Pasir

PASIR

Nakhwah berlari-lari kecil sepanjang pantai itu. Tapi tak lama kemudian langkahnya menjadi lebar dan cepat. Dia berlari sekencang-kencangnya. Tak peduli pada angin yg menerpa seluruh tubuhnya. Pada angin yang mengibarkan jilbab birunya. Pada angin yang menghempas di rok panjangnya. Dia juga tak peduli pada ombak yang menghantam kakinya, pada pasir yang menyelimuti tubuhnya, pada air laut yang mulai membasahi sebagian wajahnya.

Nakhwah jatuh tersungkur, sebongkah karang menahan lajunya. Sakit. Amat sakit. Pasir itu seketika menjadi merah oleh darah yg mengalir dari kakinya. Tubuhnya kini telah sempurna dibalut pasir. Ombak kembali menghantam tubuh yang terjatuh itu. Yang tak punya daya lagi untuk bangkit. Yang tak punya kuasa lagi untuk berdiri. Tubuh Nakhwah ditutup ombak.


Nakhwah terbaring di atas pasir. Memandang pantai di sore itu. Air matanya tak berhenti mengalir. Tapi dia tak menjerit. Dia tak berteriak memaki atau menyumpahi apapun. Dia hanya ingin menangis. Menangis untuk pertama kalinya buat suaminya. Dia menggenggam pasir itu dan meremasnya. Kemudian melemparkan pasir itu ke laut. Meraih segala sesuatu yang bisa diraih lewat jangkauan tangannya. Melemparkan kulit kerang, batu, pecahan karang dan pasir lagi.

Mata Nakhwah terasa pedih, memaksanya bangkit dan hanya duduk di pasir. Tangisnya belum juga berhenti. Air mata kesedihan yang amat dalam. Baru tiga bulan dia menjadi seorang istri, belum juga menjadi seorang Ibu bagi anak-anak suaminya, tapi sekarang suaminya pergi meninggalkannya. Allah memanggilnya terlalu cepat. Terlalu cepat.

Pagi tadi, saat akan berangkat kerja, suaminya memandang wajahnya cukup lama. Membuat dirinya heran. Lamaaa sekali, sambil tersenyum tipis. Bahkan secangkir susu yang dihidangkan Nakhwah sama sekali tak disentuh suaminya.

“Pak, kenapa sih senyum-senyum terus?” tanya Nakhwah heran, berusaha menyembunyikan rona di wajahnya karena sejak tadi suaminya memandangnya.

'Tidak, hanya saja aku berpikir, betapa beruntungnya aku. Dianugerahi seorang istri yang cantik dan soleha sepertimu. Mana cerdas lagi. Subhanallah, padahal aku sama sekali tak punya kelebihan apapun yg bisa dibanggakan sepertimu”

Rona di wajah Nakhwah semakin bertambah. Dia berpaling dan berpura-pura menyibukkan diri dengan merapikan ransel yang sering dipakai suaminya untuk bekerja. “Aku juga bangga, Pak. Punya suami seperti Bapak” bisik Nakhwah dengan amat pelan, sampai-sampai suaminya tak dapat mendengar perkataanya itu.

“Oh, ya. Kapan terakhir kali aku bilang kalau aku mencintaimu?” tanya suaminya jahil. “Oh, baru semalam aku bilang kan? Tapi tak apalah. Untuk istriku yang cantik ini akan aku bilang beratus-ratus bahkan ribuan kali kalau aku mencintainya”

Nakhwah memasang wajah tak-percayanya dan mencondongkan wajahnya ke arah suaminya “Gak percaya... yee” canda Nakhwah. Tapi tiba-tiba sebuah kecupan lembut mendarat di pipi Nakhwah. Membuat Nakhwah menjadi semakin malu.

“Bapak kenapa siihhh?? Ayooo.. berangkat kerja sanaaa.. dah mau telat nihhh” Nakhwah mendorong tubuh suaminya dengan lembut, menyuruh suaminya bangkit dan segera berangkat kerja.

“Tapi, tunggu dulu dong. Aku belum puas ngegodain kamu” canda suaminya sambil tertawa. Nakhwah tetap mendorong tubuh suaminya hingga mendekati pintu. “kerjaaaa” ucap Nakhwah sambil tertawa-tawa. Sampai di ambang pintu, suaminya tak lagi tertawa, dia malah balik memeluk istrinya itu dengan sangat erat. “Katakan kau juga mencintaiku. Aku hanya ingin mendengar kalimat itu sebelum aku pergi. Sejak kita menikah, kau belum pernah mengucapkannya” bisik suaminya di telinga Nakhwah.

Aku sudah mengucapkannya ribuan kali, Pak. Setiap hari, setiap detik. Tapi kau yang tak mendengarnya. Bisik Nakhwah dalam hati. Aku masih belum punya keberanian untuk mengucapkan hal itu dengan terang-terangan. Aku mencintaimu, aku sangat mencintaimu karena Allah.

Suaminya menunggu, tapi Nakhwah sama sekali tak bersuara. Nakhwah hanya tertunduk, meresapi wangi parfum suaminya yang sangat dia sukai. Memperhatikan lipatan baju suaminya kalau-kalau ada yang kusut. Memperhatikan sepatu suaminya yang mengkilap, memperhatikan lengan suaminya yang masih mendekapnya dengan sabar, dan akhirnya Nakhwah menatap wajah suaminya yang masih menanti kalimat itu dengan tersenyum.

“Aku...” Nakhwah tercekat. “Aku...aku mau masak. Bapak ke kantor aja cepattttt” Nakhwah melepas pelukan suaminya dan kembali mendorong tubuh suaminya. Kali ini suaminya tak bergerak, melainkan menatap Nakhwah dengan tajam.

“Baiklah, aku pergi sayang. Aku mencintaimu karena Allah. Assalamu'alaikum”

“Wa'alaikumussalam” jawab Nakhwah. Kemudian suaminya memalingkan tubuhnya dan berjalan menuju sepeda motor yang terparkir di halaman rumah mereka. Dan untuk terakhir kalinya Nakhwah melihat senyum dan canda suaminya.

Pukul satu siang, selepas Dzhuhur, telepon di rumah Nakhwah berdering. Saat itu Nakhwah baru pulang dari TK tempatnya mengajar, baru saja masuk ke dalam rumah. Nakhwah berlari kecil menuju telepon dan mengangkatnya. “Assalamu'alaikum” sapa Nakhwah.

“Aku mencintaimu” ucap suara di seberang.

“Bapak? Tumben nelpon? Jam berapa pulang Pak?” tanya Nakhwah riang

“Apa kau mencintaiku?” tanya suaminya

kalimat itu lagi? Ada apa dengan suaminya?

“Tidak, jika malam ini Bapak pulang malam lagi dan membiarkan masakan yang aku masak menjadi dingin” jawab nakhwah dengan nada ketus sambil bercanda. Dari seberang telepon suaminya tertawa.

“Aku minta maaf. Kali ini aku akan pulang telat lagi. Tiba-tiba ada kerjaan mendadak”

“Oh, baiklah. Aku masak dikit aja. Paling Bapak makan di kantor lagi kan?”

“Tidak kok, biar aku makan di rumah aja. Masakan istriku jauh lebih enak. Assalamu'alaikum”

“Wa'alaikumussalam” Nakhwah meletakkan gagang telepon dan pergi untuk mengganti bajunya kemudian shalat dzhuhur.

Dan kabar buruk itu terjadi juga. Selepas Ashar, saat Nakhwah tengah asyik menjahit celana suaminya yg robek, tetangga Nakhwah memberitahukan kabar itu. Sepeda motor suaminya ditabrak truk. Sebenarnya suaminya tak jadi pulang telat dan memutuskan pulang ke rumah lebih awal. Tapi apa mau dikata. Di situlah ajal suaminya datang.

Tangan Nakhwah bergetar hebat. Semua benda yang dipegangnya jatuh ke lantai, wajahnya pucat dan dia menatap ibu-ibu tetangganya itu dengan mata yang berkilat. “Bapak?”

Tetangganya mengangguk. Tak lama kemudian sebuah mobil ambulans dan rombongan orang menuju rumah Nakhwah. Rupanya suami Nakhwah tak sempat bertahan saat akan dibawa ke rumah sakit. Sehingga di tengah perjalanan, teman-teman suaminya memutuskan untuk membawa jasad suaminya langsung ke rumah.

Nakhwah tergugu melihat tubuh suaminya digotong oleh beberapa orang. Masih memakai bajunya yang tadi tanpa ada lipatan baju yang kusut dan masih memakai sepatunya yang hitam mengkilat. Tapi kali ini semuanya tertutup darah. Darah dimana-mana. Nakhwah pucat, darahnya tiba-tiba seperti berhenti mengalir. Dia jatuh tersungkur. Beberapa orang mencoba membantunya. Tapi setelah dia berdiri kembali, Nakhwah langsung berlari keluar rumah, berlari ke arah pantai dekat rumahnya, pantai yang sering dia kunjungi dengan suaminya pada waktu luang mereka untuk sekedar bermain ombak.

Beberapa orang ingin mengejar Nakhwah, takut dia berbuat nekat. Tapi Ibu Nakhwah yang baru saja datang melarangnya. “Biarkan saja. Dengan begitu dia akan sedikit lebih baik”

Nakhwah masih duduk di atas pasir. Luka di kakinya yg terus mengeluarkan darah sama sekali tidak dia rasakan. Dia memeluk kedua lututnya dan masih menangis.

“Aku mencintaimu, Pak” ucap Nakhwah dengan terisak. “Aku mencintaimu karena Allah. Aku bisa mengatakannya ribuan kali untuk Bapak” Nakhwah meremas pasir yang ada disekitarnya “Aku mencintai Bapak”

“Aku mencintai Bapak dengan segala hal yang Bapak miliki. Akulah yang bangga menjadi istri Bapak. Akulah yang lebih bahagia menjadi istri Bapak, Aku... Aku mencintai Bapak...”

Matahari semakin rendah, sebentar lagi akan tenggelam dengan sempurna. Sebentar lagi adzan maghrib akan berkumandang. Tubuh Nakhwah kisut, pucat dan dingin. Dia menggigil, menyebut-nyebut dengan lirih nama Allah dan nama suaminya bergantian.

“Namanya Hanif, ini biodatanya”
Nakhwah terkenang kembali saat murobbiyahnya menyerahkan biodata suaminya itu. Saat mereka berdua akhirnya ta'aruf, Hanif menanyakan banyak hal yang sama sekali di luar dugaan Nakhwah, yang diselingi dengan candaan. Saat mereka Nazhar, Nakhwah menunduk malu-malu sementara Hanif malah mengajaknya bercanda sehingga suasana nazhar yang kaku agak sedikit mencair. Hanif memang sangat suka bercanda.

Dan saat Hanif datang ke rumah untuk mengkhitbah dirinya. Saat Hanif diusir oleh orang tuanya, saat Hanif kembali datang dan kembali diusir. Saat Nakhwah terus memanjatkan doa di sepertiga malam terkahir agar kedua orang tuanya mau menerima Hanif. Saat Hanif menempuh banyak cara dengan otaknya yang cerdas. Dan pada saat akhirnya lamaran Hanif diterima. Sujud syukur tak terkira. Sebulan kemudian mereka menikah.

Malam pertama saat Hanif membuka jilbab Nakhwah. Saat Hanif menggenggam tangannya. Saat kalimat pertama yang diucapkan Nakhwah adalah “mari kita berkenalan”. Hanif tak henti-hentinya tertawa. Malam itu mereka habiskan dengan bercengkrama, dan diakhiri dengan sebuah pelukan lembut. Untuk pertama kalinya Nakhwah dipeluk oleh seorang lelaki selain ayahnya.

Kemudian hari-hari selanjutnya di kehidupan mereka sebagai suami istri, tak pernah sedetik pun Nakhwah menangis. Hanif tak pernah membuatnya menangis. Nakhwah selalu dibuatnya tersenyum, bahkan tertawa. Hanif punya jiwa humoris yang hanya ditujukan kepada istrinya itu. Sementara teman-teman kantornya yang lain dan teman-teman sesama ikhwahnya mengatakan kalau Hanif orang yang amat serius.

Bagaimana mungkin Nakhwah tidak bangga menjadi istri seorang Hanif? Hanif memuliakannya, tak pernah Hanif mengeluh sedikitpun mengenai kekurangan Nakhwah. Tak Pernah Hanif membentaknya, apalagi memukulnya.

Matahari telah sempurna tenggelam di balik horizon. Hanya ada warna merah yang memenuhi ujung lautan itu. Adzan maghrib mulai berkumandang. Nakhwah menyeka air matanya. Berdiri membersihkan tubuhnya yang penuh dengan pasir. Pasir. Membuang pasir itu bersama kesedihan yang dia rasakan. Pasir itu terbang menjauh. Hati Nakhwah telah kesepian. Pasir itu telah pergi.

Allah, engkau menciptakan aku dari tulang rusuk suamiku
salahkah jika aku merasa separuh tubuhku telah pergi?
Salahkah jika aku merasa separuh hidupku telah dia bawa pergi?

Allah,
aku tak butuh ganti yang lebih baik
aku hanya membutuhkan kesabaran
kesabaran untuk tetap menanti pertemuan yang engkau janjikan dengannya
di jannahMu kelak

Allah,
sampaikanlah salamku padanya
salamku untuk orang yang telah menjadikanku sebagai amanahnya
salamku untuk orang yang tak pernah melepas senyum dari wajahnya
salamku untuk orang yang telah memuliakan aku sebagai istrinya

Aku mencintainya karena Engkau ya Allah

Comments

Popular posts from this blog

Pierre Tendean (Lagi-lagi)

Saya dan Tahun 60-an

Antara Pierre Tendean dan Hiruk Pikuk Jalanan Di Depan Kantor