tebing sama laut biru gitu. Tapi ya capek juga kalo jalan kaki siang-siang panas-panas gini. Akhirnya kita batal naik sampai ke puncaknya. Lumayan, udah diliat dari jauh. Dan tenaga kami habis pas harus jalan kaki lagi ke dreamland. Tempat parkir mobilnya di atas, tidak bisa turun ke pantainya langsung. Kami berdua sudah kehilangan semangat main di pantai. Iyalah, panas-panas gini. Jadinya memutuskan buat langsung pulang saja. Mau tidur di kamar hotel yang super Nyaman itu.

Hari terakhir, acara bebas sampai saat penjemputan ke Bandara. Karena kami ambil penerbangan terakhir, jadi kami masih punya waktu seharian buat nyari dimana sesungguhnya letak…. Pantai Kuta! Saya masih penasaran, dimana sih pantai Kuta itu. Tidak mau putus asa, kami berdua kembali menyusuri jalanan Kuta demi melihat sebuah papan nama bertuliskan Selamat Datang di Pantai Kuta. Norak gak sih? Biarlah norak, yang penting pantai impiannya ketemu.

Dan…dong dong dong….

Kuta beach, finally.... really, finaly!!
Ternyata di hari pertama kami sebenarnya kami sudah berada di pantai Kuta! Gubrak! Karena jalan menyisiri pantai Legian tanpa sadar kami sudah masuk areal pantai Kuta. Oh God! Kedodolan ini semoga tidak berlanjut lagi. Ini sih namanya antiklimaks. Jadi kami berdua foto-foto sambil duduk-duduk di pantai nunggu agak siangan dikit sebelu pergi ke Sanur buat spa.

Kesannya pas liat pantai Kuta untuk kedua kalinya : biasa aja sih, tapi memang ada kesan romantisnya sedikit. Berhubung kami berdua pasangan garing, jadi Cuma bisa bengong aja duduk-duduk di Kuta.
Perjalanan kami benar-benar berakhir di malam harinya ketika kami harus meninggalkan bandara Ngurah Rai menuju bandara Sam Ratulangi Manado. Sebenarnya, ini pertama kalinya saya liburan yang benar-benar liburan. Ternyata lima hari itu tidak cukup buat ke Bali. Absolutely.

Next Step : Togean, The hidden paradise

Comments

Popular posts from this blog

Pierre Tendean (Lagi-lagi)

Saya dan Tahun 60-an

Antara Pierre Tendean dan Hiruk Pikuk Jalanan Di Depan Kantor