Jilbab Itu Tempatnya Di Fisik, Bukan Di Hati
Awalnya saya belum ngeh apa itu
#WorldHijabDay meskipun banyak yang menggunakan hastag itu di timeline twitter
saya. Buka Facebook juga semua pada rame dengan World Hijab Day, buka recent
update di BBM juga ada seorang teman yang menulis status kalo hari ini hari WHD
(disingkat saja deh, capek nulisnya).
Berangkat dari grasak-grusuk di
sosial media itulah saya langsung googling tentang WHD dan menemukan info
kenapa WHD diperingati pada 4 September dari tweet @gadisberjilb. Pada 4 September 2004 diselenggarakan konferensi London yang dihadiri oleh Syaikh Yusuf Al Qardhawi dan lahirlah
International Hijab Solidarity Day (IHSD). Hal ini dilatarbelakangi oleh peraturan pemerintah London yang melarang mahasiswa menggunakan simbol keagamaan termasuk jilbab. Mengerikan
yah! Negara-negara Eropa yang menjunjung tinggi HAM malah melarang warganya
memperoleh hak mereka untuk menjalankan kewajiban agama. Saya merasa sangat bersyukur saat ini tak
ada apapun yang dapat menghalangi saya untuk menutup aurat saya dan menunjukkan
kecintaan saya pada Allah.
Mungkin memang kadang kita (saya)
lupa bersyukur pada banyak kemudahan yang diberikan oleh Allah. Tinggal di
negara yang mayoritas penduduknya muslim, diberi kebebasan dalam menjalankan
kewajibannya, bahkan di kantor saya pun tidak ada larangan untuk berjilbab
panjang. Berbeda dengan cerita beberapa orang teman yang dilarang berjilbab
panjang di tempat kerja mereka. Ya, sebenarnya saat saya telah memutuskan
sesuatu, saya tidak akan peduli pada apapun, termasuk mereka yang tidak
menyukai muslimah berjilbab panjang. Yang ribet saya kok, bukan mereka.
Dulu saat SMA sempat punya
keinginan memakai jilbab, karena ada teman yang memutuskan berjilbab lebih
dulu. Tapi saya masih dilarang oleh orang tua yang khawatir saya tidak
konsisten kemudian melepas jilbab yang sudah saya pakai. Saya nurut saja karena
saat itu perempuan yang suka lepas-pakai jilbabnya selalu jadi bahan gunjingan
orang lain. Dan kebetulan saya juga belum kuat mental untuk dijadikan bahan
pembicaraan.
Setelah lulus SMA saya pergi
kuliah di Manado. Keinginan memakai jilbab itu masih ada meski hanya setengah
hati. Dan tiba-tiba mama setuju saya memakai jilbab!
Kaget sih, kenapa tiba-tiba saya
diijinkan pakai jilbab padahal saya tidak terlalu ngotot untuk mengenakannya. Ternyata
karena saya selalu disangka non muslim oleh orang-orang. Waktu saya pergi
mendaftar kuliah bersama mama di Manado beberapa orang tidak percaya kalau saya
seorang muslim. Khawatir orang terus salah sangka dengan keyakinan saya
makanya saya langsung diijinkan untuk berjilbab. Dan memang saya merasa lebih
aman karena jika saya salah masuk tempat makan ada orang yang akan
memperingatkan. Meski begitu ada juga pengalaman tidak enaknya, terutama pas
diteriaki di pinggir jalan sama seorang bapak-bapak. Masa saya sama teman saya
diteriaki gini : sudah pernah makan b*bi kamu?
Saya sama teman sampai bengong,
antara kaget dan heran. Pernah juga saya sama teman lewat di depan warung makan
yang menyediakan b*bi. Ada orang iseng yang memanggil kami masuk ke dalam dan
bilang mau pesan dua porsi b*bi kemudian tertawa-tawa. Okelah, mungkin mereka
hanya iseng, tapi tetap saja saya risih dan sejak saat itu selalu berjalan
cepat-cepat setiap kali lewat di depan warung makan itu.
Ketika itu jilbab saya masih buka
tutup, pagi pake, sore buka. Sekarang amat sangat menyesal kenapa dulu saya
jadi alay gitu. Alhamdulillah semenjak mulai ikut-ikut ngaji dari HTI sampai WI
saya mulai belajar dikit-dikit cara pakai jilbab yang benar. Dimulai dari tidak
pernah lagi mengenakan celana panjang. Kemudian jilbabnya dipanjangin sedada,
setelah itu mulai pakai kaos kaki kalo kemana-mana. Tapi bajunya belom longgar
ding. Perlu waktu buat saya untuk menyesuaikan diri memakai jubah/abaya. Soalnya
keliahatan kaya ibu-ibu, modelnya lurus-lurus aja tanpa basa-basi dan
longgarnya minta ampun. Kalo mau dipake berdua juga kayanya masih pas. Alhamdulillah
lagi, sekarang malah keenakan pakai jubah. Praktis dan tidak ribet buat
memadu-madankan dengan warna jilbab. Cukup dua warna saja. Kalo dulu masih
pakai rok kan harus dipadu-padankan sama baju yang kita pakai, ribet
memadu-madankan tiga jenis kain yang berbeda.
Yang jelas saat ini diperlukan
komitmen dalam diri untuk mempertahankan jilbab yang sudah kita pakai. Itu yang
susah, karena kadang kalo lagi datang tidak beresnya saya biasanya suka ‘memangkas’
ukuran jilbab yang saya pakai. Dari yang panjangnya sepaha jadi seperut. Namanya
juga anak muda, kadang masih tidak tahan godaan liat jilbab ukuran medium yang
lucu-lucu dan keren dan tanpa sadar sudah kebeli #eaaa *jangan ditiru!*
Komitmen dan konsisten sambil
terus memperbaiki diri. Bukan yang penting menjilbabkan hati dulu, tapi yang
penting itu adalah menjilbabkan fisik kita dulu. Jilbab itu tempatnya di fisik,
bukan di hati. Justru hati harus dibuka agar bisa menerima bahwa menutup aurat
itu hukumnya wajib! Orang yang tidak berjilbab itu efeknya seperti asap rokok. Tidak
hanya membahayakan diri sendiri, tapi juga membahayakan orang lain bahkan tanpa
mereka sadari.
Duhai Rabb yang maha membolak-balikkan hati, tetapkanlah hati ini untuk
terus berada di dalam agamaMu yang lurus.
Wallahua’lam bishshawab.
13.32 PM
4 September 2012
#WorldHijabDay
Comments
Post a Comment