And the story begins...

Saya Devi Liedany,
Anak pertama, yang disegani, dan yang sering dipalak, oleh empat orang adik laki-laki saya. Saya satu-satunya Hawa dari 5 orang bersaudara bani Adam. Menurut Ibu tercinta yang rela membawa-bawa saya di dalam perutnya selama sebelas bulan, semua orang mengira kalau bayi mungil nan imut yang masih ada dalam perut itu adalah seorang bayi laki-laki. Ini hanya tebakan orang tua-orang tua dulu, dimana teknologi Ultrasonografi belum dikenal. Jadilah telah disiapkan sebuah nama jawa nan kharismatik untuk saya : Dimas Ariyanto.

Pada hari selasa pukul empat sore, bertempat di Rumah Sakit Umum Luwuk, dengan suara tangis yang (mungkin saja) nyaring, saya merasakan udara luar untuk pertama kalinya, dan tentu saja dengan pandangan heran dari para sesepuh yang menyangka kalau bayi cantik ini adalah seorang cowok. Sehingga batallah nama Jawa nan kharismatik itu.



Karena kelahiran seorang bayi cantik yang tak terduga, maka nama yang disiapkan untuk saya tidak ada, sampai perlu minta dicarikan nama pada tetangga-tetangga saya, kemudian lahirlah sebuah nama perpaduan dari beberapa budaya dan pemikiran : Dewi Novi Astuti Liedany. Begitu boros karena saya menggunakan nama untuk tiga orang sekaligus. Maaf untuk Mbak Dewi, Mbak Novi dan Mbak Astuti. Kalau Liedany itu nama keluarga saya, tidak boleh diganggu gugat.

Mulai jadi pelahap segala jenis bacaan semenjak berumur tiga tahun. Mulai dari tulisan yang ada di TV, papan iklan, dan majalah Bobo. Tak ketinggalan membaca ekspresi wajah seseorang sampai kepala pegal. Mungkin karena kebiasaan itulah sehingga sampai sekarang saya tak bisa jauh-jauh dari yang namanya buku. Selalu merasa kangen, rindu, gundah, gulana, risau, bimbang, halah….

Kemudian bersekolah dengan lancar, tanpa tinggal kelas (kurang kerjaan amat masuk kelas yang sama dua tahun berturut-turut), sukses dengan pendidikan TK selama dua tahun di TK Bhayangkari Luwuk, sukses juga menyelesaikan wajib belajar Sembilan tahun di SDN 8 Luwuk dan SLTPN 2 Luwuk. Pas masuk SMU, inginnya melanglang buana ke kampung orang, dan jatuhlah pilihan pada kota Surabaya.

Melanjutkan pendidikan setahun di Surabaya dengan modal nekat, sama sekali gak ngerti bahasa jawa, gak suka sama makanan jawa yang manis-manis, dan yang paling parah, di Surabaya tidak ada makanan khas Luwuk, akhirnya saya memutuskan balik ke Luwuk lagi. Hiks… berat juga meninggalkan Gunung Agung yang jadi tujuan saya tiap akhir pekan.

Balik ke Luwuk,

Menjalani masa SMU yang biasa-biasa saja denga teman-teman yang luar biasa selama dua tahun, sehingga tanpa terasa masa SMU telah berakhir, dan melanjutkan pendidikan ke Prodip I Pegadaian Manado, hingga sekarang disinilah saya, duduk di hadapan laptop saya sebagai seorang karyawan Pegadaian selama dua tahun terakhir.


Selanjutnya? We’ll see… I’m young, and I’ll do more….

Comments

Popular posts from this blog

Pierre Tendean (Lagi-lagi)

Saya dan Tahun 60-an

Antara Pierre Tendean dan Hiruk Pikuk Jalanan Di Depan Kantor