Louloudi
“There was a mysterious chasm between this
island and the greater world, just like there was between old and young,
ancient and new.”
(The
Sisterhood of the Traveling Pants)
Santorini, Agustus yang hangat
Aku menyusuri lorong dengan jalanan berundak
dan menanjak, sisi kiri dan kanan dipagari oleh dinding-dinding rumah yang
semuanya dicat berwana putih dengan daun jendela berwana biru cerah. Di
tanganku tergenggam sehelai kertas putih kusut bertuliskan alamat sebuah
penginapan yang akan aku tinggali di Oia, sebuah desa di pulau Santorini. Louloudi. Begitu nama penginapan yang
tertulis di atas kertas. Aku yang sama sekali tidak bisa membaca abjad Yunani
telah mengelilingi nyaris seluruh bagian desa ini demi melihat sebuah papan
nama yang bertuliskan Louloudi atau minimal deretan huruf yang mendekati kata
‘louloudi’ itu. English please...
Aku menyeka peluh. Meski cuaca di Santorini
tidak sepanas Indonesia, berjalan memanggul sebuah carrier 50L dan berputar-putar tanpa arah sejak satu jam yang lalu
cukup menguras keringat. Sedikit menyesal kenapa aku memilih guest house yang benar-benar low budget sehingga bahkan foto guest house-nya hanya sebuah foto ruang
tamu dan sebuah foto kamar tidur. Sisanya blank.
Jangan-jangan pemiliknya juga tidak bisa berbahasa Inggris. Ditambah telepon
genggam yang mati sejak aku masih di kapal feri plus bahasa yunaniku yang
mengerikan, aku hanya bisa berdoa Tuhan mempertemukan aku dengan seorang pria
yunani keren yang akan mengantarkan aku ke Louloudi atau apalah namanya itu.
“Hi, any problems?”
Sebuah suara mengagetkan aku yang sedang
berdiri diam dan tercenung memandang kertas kusut di tanganku.
Aku mengangkat wajah dan di depanku telah
berdiri seorang pemuda, dengan tinggi yang sangat tinggi – dia benar-benar
tinggi hingga aku harus mendongak. Atau aku yang terlalu pendek? Rambutnya ikal
berwarna coklat dan lebat, kulitnya pun coklat dan mata yang berwarna coklat.
Pria coklat, itu kesan pertamaku ketika melihatnya. Dia mengenakan kaus oblong
berwarna biru pudar dan celana jeans selutut. Di bahunya yang tegap bertengger
sebuah peti kayu kecil yang isinya adalah tumpukan anggur.
“May I help you?” tanyanya lagi.
“Eh, iya” jawabku buru-buru “aku mencari
penginapan Lou...Lau...Lauou...”
“Louloudi?” potongnya.
Aku mengangguk kencang. Dia tersenyum
kemudian memberi isyarat agar aku mengikutinya.
Doa seorang musafir memang amat cepat dikabulkan oleh Tuhan. Aku dipertemukan dengan seorang penolong yang bisa berbahasa Inggris dan... keren. Apa tadi aku belum bilang kalau pria coklat pemikul peti anggur ini keren?
Kami berhenti di depan sebuah rumah berpagar
tembok tinggi yang menutupi hampir seluruh bangunan di baliknya dengan sebuah
pintu kayu besar di tengah. Dahiku berkerinyit. Bangunan ini lebih mirip
penjara daripada sebuah guest house
dengan rating yang lumayan meski tidak masuk dalam daftar rekomendasi kitab
suci para traveler, Lonely Planet.
“Kamu yakin ini penginapan
Lou...Lau...Loauo...”
“Iya” jawabnya optimis kemudian menunjuk
sebuah papan nama kayu yang ditempel ogah-ogahan di atas pintu gerbang.
Aku mendongak dan percuma saja, aku tidak
bisa membaca apa yang tertulis di sana kecuali sebuah deretan huruf yang
mengingatkanku pada pelajaran fisika.
Pria coklat itu mendorong pintu kayu besar
yang menderit ketika terbuka, dan apa yang aku lihat di balik pintu kayu besar
itu membuatku tidak bisa protes atau berucap apa-apa lagi. Ini bukan guest house, tapi ini surga-nya Oia
dengan pemandangan yang spektakuler.
Kakiku melangkah gugup memasuki halaman rumah
beralas susunan batu berwarna putih. Di halaman rumah yang mungil terdapat
sebuah meja bundar dan tiga buah kursi kayu yang dicat berwarna putih menghadap
ke hamparan laut biru berkilau di bawah sana. Ya, di bawah sana. Karena tempat
ini terletak tepat di tepi tebing tinggi.
Rumahnya beratap rendah, juga dicat serba
putih dengan daun jendela dan pintu berwarna biru cerah. Pintunya melengkung
dan di pojok halaman tumbuh sebatang pohon salem. Pot-pot bunga cantik berderet
di depan rumah juga ada yang tergantung di dinding pagar beton, bersusun-susun
bak prajurit siap perang.
Bukankah tempat ini terlalu
mewah dibanding harga sewa kamar per harinya plus makan tiga kali sehari? Tapi
siapa yang peduli. Aku cukup beruntung kali ini.
***
“Kenapa harus Santorini lagi?” tanya Nadia menyelidik. Aku hanya
tersenyum simpul kemudian menenggak habis sari buah milikku yang tinggal
separuh.
“It’s not about him, is it?”
Aku masih tersenyum.
Nadia menepuk bahuku.
Wajahnya berubah serius. “I don’t think it will work out.”
“So do I” jawabku pelan.
***
Si pemikul peti anggur itu, aku lupa
menanyakan namanya. Begitu aku menjejakkan kaki ke halaman guest house Louloudi ini tau-tau dia sudah menghilang.
Terdengar bunyi bel berdenting ketika aku membuka
pintu penginapan. Aku melihat sekeliling ruang tamu yang telah disulap menjadi
lobby tanpa meninggalkan kesan ruang tamu sama sekali. Di tepi jendela yang
terbuka sebuah sofa nyaman diletakkan dengan tumpukan majalah di depannya dan
sebuah rak buku tinggi di samping kanannya. Isi rak itu tampak meluber.
Seorang pria berambut kelabu dengan wajah
ramah muncul dari balik tirai kerang yang memisahkan ruang tamu dan ruang
duduk. Dia tersenyum dan melambai kemudian berjalan menuju lobby.
“Tempat Anda sangat indah” pujiku sambil
menyerahkan bukti booking kepadanya.
Pria tua itu hanya tersenyum sambil mengetikkan sesuatu pada laptop di
depannya.
“Enjoy your time here, Miss Rafa” dia
menyerahkan padaku sebuah kunci “mau saya antara ke ruangan Anda?”
Aku menggeleng “tidak usah. Aku mau
melihat-lihat isi rumah ini sebentar. Bisa kan? Ahya, panggil saja saya Rafa
dan Anda adalah...”
“Mr. Evzen” jawabnya “dan tentu saja kau
boleh melihat-lihat isi rumah ini.”
***
Aku membuka buku sketsaku dan mengambil
pensil dari dalam tas. Dari balik jendela kedai teh tempat aku menghabiskan
pagi ini aku melihat punggung seorang pria yang tampak sangat menawan dilatari
sebuah kapal nelayan yang ditambatkan dan beberapa orang yang berseliweran
memanggul ikan hasil tangkapan kapal itu. kausnya berwarna hijau gelap dan
sebuah topi menutupi rambutnya. Angin berhembus cukup kencang.
Lama aku memandangi punggung itu sebelum aku
memutuskan untuk memindahkannya ke atas kertas sketsa. Tanganku bergerak-gerak
menggambar bentuk punggung, kapal, orang-orang yang lewat, sambil sesekali
menggosok hidungku dengan punggung tangan. Gejala flu.
Gambarku nyaris selesai tepat ketika pemilik
punggung itu membalikkan badannya. Aku terkejut dan terburu-buru mengangkat
buku sketsaku hingga menutupi wajah.
“Hai” tiba-tiba pria itu sudah ada di dalam
kedai dan berdiri di depanku “aku sudah melihatmu sejak masuk di kedai ini
tadi. Tapi aku takut mengganggumu. Kau tampak serius menggambar.” Pria coklat
pemikul peti anggur itu menunjuk buku sketsa yang sedang aku pegang “apa yang
kau gambar? Boleh aku lihat?”
Aku menggeleng dan buru-buru memasukkannya ke
dalam tas.
“Ferris” dia mengulurkan tangannya.
Aku memandangnya sejenak sebelum menyambut
uluran tangannya. “Rafa” kataku menjabat tangannya erat. Pria coklat ini jelas
tau bagaimana memberi jabatan tangan yang hangat dan bersahabat.
***
“Apa pekerjaanmu? Nelayan? Pemilik kebun
anggur?” tanyaku pada Ferris yang kini telah duduk di depanku, menggenggam
cangkir teh di antara jemarinya.
“Menurutmu?” dia menelengkan kepalanya.
“Hmm...tentara yang sedang libur tugas?”
Ferris terbahak. Dia meletakkan cangkir teh
ke atas meja kemudian terbatuk. “Kau benar soal libur tugas itu. Tapi aku bukan
tentara, meskipun bekerja di tempat yang sama dengan mereka.”
“Maksudmu?”
“Aku wartawan khusus daerah konflik dan
perang”.
Ferris tersenyum ketika mengatakan hal itu
seolah pekerjaannya sama monotonnya dengan menjadi seorang teller bank.
“Dan aku separuh Yunani separuh Turki. Ayahku
di sini, ibuku di Ankara. Aku kesini untuk berlibur tapi dia malah menyuruhku
mengurus kebun anggur dan kapal nelayannya.” Ferris mengambil kembali cangkir
tehnya “dan tanpa bayaran.”
Kali ini giliranku yang tertawa.
***
“Rafa, namamu lebih seperti orang Amerika
selatan daripada Indonesia” ucap Ferris sambil membuka-buka buku sketsaku.
“Aku juga tidak tau kenapa orang tuaku
memberi nama itu. Rafa saja. Waktu aku kecil aku sering dipanggil Rafael oleh
teman-temanku.”
“Kau sangat pintar menggambar. Aku suka”
Ferris masih belum melepas pandangannya dari gambar-gambar yang aku buat.
Sampai dia tiba di gambar yang paling akhir. “Ini...punggung orang ini
sepertinya tidak asing.” Dia bergumam.
Aku langsung mengambil buku sketsa itu dari
tangannya.
“Ini gambar yang aku buat beberapa hari yang
lalu” kataku buru-buru “dan aku seorang kurator...”
“Galeri seni?”
Aku mengangguk.
“Waw...sebuah profesi yang menawan.”
“Tidak jika kau belum pernah merasakan
bagaimana rasanya dikejar-kejar para kolektor seni.”
“Well, paling tidak kau tidak akan dikejar
oleh pemberontak, tentara, atau bahkan peluru."
Aku mengangkat cangkir tehku “bersulang untuk
profesi kita yang luar biasa”. Terdengar bunyi denting porselen yang saling
beradu pelan.
***
“Kenapa kau lebih memilih tinggal di Turki
daripada di Yunani?” aku mengiris pancake di depanku.
“Aku lahir di Ankara. Tidak ada alasan
filosofis lain selain aku lebih merasa Turki daripada Yunani. Hmm...dan mungkin
juga karena Turki punya kebab...” Ferris tersenyum, ikut memotong pancake
miliknya “dan karena Turki khususnya di Ankara, aku memiliki rumah yang
benar-benar terasa rumah. Aku punya ibu yang menyambutku pulang dari meliput di
tempat yang jauh, aku punya paman dan bibi yang senang mendengar
cerita-ceritaku ketika meliput, dan aku punya...”
“Seorang istri?” tebakku.
“I’m a divorcee” Ferris mengunyah pancake
“setahun yang lalu ketika aku pergi meliput ke Afghanistan.”
“Oh...aku minta maaf...”
Ferris mengangkat bahunya “hidup terlalu
seperti roller coaster buatku. Semuanya mengejutkan, sensasinya tak tertebak,
dan yah...ada satu titik yang bisa membuatmu mual bahkan muntah.”
“Oh, stop it!” aku meletakkan pisauku dan
memandang ke luar jendela. Ferris tertawa santai dan melanjutkan kunyahannya.
***
“And you?” tanya Ferris.
“Guess!”
Ferris tampak berpikir sejenak kemudian
melirik jemariku. “You wear a fake wedding ring” Ferris tertawa, menunjuk
sebuah cincin platina yang melingkar di jari manis tangan kananku.
“Hey you! Bagaimana kau bisa tau ini hanya
cincin biasa? Aku memang sering memakai cincin ini kalau pergi traveling
sendirian. Buat jaga-jaga.”
“Hmm...biar aku tebak. Kau seorang perempuan akhir dua puluhan,
punya pekerjaan yang mapan dan menawan, suka jalan-jalan tapi sayangnya tidak
ada yang menemanimu kemana-mana kecuali teman-temanmu yang sangat sibuk. Kau
pergi ke satu tempat dengan A kemudian pergi ke tempat lain dengan B. Kau tidak
punya teman seperjalanan yang tetap, dan hmm...apalagi ya. Ini pertama kalinya
kau ke Santorini...”
Aku bertepuk tangan pelan “hebat, tuan
detektif. Siapa sebenarnya kau? Miss Marple? Hercule Poirot?”
Ferris tertawa, “aku wartawan, ingat? Aku terbiasa
mengamati dan menganalisa”
“Tapi kau wartawan perang”
“Dan kau adalah kubu yang mudah ditebak oleh
lawanmu” dia kembali tertawa “dalam arti yang positif” dia menambahkan.
“Tidak” gumamku “buktinya dia tidak mau
mengerti aku dan pergi begitu saja...”
“Dia siapa?”
“Ah...lupakanlah. Hanya seseorang yang tidak
penting” aku tersenyum “aku harus pulang.”
Aku membereskan barang-barangku, memasukkan
pensil, rautan, dan buku sketsa ke dalam tas.
“Semoga kita bertemu lagi” Ferris menjabat
tanganku.
***
“Selamat malam Rafa” Mr. Evzen menyapaku “di
luar ada tamu yang mencarimu.”
“Siapa?”
“Entahlah, aku juga baru melihatnya di sini.
Dia menunggu di luar, tidak mau disuruh masuk.”
Aku berjalan ke luar, ke arah meja bundar
dengan tiga buah kursi di tengah halaman. Tampak Ferris duduk di salah satu
kursi itu, mengenakan sweater rajut warna hijau yang dipadukan dengan kemeja
lengan panjang warna coklat dan celana jeans pudar panjang. Dia jauh lebih rapi
dibanding siang kemarin ketika kami bertemu di kedai teh.
“Tunggu, biar aku tebak. Kau kesini, dengan
pakaian rapi seperti ini, pasti ingin digambar ya?”
Ferris tertawa, dia berdiri dari kursinya dan
menghampiriku. “Ayo, duduk.”
Aku duduk di samping Ferris, sama-sama
memandangi lautan di bawah sana yang kini berwarna kehitaman.
“Darimana kau bisa menemukan tempat sekeren
ini?”
“Sedikit keberuntungan. Ini tempat termurah
yang aku temukan di internet.”
“Termurah dan tercantik. Dua kombinasi yang
jarang kita temukan di hostel mana pun di dunia ini.”
“Kau benar” aku mengetuk-ngetuk jemariku ke
permukaan meja “jadi kenapa kau tiba-tiba kesini?”
“Hanya ingin bertemu denganmu” dia tersenyum
“I like the way we talk to each other.”
“Kau orang pertama yang bilang seperti itu. Teman-temanku
malah menyuruhku diam, katanya aku terlalu banyak bicara hal-hal yang tidak
mereka mengerti. Termasuk dia...”
“Dia lagi. siapa dia?”
“Lupakan saja. Jadi kau ke sini hanya
untuk bertemu denganku? Tidak ada alasan lain? Urusan lain? Keperluan lain?”
Ferris tersenyum, dia memandangku “iya, aku ke
sini hanya ingin bertemu denganmu. Bisa kau temani aku duduk di sini? Dari sini
pemandangannya luar biasa indah.”
“Iya, baiklah. Aku temani. Kau mau minum
sesuatu? Biar aku minta tolong Mr. Evzen membuatkannya” aku berdiri dari
kursiku.
“Tidak usah” dia menahan tanganku yang akan
pergi masuk menemui Mr. Evzen “temani saja aku duduk di sini.”
Aku urung pergi, kembali duduk dan memandangi
Ferris. “Kamu kenapa? Apa terjadi sesuatu?”
Ferris menggeleng. Setelah itu kami berdua
hanya duduk diam memandangi lautan, tak berbicara sedikit pun. Ini pertama
kalinya aku hanya duduk dengan seseorang, berjam-jam, tanpa bicara apa pun.
***
Rasanya aku seperti bisa mendengar bunyi
desir lautan di bawah sana karena keheningan yang memayungi kami berdua
benar-benar sempurna. Ferris tak berbicara apapun, sama sekali. Dia bersandar
di kursi, bersedekap. Rambutnya yang lebat sedikit bergoyang diterpa angin. Aku
memerhatikannya sesekali, memandangi wajahnya yang, aku tidak menyebut dia
tampan, tapi matanya benar-benar bagus. Raut wajahnya pun mampu menunjukkan
kalau dia orang yang dewasa dan terkendali. Dan dari semua itu, aku suka
melihatnya tersenyum, seperti saat pertama kali kami bertemu dan dia tersenyum
padaku.
“Kau mau pergi ke festival Ifestia bersamaku
besok malam?” Ferris memecah keheningan yang baru saja mulai aku nikmati dengan
caraku sendiri.
“Festival apa?”
“Ifestia” ulang Ferris “kembang api, kuliner,
tarian tradisional...”
Aku memandangnya sangsi.
“Kenapa? Kau tidak suka?"
“Eh...tidak. bukan itu. tapi...ini bukan semacam
kencan kan?”
Ekspresi wajah Ferris tampak berubah
sebentar, tapi setelah itu dia tertawa. “menurutmu jika seorang teman mengajak
temannya ke festival, berdua saja, apa itu bisa dibilang kencan?”
Aku mengangkat bahu “tidak begitu juga sih.
Tapi...baiklah. Kau jemput aku di sini ya!”
Ferris menggeleng “ini bukan kencan, kenapa
aku harus menjemputmu?” dia nyengir “kita bertemu di kedai teh tempo hari.
Bagaimana?”
Aku meninju bahu Ferris. “Baiklah...teman...”
***
Mr. Evzen tersenyum melihat ke arahku yang
melintas di depannya.
“Gab, don’t you think that Rafa looks
adorable tonight?” tanya Mr. Evzen kepada Gabrielle, cewek Kanada yang baru
menginap di Louloudi kemarin tapi sudah cukup banyak informasi yang dia kumpulkan dari Mr. Evzen tentang aku dan Ferris. Dia sedang asyik membaca buku di atas sofa.
Gabrielle menurunkan buku di depan wajahnya
dan melirikku “Dia akan pergi kencan, pasti.” Ucapnya seolah-olah aku tidak
sedang berdiri di depan mereka.
Aku tertawa “kalian tidak pergi ke festival
Ifestia?”
Gab mengangkat bahunya “aku tidak sedang
janjian dengan seseorang, jadi tidak masalah kalau aku datang terlambat.”
Mr. Evzen tergelak. “Sudahlah Gab, jangan
menggodanya terus” belanya, padahal dia yang lebih dulu memancing pembicaraan
tentang kencan ini. “Rafa, pergilah. Ferris pasti sudah menunggumu di sana.
Jangan terlambat pada kencan pertamamu. Itu peraturan di Santorini.”
Kali ini giliran Gabrielle yang tergelak.
Buru-buru aku melambai kepada mereka berdua
dan berjalan ke arah pintu keluar. Tapi ketika kakiku baru saja melangkah
keluar pintu, terdengar bunyi berdebam disusul jeritan Gabrielle. Aku berbalik
dan melihat tubuh Mr. Evzen telah terbaring di atas lantai.
“Kita harus bawa dia ke rumah sakit!” ucap
Gabrielle dengan nada panik.
“Kita berdua?” ulangku.
“Sebentar, biar aku cari pertolongan di
luar.”
Gabrielle berlari ke luar, sementara aku
berjongkok di sisi tubuh Mr. Evzen yang tak bergerak sama sekali. Jangan mati, aku mohon. Aku berbisik
dengan suara bergetar menahan tangis.
***
“Kau pergilah, aku baik-baik saja” Mr. Evzen
mendorong tanganku yang masih memegang tangannya “kau ada janji kan?”
Aku menggeleng. Rasanya tidak adil kalau aku
harus pergi demi sebuah ‘kencan’ – aku ragu ini kencan atau bukan – dan Mr.
Evzen terbaring di rumah sakit karena serangan stroke ringan. Meski Gabrielle
sudah meyakinkan aku kalau dia akan menjaga Mr. Evzen, aku tetap menggeleng.
“Gab, suruh Rafa pergi. Aku tidak ingin
melihatnya di sini. Aku ingin tidur” Mr. Evzen memunggungiku.
Tanganku ditarik oleh Gabrielle keluar dari
ruangan. “Pergilah. Tidak apa-apa. Ada aku, Mr. Evzen akan baik-baik saja. Lagipula
di sini ada selusin dokter dan puluhan perawat yang bisa aku teriaki kalau ada
apa-apa dengan Mr. Evzen.”
“Tapi...” aku mencoba berargumen.
“Rafa” potong Gabrielle “apa kau tidak
berpikir, mungkin saja Ferris adalah pemilik sisi benang merah yang satunya lagi? Kau tidak ingin mencari tahunya?
Kau tidak ingin tau, kenapa harus sejauh ini, ke Santorini ini, untuk kalian
berdua bertemu? Kenapa kalian tidak bertemu di Turki saja? Atau dia ke
Indonesia...?”
Ucapan Gabrielle tampak tidak masuk akal
bagiku. Tapi mau tidak mau aku mengangguk, melirik jam tanganku sekilas. Aku
sudah terlambat tiga jam dari perjanjian. Seketika aku berlari menyusuri lorong
rumah sakit yang sepi.
***
Ferris benar, kembang api malam ini sangat
indah. Aku berdiri mematung di depan kedai teh yang sudah tutup, memandangi
sisa-sisa kembang api yang masih berpendar di angkasa. Festival sudah usai, dan
aku tidak bertemu dengan Ferris di kedai teh ini.
***
Rumah milik ayah Ferris sama seperti seluruh
rumah lainnya di Oia. Cat putih dengan warna jendela dan pintu yang berwarna
biru. Rumah itu terletak di sisi katedral yang tampak mencolok dengan kubah
berwarna birunya. Meski ragu, aku akhirnya mengetuk pintu gerbang rumahnya.
Seorang pria tua, masih sehat, mungkin seusia
Mr. Evzen yang membukakan pintu. Dia memakai celemek warna merah kotak-kotak.
Rambutnya berwarna coklat bercampur kelabu di akar rambutnya. Dia lupa mengecat
ulang ubannya.
“Ada yang bisa aku bantu?” tanyanya
memandangku heran. Dari ekspresi wajahnya pria ini sepertinya jarang menerima
seorang tamu di rumahnya. Dan kini di depannya telah berdiri seorang perempuan
asia, pendek, berkulit sawo matang dengan banyak gelang karet berwarna hitam
yang melingkar di pergelangan tangannya yang mungil.
“Apa Ferris...”
Belum selesai aku berbicara, pria itu
kemudian berseru, “Oh..Rafa? silahkan masuk. Maaf, aku tidak mengenalmu. Ferris
tidak bilang kalau kau orang Asia. Nama Rafa terdengar sangat Spanyol bagiku.
Ayo, masuk. Aku ayah Ferris” dia menyalami tanganku.
Aku ikut masuk ke dalam rumahnya.
“Tadi aku sedang membuat pancake ketika kau
datang. Maaf kalau tanganku masih berlumur tepung. Tapi syukurlah kau datang,
aku punya teman yang akan menghabiskan pancake bersamaku” ayah Ferris terkekeh.
“Ferris, apa aku bisa bertemu dengannya?”
Tiba-tiba langkah ayah Ferris terhenti. Dia
berbalik memandangku yang berjalan membuntutinya. “Ferris tidak bilang?”
Aku menggeleng, “bilang apa?”
“Semalam dia sudah balik ke Ankara. Ada
panggilan mendadak dari kantornya, kerusuhan di Kairo. Dia harus meliput.
Begitulah dia, selalu datang tiba-tiba, perginya pun tiba-tiba. Kalau sudah
begitu, aku tidak tau kapan dia akan datang lagi kemari. Tapi kalau dunia
sedang aman, biasanya dia akan datang ke sini” ayah Ferris terkekeh.
“Bisa aku minta alamat emailnya?” tanyaku
sambil mengambil ponsel dari dalam tas.
“Apa itu?” dahi ayah Ferris berkerut.
“Ah, lupakan. Kalau nomor teleponnya?
Alamatnya? Apa pun itu yang bisa menguhubungkan dengan dia?”
“Aku sudah tua, aku tidak ingat nomor telepon
Ferris. Dia yang selalu menghubungiku duluan...”
“Tapi bapak pasti mencatat nomornya kan?” aku
masih mendesak.
“Dia bilang kau tidak datang tadi malam” nada
suara ayah Ferris tiba-tiba berubah aneh. “Kenapa?”
“Eh..itu...aku, ada sedikit masalah...”
“Jadi aku rasa kau tidak memerlukan nomor
telepon Ferris” ayahnya tersenyum kepadaku. Dia kembali melanjutkan langkah
kakinya. Aku berdiri diam, tidak lagi membuntutinya.
***
Nadia mengetuk pintu kamarku. Aku bangkit
dari depan laptop dengan malas-malasan, membukakannya pintu dan tanpa
dipersilahkan, dia langsung masuk ke dalam kamarku. Berbaring menjajah seluruh
tempat tidurku dan mencubit-cubit boneka panda raksasaku yang menurutnya sama
persis dengan adik bungsunya yang gendut itu.
“Aku sudah ambil cuti. Kita jadi backpacking
ke Maldives kan?”
Aku menghembuskan nafas. “Apanya yang
backpacking kalau Maldives tujuannya? Maldives itu liburan mewah, tauk!”
“Tapi kan pasti ada penginapan murah di sana.
Atau rumah penduduk. Atau kita pasang tenda. Tidak usah sampai nginap di hotel
mahal tengah laut itu.” Nadia memuntir lengan Panda.
“Yang lain deh. Maldives tuh tempat buat
nyantai. India saja? gimana?”
Nadia menarik hidung Panda. “India? Ngapain?
Ketemu Ranbir Kapoor?”
Aku tertawa “tunggu aku cek dulu tiketnya ya.
Hey! Jangan gigit telinga Panda!” aku melempari Nadia dengan bantal.
Asyik buka-buka web maskapai penerbangan demi
mencari tiket pesawat termurah yang bisa kami dapat, tiba-tiba kursorku
berhenti pada sebuah banner berwarna mencolok, di sana tertulis besar-besar :
tiket promo Bangkok – Athena. Transit di Istanbul. Damn you, Ferris! Dua tahun aku berusaha melupakan Santorini dan
Oia, sekarang aku malah bertemu dengan takdir lainnya. Penerbangan ke Yunani
dan singgah di negaramu. Tanpa sadar tanganku mengeklik banner itu.
“Nadia...” panggilku.
“Hmm...? kenapa? Sudah dapat tiketnya?”
“Kita ke Santorini yuk!”
Aku melihat Nadia nyaris tersedak kuping
Panda.
***
29 Agustus
Nadia menarik tanganku agar ikut menari
bersama beberapa orang yang mengenakan baju tradisional Yunani. Mereka menari
secara melingkar, ditemani tiga orang pemain musik yang masing-masing memainkan
violin, lira dan lauto. Tarian nisiotika yang menjadi salah satu andalan
festival Ifestia.
Ini festival Ifestia ke dua dalam hidupku.
Yang pertama tidak begitu berjalan baik.
Louloudi sudah tutup beberapa bulan setelah
aku meninggalkan Santorini. Anak-anak Mr. Evzen sudah mengajaknya tinggal di
Athena dan merawatnya. Aku sudah tidak bertukar kabar lagi dengan Gabrielle
karena kesibukan kami masing-masing. Tapi ada satu orang yang entah kenapa,
ingatanku tentangnya mampu membawaku kembali ke sini lagi. Aku tidak yakin akan
bertemu dia di sini. Saat ini dunia sedang tidak aman. Aku tidak heran kalau
dia sekarang mungkin sedang berada di perbatasan Rusia – Ukraina.
“Aku tidak mau Nadia” aku menepis tangannya
dan memelototinya “aku mau menunggu kembang api dari sini saja.”
Nadia cemberut, tapi kemudian dia
meninggalkan aku sendirian di pojok kedai teh tepi jendela menikmati pancake
milikku. Aku bisa melihat kembang api dari sini.
Hari sudah semakin larut tapi masih banyak
orang yang lalu-lalang berjalan kaki menikmati festival Ifestia. Aku mengeluarkan
buku sketsaku dan mulai menggambar punggung-punggung orang yang lalu lalang.
Aku asyik menggambar sampai mataku menangkap
kelebatan punggung yang sepertinya aku kenal. Tiba-tiba rasa gugup merambati
tanganku yang sedang memegangi pensil. Itu punggung miliknya.
Dia berdiri memunggungiku, bersandar pada
pagar batu sambil memandangi kembang api yang berpendar-pendar di langit. Bergegas
aku menggambar punggungnya dan membuat garis pada rambutnya yang kini lebih
panjang daripada setahun yang lalu, nyaris menyentuh bahu.
***
“Aku pikir kau tidak akan datang ke sini. Banyak
perang terjadi...”
Ferris tersenyum. “Aku sudah berjanji akan
mengajakmu ke festival ini tahun lalu. ingat? Jadi aku ingin melunasi janjiku hari
ini.”
“Bagaimana kalau aku tidak datang ke sini
hari ini?”
“Aku yakin kau akan datang” Ferris
mengedikkan bahunya “entahlah, aku benar-benar yakin kau akan kesini lagi.”
Aku tersenyum, memberikan padanya gambar
punggung miliknya yang baru saja aku selesaikan.
***
29 Agustus
Al Jazeera. Berita tentang seorang wartawan
Turki yang tanpa sengaja terbawa arus pertempuran di selatan Aleppo.
Ada beberapa bagian yang perlu dipertajam sedikit. Misal di bagian ini:
ReplyDelete*****
“Hi, any problems?”
Sebuah suara mengagetkan aku yang sedang berdiri diam dan tercenung memandang kertas kusut di tanganku.
*****
Bahasa inggris bukan bahasa yang familiar dan terlafal dengan jelas di negara-negara mediteran semacam turki, yunani, itali, siprus dan semacamnya. Saya pernah ngobrol langsung sama orang eropa non berbahasa inggris dan biasaya kemampuan bahasa inggris mereka lumayan buruk dan susah untuk dimengerti. Well, actually bahasa inggris saya juga sama bahkan lebih buruk kok, hahaha...
Mungkin perlu ditambahin kalimat kayak begini supaya bisa lebih mempertajam suasana eropa-nya:
****
“Hi, any problems?”
Sebuah suara (laki-laki dengan bahasa Inggris yang nyaris sempurna) mengagetkan aku yang sedang berdiri diam dan tercenung memandang kertas kusut di tanganku.
****
atau di bagian ini:
“Hai” tiba-tiba pria itu sudah ada di dalam kedai dan berdiri di depanku “aku sudah melihatmu sejak masuk di kedai ini tadi. Tapi aku takut mengganggumu. Kau tampak serius menggambar.” Pria coklat pemikul peti anggur itu menunjuk buku sketsa yang sedang aku pegang “apa yang kau gambar? Boleh aku lihat?” (dengan logat bahasa inggrisnya yang bla bla bla kayak yang di awal tadi, terserah mau diistilahin kayak "suara marlon brando saat berperan sebagai don corleone" kek, atau "suara apaan" kek. Semacam itu lah, susah juga saya ngungkapinnya, hehe)
****
Selebihnya cerita ini bagus. Tinggal dikumpul2 trus dibikin buku deh.
Ini gimana mau reply ya. Haha
ReplyDeletePertama-tama saya ucapkan terima kasih sudah berkesmpatan mbaca cerpen saya ini.
Skip
Skip
Soal aksen mereka, iya, saya kurang perhatikan. Mungkin karena sudah terlalu 'terpana' sama wartawan yang sering wara wiri ke luar negeri dengan bahasa Inggris yang lancar. Tapi pernah dengar juga sih orang Yunani pake bahasa Inggris. Memang agak-agak kaku gimana gitu aksennya.
Terima kasih buat sarannya. Ditunggu saran-saran selanjutnya.