Autumn, Dia Tidak Kembali Untukku
Aku tak percaya dengan pandangan
mataku sendiri ketika melihat sosok itu disana, berdiri tak jauh dariku dan
sedang menengadahkan pandangannya ke dedaunan rimbun pepohonan yang sedang
berguguran. Musim gugur membuat daun-daun pohon maple berubah menjadi berwarna merah kecoklatan, seperti
hujan yang jatuh sehelai demi sehelai ke permukaan tanah, menutupi jalanan
dengan warna merah kecoklatannya. Dia yang aku kira tak akan pernah kulihat lagi benar-benar berdiri di sana.
Nyata. Seseorang yang telah berbelas-belas tahun lalu pergi dari kehidupanku
kini tiba-tiba kembali dan memaksaku menggali semua kenangan tentangnya yang
telah aku kubur dalam-dalam. Kenangan yang enggan aku usik lagi sejak dia benar-benar telah berlalu begitu saja.
Daun-daun itu jatuh
melayang-layang di atas kepalanya. Dia menangkap beberapa helai dan tersenyum
lantas memandang ke arahku. Dadaku berdesir. Caranya memandangku masih selalu
membuatku berdebar-debar tak karuan. Aku kesulitan bernafas ketika dia mulai
berjalan mendekatiku dan seperti biasa begitu tiba di depanku dia akan melepas
topinya dan membungkukkan badan layaknya seorang pengawal kepada tuan putrinya.
Dulunya. Kini aku sekarang adalah
ratunya.
“Saya, Willy, penasihat kerajaan
yang baru menghadap kepada Ratu Rayne” katanya dengan suaranya yang berat.
Aku tercekat. “Penasihat
kerajaan? Siapa yang mengangkatmu? Kenapa aku tidak diberi tahu terlebih
dahulu?” tanyaku dengan nada suara yang sedikit bergetar. Aku gugup, terus
terang saja.
“Maafkan saya Ratu, saya adalah
satu-satunya calon yang diusulkan oleh Dewan Pemerintah untuk menjadi penasihat
kerajaan dan berita ini baru akan diberitahukan kepada Ratu malam nanti saat
acara makan malam resmi keluarga kerajaan dengan dewan pemerintah”
Oh ya ampun, berhentilah bersikap kaku padaku seperti itu, Willy!
Jeritku dalam hati.
“Kapan kau kembali?” tanyaku, berusaha
tetap bersikap anggun sambil berjalan ke arah bangku taman terdekat, menyibak
lautan burung merpati yang sedang berkerumun mencari makanan, kemudian duduk di
atasnya. Willy mengikutiku dari belakang dan dia berdiri tegap di sisi kursi.
“Duduklah di sampingku” kataku sambil bergeser dan memberinya tempat duduk.
“Saya rasa tidak pantas saya
duduk di samping Anda, Ratu” sahutnya.
Aku tersenyum “bersikaplah
seperti biasa kepadaku. Kita sudah berteman sejak kecil, kenapa harus berubah
hanya karena statusku sekarang adalah seorang Ratu?”
Meski tampak ragu-ragu dia
akhirnya duduk di sampingku.
“Kapan kau kembali? Kenapa tak
pernah memberi kabar kepadaku?” tanyaku sambil menadahkan tanganku sehingga
sehelai daun yang gugur tergeletak pasrah di telapak tanganku. “Kau pergi
begitu saja selama lima belas tahun bahkan tanpa pamit padaku. Kejam sekali
kau…” aku mencoba tertawa, menertawai penderitaan hatiku sendiri.
“Maafkan saya Ratu, saat itu…”
“Panggil saja aku Rayne!” tegasku
memotong kalimatnya “kita tetap sahabat bukan? Jadi panggil saja aku seperti
saat kau sedang memanggil sahabatmu”.
“Anda adalah Ratu saya, sudah
sepantasnya saya menghormati Anda dan memanggil Anda dengan panggilan
kehormatan itu.”
Aku menggeleng “tidak, bukan itu
maksudku. Kau bisa memanggilku Ratu jika kita berada di lingkungan Istana dan
ada orang yang melihatnya. Tapi jika hanya ada kita berdua, apalagi di tempat
seperti ini, kau bisa memanggilku Rayne. Ini perintah, bukan permintaan!”
Willy mengangguk
“baiklah…Ra…Rayne”
“Bagus” kataku.
Sehelai daun jatuh lagi di atas
kepalaku. Dari kejauhan beberapa orang pengawal pribadi berdiri berpencar
mengelilingi taman. Aku berusaha tidak begitu peduli dengan kehadiran mereka
yang cukup mengganggu.
“Kenapa saat itu kau pergi begitu
saja?” tanyaku mengalihkan pandanganku dari para pengawal pribadi kerajaan
kepada Willy yang masih duduk kaku di sampingku. “Kau tahu aku selalu menunggu
kau memberi kabar? Setiap hari aku bertanya pada ayahmu bagaimana kabarmu
disana. Setiap hari aku bertanya kapan kau akan kembali atau apa kau menitipkan
sesuatu untukku. Surat misalnya. Tapi jawaban yang aku dapat dari ayahmu selalu
hanya gelengan kepala. Kau tahu? Aku terus bertanya selama sepuluh tahun
terakhir ini sampai ayahmu meninggal lima tahun yang lalu. Kau bahkan tidak
datang ke pemakamannya saat itu…”
“Aku…saat itu aku sedang mendapat
tugas dinas ke Afrika” jawabnya “sudah kuusahakan untuk pulang, tapi ternyata
tidak bisa.”
“Apa kau sudah melupakan aku?”
tukasku. Aku tak bisa menyembunyikan rasa kesalku padanya “kenapa tak sekalipun
kau menulis surat untukku???” bentakku. Nada suaraku mulai meninggi, membuat
beberapa ekor burung merpati yang sedang mematuk-matuk makanan di depan kami
lari beterbangan.
Dia diam, yang terdengar hanyalah
bunyi kepak sayap merpati dan gemerisik daun jatun yang diterbangkan angin.
Bahkan para pengawal pribadiku tak bergerak sedikitpun, takut menimbulkan suara
yang menggangguku.
“Tak pantas seorang anak pengawal
kerajaan menulis surat untuk seorang putri yang kini telah menjadi seorang
ratu” jawabnya tenang, tak terpengaruh dengan nada suaraku yang meninggi. “aku
pikir kau mungkin tidak akan sempat membaca suratku. Tentu saja tidak penting
buatmu mengetahui kabarku, apa yang sedang aku lakukan atau apa yang sedang aku
pikirkan.”
“Apa ayahmu tidak pernah cerita
kalau aku setiap hari selalu pergi ke kamarnya hanya untuk menanyakanmu? Apa
dia tidak pernah cerita kalau aku tidak pernah lelah bertanya apa yang sedang
kau lakukan disana atau apa yang sedang kau pikirkan? Apa ayahmu tidak pernah
cerita kalau aku selalu menitip surat untukmu yang tidak pernah dikirimkannya
karena dia bilang sekolahmu tidak bisa menerima surat dari orang selain orang
tuamu?”
Willy hanya diam, dia sama sekali
tak menjawab pertanyaan yang aku lontarkan dengan penuh rasa marah.
“Kenapa kau diam saja? katakanlah
sesuatu. Paling tidak aku tahu kau tak melupakan aku”
Willy meremas topi yang
dipegangnya. Dia sama sekali tak memandang wajahku yang telah memerah antara
sangat marah, sangat sedih dan sangat ingin menangis. Kenapa dia bersikap
sedingin itu padaku?
“Sebaiknya aku kembali ke istana”
dia berdiri dari kursi.
“Jangan dulu pergi!” sentakku
“ini perintah!”
Willy urung meninggalkanku. Tapi
dia tidak kembali duduk di sampingku dan memilih berjalan mendekati
merpati-merpati yang ada di depan kami itu. Dia berjongkok di tengah-tengah
kerumunan sambil menebarkan makanan yang dia keluarkan dari saku mantelnya.
Dalam sekejap tubuhnya dikelilingi oleh banyak merpati.
Aku berdiri dari kursi dan
berjalan ke arahnya, menyibak unggas itu dan duduk di samping Willy. Aku
menyandarkan kepalaku ke bahunya.
Willy terkejut, tapi dia tidak
bergerak menjauh dan membiarkan aku bersandar di bahunya. Untuk sesaat kami
berdua hanya duduk dengan diam. Hanya suara kicau riuh merpati yang memenuhi
taman.
“Aku pikir kau telah menyadarinya
kalau sejak dulu aku mencintaimu. Sejak aku masih menjadi seorang gadis kecil
hingga sekarang setelah aku menggantikan posisi ayahku di kerajaan. Aku pikir,
aku tak harus bekerja keras untuk menunjukkan padamu kalau aku mencintaimu karena
kau akan tahu dengan sendirinya. Tapi ternyata aku salah…” aku tertawa hambar
“kau belum menyadarinya rupanya. Kau tiba-tiba pergi, tak mau menghubungiku…kau
ternyata sama sekali tidak menyadari perasaanku”.
Aku mengangkat kepalaku dari
bahunya dan menatap kedua matanya yang teduh. Kami berdua saling berpandangan.
“Kalau saja kau menyadarinya,
mungkin kau tak akan pergi meninggalkan aku, bukan? Wills? Kalau saja kau
menyadarinya, mungkin aku tak harus menunggu kau selama ini. Lima belas tahun, Wills!
Aku tidak bilang ini mudah, tapi lima belas tahun terlalu lama buatku. Kau
terlalu lama pergi dariku”
“Tentu saja” akhirnya Willy
berbicara “aku telah menyadarinya sejak awal.”
Aku memandangnya sekali lagi.
“Kau menyadarinya? Lalu kenapa kau pergi? Kau tak mencintaiku?”
“Tentu saja aku juga mencintaimu.
Karena itu aku harus pergi” jawabnya. Suaranya terdengar sedikit bergetar kali
ini.
“Apa maksudmu? Kau mencintaiku
tapi harus pergi dariku? Aku tidak mengerti”
“Aku rasa tidak perlu kujelaskan”
kata Willy pelan. Dia berdiri dari sisiku. “kau tahu jawabannya. Nasib setiap
orang sepertiku yang jatuh cinta pada orang yang salah selalu berakhir sama.
Mungkin juga karena aku telah salah dilahrikan dari wanita seorang istri
pengawal kerajaan dan tidak dilahrikan dari seorang wanita seperti ibumu. Ada
banyak orang sepertiku yang harus membuang semua cintanya hanya karena dia
salah menilai dirinya sendiri”
Willy kemudian melangkah pergi
meninggalkan aku. Tapi beberapa langkah kemudian dia berhenti dan berbalik “kau
mengerti maksudku bukan?”
Aku mengangguk pelan, masih
sedikit terpana dengan apa yang baru dia ucapkan.
“Aku sudah menikah, lima tahun
yang lalu, beberapa bulan setelah ayahku meninggal. Karena aku pikir setelah
ayahku meninggal, tidak akan ada lagi orang yang akan memberitahuku kalau ada
seorang gadis yang terus menerus menanyakanku, kabarku, surat-suratku dan
segala hal tentangku. Kepergian ayahku membuat aku seperti ikut kehilanganmu.”
Willy kembali melanjutkan langkah
kakinya, menjauhiku yang kini tak tahu harus berbuat apa. Lima belas tahun aku
menunggu ternyata semuanya sia-sia. Dia tidak kembali untukku.
Comments
Post a Comment