Dua Orang Guru Cilik


Kamis subuh,
Ketika sebuah ingatan yang telah tiga tahun lewat kembali menghampiri saya dan menampar saya, lagi.

Kejadian itu sudah lama berlalu, akhir tahun 2011. Sebuah kejadian yang mungkin bagi sebagian besar orang sebenarnya amat sepele, tapi itulah kejadian yang paling saya sesali sampai sekarang, sampai saat ini, bahkan sampai detik ini.

Saya tidak pernah menyangka akan bertemu dua orang yang bertahun-tahun kemudian membuat saya benar-benar mengerti apa itu syukur. Syukur yang bukan hanya sebatas lisan. Syukur yang bukan hanya sekadar merasa cukup.

Pada akhir tahun 2011 saya mengunjungi Bandung dan Jakarta.

Di dalam sebuah bis Damri di Bandung sudah lazim setiap lampu merah menyala akan naik satu dua orang pengamen jalanan, menyanyikan sebuah dua buah lagu kemudian setelah itu mereka akan berjalan di koridor bis menadahkan tangan meminta imbalan dari para penumpang. Pagi itu, dua orang anak laki-laki naik ke atas bis. Seorang anak yang lebih besar berpenampilan agak punk membawa gitar kecil bersama seorang anak laki-laki berkulit gelap, berusia lebih muda, berkaus putih kebesaran dan lusuh. Sebelum mulai mengamen, anak laki-laki yang lebih kecil itu memberi kata-kata sambutan. Suaranya agak serak, mengucapkan kalimat yang mungkin telah dia hafal di luar kepala dengan lancar. Bapak, ibu, ijinkan kami menghibur bapak dan ibu dengan sebuah lagu...bla bla bla. Saya tidak ingat lagi apa yang diucapkannya. Yang pasti anak kecil ini cukup pintar berpidato dan menarik perhatian saya. Dia kemudian menyanyikan sebuah lagu yang lagi-lagi saya lupa apa lagunya. Suaranya bagus, dan jujur saya suka mendengarnya. Setelah dia bernyanyi kemudian dia berkata lagi, demikian lagu dari kami. Semoga bapak dan ibu terhibur. Saya doakan semoga bapak dan ibu selamat sampai di tujuan.

Anak kecil itu kemudian berjalan di koridor bis menadahkan tangan kecilnya. Saya yang kebetulan duduk di tengah bis melihat tidak ada seorang pun penumpang di depan yang memberikan anak itu uang hingga akhirnya anak itu singgah di deretan kursi tempat saya duduk. Entah apa yang saya pikirkan saat itu, saya juga ikut-ikutan tidak memberikannya uang. Tapi pandangan saya terus saya arahkan pada anak itu hingga dia tiba pada penumpang paling belakang bis yang juga tidak memberinya uang. Dia turun lewat pintu belakang bis dengan tangan kosong.

Ada sesuatu yang membuat saya tiba-tiba merasa sesak. Saya memarahi diri saya sendiri. Menyesal kenapa tadi saya ikut-ikutan penumpang lain. Padahal saya seharusnya bisa memberi, mungkin bukan dengan niat karena dia seorang pengamen, tapi dengan niat untuk membantunya. Bisa saja pagi itu dia belum makan sama sekali dan uang seribu dua ribu bisa jadi sangat membantunya.

Sepanjang sisa perjalanan saya menyembunyikan wajah saya di balik tas dan menangis diam-diam. Saya sungguh malu pada diri saya sendiri.

Kejadian ke dua berlangsung beberapa hari setelah itu, di kota yang berbeda.

Saya ke Jakarta.

Keluar dari mall Thamrin City hujan turun dengan sangat deras. Di depan mall, saya dan teman saya berdiri menunggu hujan reda. Tak lama kemudian tampak serombongan anak kecil, basah kuyup membawa payung berdiri di depan mall. Pertama kalinya saya melihat langsung anak-anak kecil yang berprofesi sebagai ojek payung. Sebenarnya kami tidak terlalu butuh ojek payung karena di parkiran yang tak jauh dari tempat kami berdiri banyak berjejer bajaj yang bisa kami panggil. Tapi saya memanggil seorang anak laki-laki yang berdiri tidak jauh dari kami. Dia mengantar kami hingga ke tempat bajaj-bajaj itu parkir. Membantu kami menawar ongkos bajaj, kemudian membukakan pintu bajaj dan mempersilahkan kami naik. Tak mau menyesal seperti kejadian dalam bis beberapa hari sebelumnya, saya membayar lima ribu rupiah untuk jasa ojek payungnya. Anak kecil itu tampak senang sekali melihat lembaran uang yang mungkin tidak seberapa bagi orang lain. Kemudian dia berlalu pergi setelah mengucapkan terima kasih.

Ketika bajaj kami berlalu, di dalam bajaj kembali saya menangis diam-diam. Kembali saya merasa sangat menyesal dan malu pada diri saya. Kenapa saya begitu pelit? Lima ribu rupiah untuk anak kecil yang tinggal di kota sekejam Jakarta? Padahal baru kemarin saya menghabiskan uang dua ratus lima puluh ribu rupiah demi selembar tiket VIP pertandingan sepak bola SEA Games di GBK. Lima ribu rupiah untuk seorang anak kecil yang mungkin saja butuh buku-buku untuk belajar?

Saya merasa sesak. Kota besar memang bukan tempat yang nyaman untuk dijadikan rumah.

Hari ini kembali ingatan tentang dua anak itu kembali menghampiri saya. Sudah tiga tahun lewat. Saya masih berharap bisa bertemu dengan dua anak itu lagi. Berterima kasih karena mereka telah menjadi perantara dari Allah untuk ‘menampar’ saya. Dua kali. Bahkan hanya selisih beberapa hari. Mereka membuat saya malu untuk tidak bersyukur. Membuat saya malu untuk merasa cukup, karena sesungguhnya apa yang telah Allah berikan lebih dari cukup. Bisa jadi sebenarnya kita cukup dengan satu mata untuk melihat, tapi Allah memberi dua. Bisa jadi sebenarnya kita cukup dengan sekali makan setiap hari tapi Allah memberi kita kemampuan untuk makan tiga kali sehari. Bisa jadi sebenarnya kita hanya cukup dengan satu telepon genggam, tapi Allah memberi dua bahkan tiga. Pemberian dari Allah selalu lebih dari cukup, bukan hanya sekadar cukup.

Semoga cukup satu kejadian itu saja yang membuat saya menyesal hingga saat ini. Berbuatlah selagi kita bisa, bukan selagi kita mau.

Fabiayyi alaa irobbikuma tukadzdziban
Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?

Kamis subuh,

26 Ramadhan 1435 H 

Comments

Popular posts from this blog

Pierre Tendean (Lagi-lagi)

Antara Pierre Tendean dan Hiruk Pikuk Jalanan Di Depan Kantor

Saya dan Tahun 60-an