Tentu Saja Tidak
Dia tertawa – maksudku betul-betul tertawa. Aku tersenyum kecut di sampingnya. Agak jauh, tidak begitu tepat jika dikatakan sedang duduk di sampingnya. Tapi biarlah, aku suka terdengar dekat dengannya. Duduk di sampingnya. Hmm…merdu sekali terdengar di telingaku.
“Jadi ternyata aku menyukaimu dan
kau juga menyukai aku?” dia mengulang pertanyaan yang sama. Seharusnya tidak
perlu. Keberadaan kami berdua saat ini adalah seluruh kesimpulan dari semua hal
itu. Dan sekarang dia yang selalu pendiam tiba-tiba berubah menjadi sangat
cerewet. Aku menelan ludah. Pahit rasanya.
“Aneh ya” katanya lagi “kita
tidak pernah benar-benar tau selama….hmm…10 bulan mungkin kalau ternyata kita
punya rasa yang sama. Aneh saja karena setiap hari kita bertemu dan kita hanya
bersikap biasa-biasa saja. Tidak ada rona merah di wajahmu atau aku yang salah
tingkah di depanmu. Aku bahkan tak akan percaya jika kita tidak berada di sini
saat ini. Tuhan memang selalu punya cara tak tertebak untuk menunjukkan isi
hati makhluk-Nya.”
Astaga! Dia benar-benar jadi
sangat cerewet. Aku sama sekali tidak tau harus menanggapi bagaimana. Jadi aku
pikir sebaiknya aku diam saja dan membiarkan dia bermonolog.
“Aku menyukaimu karena kamu itu
orang yang menyebalkan” lanjutnya “bayangkan! Jarang senyum, muka selalu
jutek, bicaranya pelit, sikapmu terlalu efisien, terlalu tertutup, siapa coba
yang tidak kesal dengan gaya kamu itu.” wajahnya berubah sengak seolah-olah dia
adalah orang yang paling benar di dunia tentang aku. Mungkin kalau aku berada
di dekatnya dia akan menarik kuncir rambutku atau menjitak kepalaku. Tapi aku
tak berusaha menyangkal. Dia memang benar. Sikapku yang menyebalkan ini sudah
default setting dari pabrikan dan tidak akan aku ubah-ubah.
“Tapi kamu gadis yang kuat,
independen, mandiri, atau apalah yang sering orang-orang katakan itu. Aku suka
gadis sepertimu yang tak bergantung pada siapapun. Kau mendominasi dan
mempengaruhi, membuat setiap orang tak berani macam-macam denganmu. Untunglah aku
cukup berani untuk menyukaimu”
Suara burung dari hutan terdengar
sahut menyahut, disusul suara-suara hewan lainnya. Air sungai di hadapan kami
beriak, arus air terdengar lembut mengalir di antara bebatuan. Sejuk dan
damai. Beberapa anak-anak kecil agak jauh dari kami sedang bermain di sungai. Berloncatan
ke tengah sungai dari gundukan tanah di tepi sungai dan kadang memercikkan air ke arah
kami berdua.
“Dan kau, kenapa kau menyukaiku?”
tanyanya, memandangi aku.
Aku menarik nafas panjang dan
mengangkat bahu. Akhirnya dia memberiku giliran untuk berbicara setelah sejak tadi
dia bermonolog ria.
“Aku tidak tau” jawabku singkat “aku
tidak punya alasan untuk itu”
“Ayolah” protesnya “aku sudah
mengatakan kenapa aku menyukaimu. Sekarang giliranmu. Seorang pendidik
sepertimu harusnya bersikap adil. Aku minta hakku dipenuhi!”
Aku tertawa, melempar batu ke
tengah sungai dan menunjuk batu yang tenggelam ke dasar itu. “Aku menyukaimu
sama seperti batu yang tenggelam ke dasar sungai itu. Menurutmu kenapa batu itu
tenggelam?”
“Tentu saja karena berat jenis
batu lebih besar daripada berat jenis air, karena itu dia tenggelam. Itu hukum
alam, tidak ada hubungannya dengan alasanmu menyukaiku”
“Ada” jawabku “menyukaimu
adalah sebuah hukum alam bagiku. Sama seperti siklus terjadinya hujan atau
teori efek kupu-kupu. Semua itu hukum alam yang bisa dijelaskan secara logis
yang justru kadang kita lupakan. Dan aku juga lupa dengan
penjelasan logis kenapa aku sampai menyukaimu”
“Mungkin karena memang sudah
seharusnya seperti itu?” tanyanya jahil, melihatku dengan sudut matanya
sementara rambutnya yang agak panjang menjuntai di atas dahinya. Aku suka dia
yang selalu sok keren seperti itu. Lucu sekaligus menyebalkan. Seharusnya dia
rajin memangkas rambutnya karena profesinya identik dengan potongan rambut
cepak nyaris botak itu.
“Aku rasa karena berada di
pedalaman sekaligus perbatasan seperti di sini membuat kita tidak mempunyai
banyak pilihan?”
Dia tertawa, juga aku. Kami berdua
memang tidak punya banyak pilihan. Aku adalah seorang sukarelawan pendidik di
pedalaman dan dia adalah seorang dokter militer yang berjaga di perbatasan. Aku
sering bertemu dengannya jika mengantar anak-anak didikku yang sedang sakit
atau mengantar orang tua dari anak-anak didikku untuk mengunjunginya. Secara mental,
penduduk asli di sini masih merasa agak takut dengan para penjaga perbatasan
karena baru beberapa tahun daerah mereka berstatus sebagai perbatasan setelah
tanah di seberang itu memisahkan diri dari negara kesatuan. Ada semacam rasa
tidak nyaman di hati mereka pasca jajak pendapat yang melibatkan banyak tentara untuk berjaga.
Karena itulah mereka selalu meminta aku menemani mereka jika ingin berobat di
kamp nomaden para tentara penjaga perbatasan.
“Aku menyukaimu mungkin karena
kamu adalah salah satu hal terbaik di tempat ini. Menjadi seorang dokter di
pedalaman bukanlah hal yang mudah, menangani para pasien yang bahkan masih percaya
dengan jampi-jampi juga bukan hal yang mudah. Aku suka kesabaranmu saat
menjelaskan kepada mereka jadwal minum obat dan penyakit yang mereka derita…”
“Seandainya aku bukan dokter di
sini, hanya tentara penjaga perbatasan biasa, apa kau masih tetap akan
menyukaiku?” potongnya. Dia juga ikut-ikutan melempar batu ke tengah sungai
yang kemudian langsung tenggelam. “Apakah batu sungai itu tetap akan tenggelam?”
“Tentu saja. Bukankah sudah
kukatakan aku menyukaimu adalah sebuah hukum alam? Aku mungkin tetap akan suka
saat kau membantu para pekerja di hutan, mengangkut beban di punggung
mereka. Atau saat kau patroli keliling perbatasan dan tanpa sengaja melihat
kami yang sedang belajar di tengah hutan. Atau mungkin saat kau menghadiri
undangan para penduduk dan bercengkerama ramah dengan mereka. Ada banyak hal
dari dirimu yang bisa aku sukai, apapun profesi dan tugasmu”
Kali ini dia diam saja, seperti yang selalu aku lihat dari dirinya. Aku juga
ikut diam, sesekali memandangi anak-anak kecil yang belum bosan bermain-main di
sungai sejak tadi. Mereka semua adalah anak-anak didikku sehingga pandanganku selalu mengawasi ke arah mereka. Salah seorang dari mereka melambai kepadaku yang aku
balas dengan lambaian tangan juga. Aku benar-benar berharap mereka tidak
cepat-cepat selesai mandi di sungai, sehingga waktu dapat berputar lebih lambat
dan dia tidak segera kembali ke tempat tugasnya.
“Sebenarnya…aku rasa kita
sebaiknya diam saja tadi dan percakapan ini tidak perlu terjadi” kataku,
kembali menelan ludah. Pahit.
“Yah, kau benar. Seharusnya kita
diam saja tadi dan membiarkan hal lain yang menerjemahkan pertemuan kita ini. Tidak
perlu ada pembicaraan yang membuatnya tidak lagi samar”
“Aku akan pergi, dan kau akan
berlalu dengan sendirinya. Kita hanya kebetulan saja bertemu pada satu tempat
dan waktu yang tepat, kemudian saling menyukai, tapi kita tau semuanya tidak
akan memberikan apa-apa kepada kita.”
Dia mengangguk. “Ya, semuanya
akan berlalu”
“Dan tidak seharusnya kita
berharap pada sesuatu yang akan berlalu. Sama seperti aku yang tidak seharusnya
berharap Tuhan akan menggoreskan kisah lain untuk kita”
"..............."
"..............."
Kami berdua sama-sama bangkit
dari duduk dan saling melempar senyum. Senyum pertama dan terakhir kalinya yang
aku berikan padanya. “Menurutmu kita akan bertemu lagi di suatu tempat dan
waktu yang tepat seperti saat ini?” tanyaku.
“Aku harap begitu” jawabnya.
Wajahku berseri. Aku tahu dia
juga berharap sama seperti yang aku harapkan. Semoga kesempatan kedua untuk
kami itu masih ada, dimanapun itu kelak.
“Tapi jangan mencariku!” sahutku “biarkan
kita digiring oleh takdir kita sendiri untuk saling bertemu jika kita memang
digariskan akan bertemu.”
“Perempuan memang selalu lebih
percaya pada takdir daripada perasaan mereka sendiri” dia nyengir “tapi
baiklah, aku tidak akan mencarimu sama sekali dan kau mungkin akan berlalu
disapu waktu. Aku juga mungkin akan berlalu darimu, tapi aku tidak begitu
peduli. Sekalipun kita akhirnya dipertemukan lagi, dan kali itu tanpa ada rasa
suka, maka kita memang tidak pernah berada pada satu garis yang sama. Hanya saja kebetulan saat ini tanpa sengaja garis kita bersinggungan…”
“Hey, tidak ada hal di dunia ini
yang terjadi karena kebetulan” aku tersinggung “itulah konsep takdir. Partikel terkecil
yang ada di dunia ini pun hadir karena sebuah alasan, apalagi kita – pertemuan kita.
Jika toh pada akhirnya bukan yang seperti kita harapkan, aku yakin ada hal
tersembunyi di balik semua itu. Entah itu adalah hikmah, pelajaran atau apapun
itu. Aku percaya.”
"....."
"....."
Dia mulai berjalan menjauh,
selangkah demi selangkah, menapakkan sepatu larsnya ke atas batuan sungai.
Aku masih berdiri di tempatku
semula, memandangi punggungnya.
Dia semakin menjauh.
Aku rasa ini kesempatan
terakhirku untuk mengatakan sesuatu.
“Hey, Tuan!” teriakku. Untunglah
dia masih mendengar suaraku dan berhenti berjalan. Dia berbalik arah tapi tak
beranjak dari tempatnya berhenti. Dia memandangiku dari jauh.
“Ada apa?” dia balas berteriak.
“Jika nanti kita memang
dipertemukan lagi” aku berteriak. Air mataku benar-benar tidak bisa aku tahan
lagi. “Aku berjanji, saat kita bertemu lagi, aku akan tetap menyukaimu seperti
saat ini. Aku benar-benar berharap kita masih memperoleh kesempatan kedua itu”
suaraku serak.
“Aku tahu itu” teriaknya.
Setelah itu dia kembali berjalan
pergi.
Aku meremas logam dingin yang melingkar di jari manisku. Cincin pertunanganku.
Aku meremas logam dingin yang melingkar di jari manisku. Cincin pertunanganku.
Epilog
“Tentara keamanan PBB akan segera
tiba di tempat ini membantu kita mengevakuasi para korban” Garcia meneriakkan pengumuman dari arah pintu keluar tenda pengungsian. Suasana di
dalam tenda sedikit rusuh karena cukup banyak orang yang terluka dalam
bentrokan antara tentara pemerintah dan pemberontak. Posko sukarelawan yang
membantu eksodus para pengungsi dari negara mereka ke negara tetangga yang kami
dirikan di dekat daerah perbatasan penuh dengan korban salah tembak dan korban
lemparan bom molotov yang tersasar di pemukiman. Suara sirene ambulans tak
henti-hentinya meraung-raung di luar tenda, pulang balik membawa para korban. Aku
nyaris kewalahan menangani beberapa orang sekaligus.
Tak berapa lama terdengar suara
gemuruh, sepertinya iring-iringan kendaraan besar yang datang mendekat. Pasti para
tentara keamanan. Aku bersiap mengangkut para korban yang sedang aku tangani,
menutupi luka mereka seadanya dulu sebelum dibawa ke negara tetangga untuk
diobati. Aku dengar sudah banyak dokter sukarelawan yang bersiap di sana.
Beberapa orang berseragam kemudian
masuk ke dalam tenda, tak lagi aku perhatikan dari negara mana mereka berasal. Dengan
sigap mereka mulai mengangkut satu persatu korban ke atas bak truk, sangat
sistematis dan rapi. Aku bahkan ikut mereka giring naik ke atas truk.
“Aku ingin tetap di sini. Mungkin
masih banyak lagi korban yang akan berdatangan” elakku saat mereka menarik
tanganku.
“Nona, kami diperintahkan oleh
PBB untuk mengevakuasi seluruh relawan mereka juga. Tempat ini sudah
benar-benar tidak aman. Perbatasan hanya dibuka selama 4 jam untuk kita. Kalian
semua harus segera meninggalkan tempat ini”
Melihat semua orang telah naik ke
atas truk, termasuk teman-temanku, dengan sangat terpaksa aku ikut pergi
bersama mereka. Aku mengambil tempat di dekat salah seorang anak yang terluka
agar selama perjalanan aku dapat mengurusnya.
Saat duduk terantuk-antuk di
dalam truk itu barulah aku sadar, beberapa dari tentara keamanan PBB yang mengevakuasi kami
berasal dari negaraku sendiri. Rasa bahagia luar biasa masuk ke dalam dadaku. Sudah
lama sejak aku ikut bergabung menjadi sukarelawan PBB di daerah konflik aku
tidak pernah lagi balik ke negaraku. Tapi melihat wajah-wajah mereka yang
tampak kelelahan dan serius, aku tidak berani menyapa mereka hanya sekedar
untuk bertanya bagaimana kabar negaraku. Sudah musim buah apa di sana? Atau bagaimana
harga cabe di sana? Aku takut pertanyaan-pertanyaan tidak penting itu
mengganggu mereka.
Sampai di rumah sakit,
aku ikut membantu menurunkan para korban. Anak kecil yang tadi duduk di dekatku
aku gendong masuk ke dalam. Seorang dokter langsung membantuku membawa anak itu
berbaring di atas brankar dan membuka kain yang menutupi lukanya.
Aku tahu semua itu sudah lama
berlalu, sudah 5 tahun sejak terakhir kami berpisah di tepian sungai itu, di
sebuah daerah perbatasan terpencil saat aku masih menjadi seorang tenaga
relawan pendidik di sebuah sekolah di tepi hutan. Dia tak banyak berubah, dari
yang aku ingat tentang sosok dirinya.
“Aku juga percaya takdir, tapi
aku tidak percaya kalau dia akan terjadi dengan sendirinya” katanya setelah
membersihkan dan menjahit luka anak itu. “Jadi setelah itu aku tetap mencarimu.
Sudah aku duga kita akan bertemu di sini. Aku tahu sejak dua tahun lalu kau
telah menjadi relawan PBB, sayang aku belum punya kesempatan untuk menemuimu. Tapi untuk membuat garis hidup kita saling bersinggungan, aku tetap harus melakukan sesuatu.”
Dia mengembalikan gunting yang
dipakainya menggunting perban ke atas tatakan aluminium kemudian memberikan
sebuah permen dari kantongnya kepada anak itu. “Jadi, bagaimana denganmu? Apa aku
telah berlalu? Apa karena kita terlalu lama diberikan kesempatan kedua sehingga
aku telah berlalu darimu?”
Aku menggeleng. Tidak. kataku dalam hati. Tentu saja tidak.
10.28 AM
Data dan fakta mungkin sedikit
tidak sesuai.
Comments
Post a Comment