Kak Nadia
Melihat sosok Kak Nadia kalian
pasti tidak akan menyangka apa yang sesungguhnya ada di benaknya itu, termasuk
aku. Kak Nadia adalah seorang perempuan yang luar biasa cerdas, karirnya
cemerlang sebagai seorang konsultan, dia cantik tentu saja dan pandai membawa
diri. Bagiku Kak Nadia adalah sosok perempuan yang sempurna. Dan seharusnya dia
mendapatkan seorang pria yang sempurna juga, bukan? Tetapi sepertinya definisi
kesempurnaan bagi Kak Nadia sedikit berbeda dengan orang kebanyakan.
“Kenapa sih Kak, nolak yang itu?”
tanyaku suatu hari pada Kak Nadia. Kami berdua sedang mengobrol di kamarnya,
aku menginap karena Kak Nadia janji mau mengajarkan cara mendesain baju
sendiri. Lihat! Kak Nadia itu serba bisa, tidak ada hal yang tidak bisa
dikerjakannya.
Aku hanya penasaran saja, kenapa
Kak Nadia menolak seorang pria yang ditawarkan murobbiyah Kak Nadia kepadanya. Aku
memang selalu menjadi tempat curhat Kak Nadia karena menurut Kak Nadia aku
orang yang paling berkompeten untuk menjaga rahasia. Memang sih, aku paling
males kalo ngomongin masalah orang lain makanya aku paling malas kalo diajak
rumpi – dengan cara itu aku menjaga rahasia Kak Nadia.
“Dia kan tampan kak” godaku.
“Hey, kamu ngintip ya?” Kak Nadia
pura-pura marah. Alisnya yang tebal bertautan, semakin terlihat cantik saja.
“Hihi…dikit kak…dikiiit. Trus kenapa
kakak nolak? Jangan kebanyak nolak loh kak! Dia orang ke-3 yang kakak tolak
kan?”
Kak Nadia hanya mengangkat
bahunya.
“Kakak nyari orang yang seperti apa
sih? Dia itu kan tampan, mapan, sholeh, hafalan Alqurannya banyak, baik, rajin,
bertanggung jawab”
“Tapi dia tidak berhasil menarik
simpati kakak” potong Kak Nadia “sederhana saja. Jika memang dia jodoh kita,
maka Allah akan menggerakkan hati kita untuk menerimanya bukan?”
“Bukannya kakak nyari yang lebih
mapan dari kakak ya?” tanyaku dengan wajah polos “tidak sengaja dengar sih kak.
Ada yang bilang kakak nyari calon sumi yang lebih kaya dari kakak”
Kak Nadia tersenyum “biarkan saja
mereka bilang apa Kay. Kau kan tau bagaimana kakak, kakak bukan orang yang
mudah terkesan dengan segenap prestasi mentereng sekalipun. Bagi kakak ada
hal-hal lain yang jauh lebih menarik hati kakak, meski sebenarnya kakak belum
mampu mendefinisikan hal-hal seperti apa itu. Kau akan paham dengan sendirinya
jika kau seumuran kakak, ketika kau telah menjadi dewasa, jadi jauh lebih
tenang dan tidak meledak-ledak”
“Begitu ya kak? Tapi kakak kan
sudah 27 tahun, kata Ibu kakak sudah ketuaan, harus nikah…hihi…”
Kak Nadia mencubit lenganku “sudah,
sudah, jadi belajar desain gamis tidak nih?”
“Eh, iya kak. Jadi…jadi”
***
Kak Nadia menolak lagi, untuk
kesekian kalinya.
Aku duduk di sisi Kak Nadia yang
sedang menangis karena merasa amat tersinggung dengan perkataan murobbiyahnya. Sebenarnya
kak Nadia paham, mungkin murobbiyahnya sudah capek terus menerus menerima
perkataan ‘tidak’ dari dirinya, mungkin juga beliau sedang punya masalah
pribadi sehingga tidak sengaja mengatakan hal itu, atau mungkin juga beliau
ingin bersikap sedikit keras pada Kak Nadia. Ada banyak kemungkinan, tapi kak
Nadia masih merasa sulit menerimanya.
“Kamu mau calon suami yang
seperti apa Nadia? Bisa tidak kamu menghargai sedikit saja perasaan mereka yang
kamu tolak itu? Apa betul kamu menginginkan seorang laki-laki yang kaya raya?”
“Astaghfirullah…bukan begitu kak”
Kak Nadia tersentak mendengar kalimat dari murobbiyahnya yang cukup menusuk
itu.
“Lantas?”
“Saya hanya belum merasa…saya
belum merasa dia orang yang tepat untuk saya” jawab Kak Nadia pelan.
“Jika ada seorang pria yang baik
agama dan akhlaknya datang untuk melamar, maka terimalah. Jika tidak maka akan terjadi fitnah dan kerusakan di muka
bumi” murobbiyahnya menyebut sebuah hadits “apa itu tidak cukup jadi hujjah
bagimu agar menerima pinangan mereka?”
“Tapi saya…”
“Jangan terlalu memperturutkan
masalah perasaan, Nadia. Itulah kenapa perempuan tidak bisa menjadi pemimpin
selain untuk kaumnya sendiri. Karena mereka selalu larut dengan perasaan
sendiri, lupa bahwa kebaikan belum tentu harus sesuai dengan apa yang perasaan
mereka inginkan. Jika kau memang merasa mereka belum pantas untukmu…”
“Saya tidak bilang begitu kak”
sentak Nadia “saya tidak bilang mereka tidak pantas untuk saya, hanya saja saya
masih merasa amat berat untuk menerima mereka”
“Itu sama saja” murobbiyahnya
mulai gusar “baiklah kalau kau tetap menolak, semoga kau memang mendapatkan
seseorang yang sesuai dengan keinginanmu”
Kak Nadia masih menangis
sesenggukan, aku berusaha menenangkan dengan menepuk-nepuk bahunya “sudahlah
kak, yang penting kan bukan kata orang. Kak Nadia sendiri yang bilang” ucapku “aku
tahu kak Nadia tidak pernah mempermasalahkan materi”
Kak Nadia masih duduk memeluk
lututnya dan menangis. Aku paham bagaimana terlukanya hati Kak Nadia meskipun
aku masih belum paham orang yang seperti apa yang diinginkan Kak Nadia. Aku juga
berharap dia mendapatkan seseorang yang tepat yang entah seperti apa.
***
Aku lupa kapan terakhir kak Nadia
tersenyum dengan sangat sumringah seperti hari ini. Wajah pualamnya bercahaya
saat dia duduk di kursi kebesaran pengantin perempuan. Ya, hari ini kak Nadia
menikah. Kalian tahu? Dia mementahkan semua kata orang tentang dirinya karena
laki-laki yang dia nikahi benar-benar seorang pria biasa. Bukan ustadz dengan
hafalan Alquran yang banyak, bukan juga seorang pria dengan harta melimpah. Bukan.
Dia hanya seorang penjaga toko buku di sebuah los pasar yang sempit, yang bahkan
baru mulai untuk belajar agama lebih intensif. Aku tidak tahu bagaimana
akhirnya Kak Nadia bisa ta’aruf dengan suaminya itu. Yang jelas suaminya datang
tanpa membawa apapun, hanya membawa keyakinan dan tekad kuat untuk memperbaiki
hidupnya.
Tapi sempat Kak Nadia berkata
padaku saat aku datang mengunjunginya sehari sebelum dia menikah. Kami tidak
sempat berbicara banyak karena Kak Nadia sangat sibuk mengurusi semuanya.
“Kau tahu Kay, kenapa Kakak
menerimanya?”
Aku menggeleng, Kak Nadia sibuk
melipat baju dan merapikan barang-barang di kamarnya.
“Karena dia bilang pada kakak
kalau dia tidak punya apa-apa untuk dia pamerkan kepada kedua orang tua kakak. Yang
dia punya hanyalah keberanian untuk maju dan datang untuk melamar.”
"Aku sadar diri, sebenarnya aku tidak pantas untukmu. Kau punya semua
kelebihan yang diinginkan setiap perempuan. Kalau saja Allah tidak menanamkan
keberanian dalam dadaku untuk melamarmu, mungkin aku tidak akan pernah
melakukannya. Keberanian yang entah darimana datangnya, serta sebuah kepasrahan
pada Allah yang akan mengurus semua urusan kita."
Tadinya aku berpikir, seorang
pria sempurna untuk Kak nadia adalah seseorang dengan keindahan dunia dan
akhiratnya. Seorang yang sholeh, cerdas, kaya raya, mulia akhlaknya… tapi aku
salah, pandangan Kak Nadia tentang kesempurnaan berbeda denganku. Bagi Kak
Nadia, kesempurnaan ada justru saat kita benar-benar merasa pasrah pada Allah
atas semua kekurangan-kekurangan kita, seperti yang ditunjukkan suami kak Nadia
itu. Dia tahu tak ada satu pun hal yang dapat dia banggakan, dan dia
menyerahkan semua urusannya kepada Allah.
Kak Nadia semakin cantik, dan aku
tahu, suaminya juga pasti tampan.
11.20 AM
3 Agustus 2012
Sambil jualan LM *Dipilih! Dipilih!
Dipilih!*
Comments
Post a Comment