Kesabaran Dua Kali Pemilihan Umum
“Dia tampan nek!” seruku
tertahan, menunjuk ke sebuah foto hitam putih yang telah memudar di album foto
besar yang sedang dipegang nenek “siapa namanya nek? Kerennyaaa...” mataku
berbinar-binar, mengguncang-guncang tangan nenek.
Nenek tertawa – menertawai aku,
cucunya yang sedang datang berlibur di rumah peristirahatannya di sebuah desa
kecil berpuluh-puluh kilometer dari Yogyakarta. Kami berdua sedang
melihat-lihat album foto lama milik nenek, ketika dia masih berusia awal dua
puluhan. Kali ini nenek sedang berbaik hati menceritakan segala hal yang ada di
dalam album foto itu. Hingga akhirnya aku menemukan foto seorang pemuda
berwajah tampan, mengenakan seragam tentara yang gagah, menatap lurus ke depan
dengan wajah berseri-seri. Aku tidak ingat kalau aku punya keluarga setampan
itu.
Nenek menjawil rambutku, membuka
halaman album selanjutnya dan memperlihatkan gambar pemuda itu lagi. Tapi kali
ini dia tak sendiri, berfoto bersama nenek, kakek – aku masih ingat wajah kakek
saat masih muda dulu, dan beberapa orang teman yang lain. Sebuah foto di depan
rumah megah berarsitektur kuno yang sangat aku kenali. Rumah peristirahatan
nenek sekarang ini.
“Namanya Lembayung. Kami biasanya
memanggilnya Bayu” jawab nenek “dia teman baik kakekmu, teman baik nenek juga.
Seorang perwira muda yang meninggal dalam pertempuran saat agresi militer
Belanda yang kedua dulu. Di usia dua puluh tujuh tahun” nada suara nenek
terdengar getir. Tangan keriputnya membelai foto Bayu “begitu tampan, begitu
cerdas, begitu baik hati...semua orang yang baik hati seperti mudah saja untuk
mati saat itu. Dia bahkan baru saja menikah, dua bulan.”
Aku tertegun, tak menyangka wajah
setampan itu akan bernasib malang. “Terus istrinya gimana nek? Udah nikah lagi
ya?”
Nenek menggeleng sembari
tersenyum, membelai rambutku dan menutup album foto di tangannya. “Kemarilah,
biar nenek bercerita kisah Bayu dan Embun. Dua orang sahabat nenek yang sangat
nenek sayangi. Ayo, kita duduk di halaman belakang, biar Mbok Asih yang membawakan
makan siang ke belakang” nenek berdiri dan menggamit lenganku. Aku menurut saja
ketika nenek menarikku berjalan ke belakang rumah, tempat duduk favorit nenek
setiap hari sambil memandangi hutan kecil yang membentang.
Kami duduk di gazebo, di atas
sofa nyaman yang menghadap ke arah pemandangan hijau hutan kecil yang indah.
Aku menarik nafas dalam-dalam. Udara di sini benar-benar segar.
***
Yogyakarta, awal tahun 1948
Dua orang pemuda, yang satu
mengenakan kemeja rapi, sepatu mengkilap dan celana panjang yang licin. Satunya
lagi mengenakan seragam militer. Mereka berjalan sambil berangkulan,
tertawa-tawa sepanjang jalan.
“Lama tak ada kabar, ternyata kau
sudah jadi seorang tentara ya?” temannya yang berpakaian rapi itu menepuk-nepuk
bahu si tentara. “Hebat dirimu sekarang. Pasti banyak gadis-gadis yang
mengejarmu. Kau sudah menikah?”
Tentara muda itu tersenyum
sembari menggeleng “belum” jawabnya singkat. “Kau sendiri, Tomo? Aku dengar kau
akhirnya menikahi Diah”
Pria berpakaian rapi yang bernama
Sutomo itu tertawa, langkahnya terhenti di ujung jembatan. Tomo memanjat besi
pembatas jembatan dan duduk di atasnya. Tentara itu melakukan hal yang sama.
“Iya, kami menikah setahun yang lalu, di Semarang. Kau lihat bukan, Bayu? Aku
tidak sepengecut yang kalian kira. Aku berani datang ke rumahnya untuk melamar
segera setelah aku diterima bekerja di kantor pos”
Pandangan Lembayung menerawang ke
sungai yang mengalir di depan mereka. “Bagaimana kabar Embun?” tanyanya pelan,
seakan tidak sedang bertanya pada Tomo tapi lebih kepada dirinya sendiri.
“Astaga, kau masih memikirkannya?
Sudah sepuluh tahun yang lalu sejak kita lulus dari sekolah, Bayu! Sadarlah!
Jika memang sejak dulu kau menyukainya, kenapa kau tidak melakukan hal yang
seperti aku lakukan? Langsung datang melamarnya setelah kau berhasil menjadi
tentara?”
Bayu menggeleng “kau benar.
Lupakan pertanyaanku yang tadi. Sudah sepuluh tahun lewat, mana mungkin Embun masih
mengingatku. Mungkin saja dia sudah menikah dengan seorang anak pejabat, bisa
saja dengan pejabat itu sendiri. Atau parahnya, bisa saja dia menikah dengan
kompeni dan sekarang sudah hidup mewah di Eropa sana”
Tomo tertawa, mengeluarkan pipa
kayu mengkilap dari saku bajunya dan mulai menyalakannya “ternyata ada orang
yang jauh lebih pengecut dari aku” katanya di sela-sela isapan pipanya “Bayu
yang tampan dan cerdas ternyata tak bisa berkutik di depan seorang Embun.
Ayolah, jangan pesimis seperti itu. Diah dan Embun masih berteman baik, mereka
masih saling berkirim surat. Aku rasa Diah tahu dimana Embun sekarang tinggal.
Biar aku tanyakan padanya”
Bayu turun dari pembatas
jembatan, berdiri di depan Tomo. “Lupakan saja. Dua bulan lagi aku akan
menikah – jangan memandangiku seperti itu. Iya, benar, aku diperkenalkan pada
anak seorang atasanku dan kami sudah berencana akan menikah dua bulan lagi. Tapi
ini bukan perjodohan seperti yang selalu kita tertawakan itu. Kau dan Diah
harus datang ke pernikahanku nanti”
Wajah Tomo terlipat. Dia melepas
pipa dari mulutnya dan ikut turun dari pembatas jembatan. “Kau bahkan baru
bilang sekarang kalau kau akan menikah dengan anak seorang pejabat militer.
Bukan main. Baiklah, kami pasti datang. Kau kirimkan saja undangannnya ke
alamatku. Sejak dulu rumahku tak pernah berpindah, kau saja yang menghilang dan
tau-tau sudah hebat seperti ini. Aku pulang dulu. Sering-seringlah datang ke
rumah”
Bayu mengangguk, dia dan Tomo
berpisah saat itu juga. Keduanya hanya saling melambaikan tangan sebelum
akhirnya berjalan menempuh arah masing-masing.
Embun? Gumam Bayu dalam hati. Dimana
dia sekarang? Jadi Diah masih berkirim surat dengannya? Bayu berhenti sejenak dan
memandang ke arah jalan yang dilalui Tomo setelah mereka berpisah tadi. Tidak
ada lagi sahabatnya di sana. Cepat sekali
Tomo berjalan. Keluh Bayu.
***
“EM, apa kau tidak merasa kalau
Bayu menyukaimu?” bisik Diah pada Embun saat mereka berdua sedang berjalan
pulang dari sekolah menuju rumah. Tak jauh di belakang mereka berjalan pula
Bayu dan Tomo.
“Hmm...?” Embun bergumam “tidak
tuh. Biasa saja”
Diah mendengus kesal “kamu memang
benar-benar tidak peka” nada suara Diah terdengar prihatin “apa kau tidak sadar
kalau Bayu sering diam-diam melihatmu saat di kelas? Saat kau sedang makan,
saat kau sedang berbicara denganku... bahkan saat kau sakit Bayu tetap
memandangi kursimu yang kosong”
Embun tertawa, menjawil rambut
panjang Diah yang dikepang dua “kamu ada-ada saja. Mana mungkin Bayu
menyukaiku? Aku ini hanya anak seorang petani, sementara dia? Ayahnya itu orang
terpandang di kampung ini, Yah! Pejabat!”
“Yang suka kamu kan Bayu, Em.
Bukan ayahnya” keluh Diah, tak mengerti apa yang ada di pikiran sahabatnya itu.
“Iya, tapi sama saja. Keluarga
Bayu pasti tidak akan setuju dia menyukai seorang anak petani sepertiku”
“Memangnya kenapa kalau anak
petani? Mereka juga kan makan beras hasil dari sawah ayahmu” Diah masih protes,
masih terus ngotot “lihat saja si Tomo. Meski orangnya menjengkelkan, tapi dia
mau berteman dengan siapa saja, tidak pandang pekerjaan orang tuamu.”
Embun hanya tertawa, dia merangkul
Diah dan menariknya agar berjalan lebih cepat karena Bayu dan Tomo hampir
menyusul mereka dari arah belakang. Sambil berjalan itulah, Embun berbisik di
telinga sahabatnya itu. “Baiklah, aku punya sebuah rahasia dan kau harus
bersumpah tidak akan menceritakan hal ini kepada siapapun!”
“Tentu saja!” ucap Diah penuh
semangat “apa itu?”
Embun mengawasi Bayu dan Tomo
terlebih dahulu, memastikan mereka masih jauh dan tak dapat mendengar apa yang
akan dikatakannya. Setelah dirasanya aman, dia melambatkan jalannya dan kembali
berbisik kepada Diah “aku menyukai Bayu. Dia orang yang sangat baik dan cerdas.
Sayang dia terlalu pendiam dan pemalu, aku ragu untuk menyapanya lebih dulu”
Diah terkesiap, langkahnya
terhenti dengan tiba-tiba dan memandangi Embun lekat-lekat. “Astaga...kau...”
“Hei, jalannya cepat sedikit
dong” tiba-tiba suara cempreng Tomo terdengar di belakang mereka. Padahal jalanan
masih luas, tapi dia dan Bayu memaksa untuk lewat di jalan tempat Diah dan
Embun sedang berdiri.
Serta merta Embun menarik tangan
Diah dan mengajaknya lari. Semoga saja
Bayu tidak mendengar apa yang tadi aku katakan. Desisnya dalam hati.
***
Dahi Bayu berkerut, pandangannya
terus menerus dia arahkan pada perempuan yang sedang menyapu halaman rumah yang
akan dikunjunginya itu. Perempuan itu sepertinya tidak sadar kalau dia sedang
diperhatikan sejak tadi dari luar pagar rumah majikannya, asyik saja menyapu
daun yang berserakan sambil sesekali bersenandung.
Tiba-tiba seorang gadis berkulit
putih, berwajah cantik keluar dari dalam rumah, membawa sebuah buku tebal. Dia
tersenyum ke arah Bayu yang masih berdiri terpaku di luar pagar rumah sambil
melambai. Bergegas dia turun dari teras dan berjalan ke arah perempuan yang
sedang menyapu. “Hey! Apa yang kamu lakukan sejak tadi? Kenapa pintu pagarnya
tidak kamu buka?” bentak gadis itu kasar pada si perempuan. Padahal jelas
sekali perempuan itu lebih tua dari dirinya. Buku yang ada di tangannya dia
pukulkan ke bahu perempuan itu. “Cepat buka pintu pagarnya sana!” perintahnya
ketus.
Bayu tertegun melihat adegan di
depannya. Siapa sangka orang yang akan dinikahinya sebulan lagi itu bisa
bersikap amat kasar kepada pembantunya?
Perempuan itu melepas sapu di
tangannya dan mengangguk. Setelah itu dia berlari ke arah pagar, membuka kunci pintu
pagar dan mempersilahkan tamu majikannya itu masuk. Pandangan mereka saling
bertemu, lama. Bayu tampak salah tingkah, tapi kakinya tak kuasa dia langkahkan
melewati perempuan yang baru saja membukakannya pintu. Suasana terasa canggung.
“Kak Bayu, ada apa?” gadis yang
tadi marah-marah itu mendekati mereka berdua. Wajahnya heran melihat Bayu yang
tiba-tiba berubah kaku dan salah tingkah di hadapan pembantu rumahnya. “Ayo
kita masuk” dia menggamit lengan Bayu. Mereka berdua berjalanan bersisian
menuju rumah, diikuti pandangan dari pembantunya. Sebutir air bening jatuh di
pipi perempuan itu.
“Jasmin, siapa nama pembantumu
itu?” tanya Bayu setelah mereka berdua berada di dalam rumah. Dari sela-sela
tirai jendela yang tersingkap Bayu masih dapat melihat perempuan yang tadi
kembali melanjutkan pekerjaannya.
“Dia pembantu rumah yang baru
kak. Namanya Embun” jawab Jasmin.
Bayu terhenyak. Dia benar,
pandangannya tidak salah, memori di kepalanya masih menyimpan dengan jelas
bagaimana wajah Embun meski sudah sepuluh tahun mereka tak pernah lagi bertemu.
Rambut ikalnya, wajah yang selalu murung itu...semua tentang Embun masih
terekam jelas di setiap lembar pikirannya. Kenapa,
Embun? Tanya Bayu dalam hati. Kenapa
kau bisa seperti ini?
***
“Aku menunda pernikahanku dengan
Jasmin” Bayu menarik nafas dengan berat, mengatupkan kedua tangan di atas
lututnya “aku bertemu Embun...dia sekarang bekerja di rumah calon istriku itu”
Tomo terperangah, pandangannya
jelas sekali tidak percaya. Embun adalah seorang gadis yang cerdas, dia punya
banyak kesempatan untuk hidup lebih baik. “Tidak mungkin...” desis Tomo.
“Awalnya aku tak percaya, Tom”
kata Bayu “tapi dialah orang yang aku temui di rumah Jasmin itu. Dialah orang
yang setiap hari dibentak-bentak oleh Jasmin dan ibunya seperti seorang budak
saja. Dialah orang yang dipaksa oleh Jasmin untuk mengelap sepatuku yang dia
tumpahi air meski aku sudah menolak. Embun benar-benar tak ada harganya di mata
Jasmin dan aku heran kenapa dia masih mau bertahan tetap tinggal di sana” Bayu
menutup wajahnya dengan kedua tangan setelah dia menyelesaikan kalimatnya itu
“aku seperti ingin menangis setiap kali melihat Embun diperlakukan seperti itu.
Dan dia masih tak mau berbicara padaku meski aku sudah berusaha untuk
mengajaknya berbicara setiap kali aku datang kesana.”
“Sebenarnya...” Tomo membuka
suara “sebenarnya Embun juga menyukaimu sejak dulu. Diah sudah menceritakan
padaku semuanya. Tapi tiga bulan terakhir mereka tak lagi saling berkirim
surat. Aku dan Diah tidak tau dimana dia lagi sekarang”.
Bayu terhenyak “kau tidak sedang
berbohong padaku kan?” tanyanya pada Tomo. Tangannya mencengkeram kedua bahu
Tomo. Tomo mengangguk “dia dan Diah adalah sahabat baik sejak dulu. Dia sendiri
yang bilang kalau dia menyukaimu. Kau harus membatalkan pernikahanmu dengan
Jasmin dan menikahi Embun kalau kau tidak ingin menyesal”.
Bayu melepas cengkeramannya dari
bahu Tomo “kau benar, Tom!” serunya “aku harus bilang pada Embun sekarang!”
serta merta dia berlari meninggalkan Tomo sendirian.
***
“Aku tidak akan membiarkan kau
diperlakukan seperti itu lagi, Em” ucap Bayu di telinga Embun. Tangannya yang
kukuh merangkul Embun dengan erat, memaksa perempuan itu untuk tidak melawan
dan membiarkan dirinya menuntun tubuh Embun yang semakin kurus agar berlindung
ke dalam pelukannya.
Embun menyerah, dia tidak akan
lagi melawan dan terus berpura-pura tak peduli di hadapan Bayu. Air mata yang
selama ini dia tahan setiap kali melihat Bayu di rumah majikannya kini dia
tumpahkan semuanya di dada Bayu. Embun menangis sesenggukan, mencengkeram lengan
Bayu yang tengah memeluknya.
“Aku takut, Bayu” isak Embun “aku
takut kalau selama ini aku hanya bermimpi kau peduli padaku. Aku tidak ada
apa-apanya dibanding Jasmin. Aku malu padamu, kau punya segalanya dan kau bisa
memiliki apa saja yang kau inginkan. Aku merasa tidak pantas, Bayu”
Bayu mempererat pelukannya pada
Embun, membelai rambut ikal perempuan itu agar tenang “aku telah membatalkan
pernikahanku dengan Jasmin. Aku ingin menikahimu, aku tidak pernah menginginkan
orang lain, Em. Tadinya aku pikir aku tidak akan melihatmu lagi. Aku pikir kau
telah menikah dengan seorang pria yang telah membawamu ke Eropa dan memisahkan
aku darimu” Bayu melepas pelukannya dan membantu Embun menyeka air matanya.
“Bagaimana mungkin aku akan
menikah dengan orang lain dan pergi dari sini?”
***
“Jadi mereka berdua menikah,
Nek?” aku menyela, tak sabaran mendengarkan akhir cerita Bayu dan Embun.
“Kamu memang tidak sabaran,
persis kakekmu” sahut nenek, merapatkan jaketnya karena angin berhembus cukup
kencang “tentu saja. Apa yang nenek bilang tadi? Bayu meninggal dua bulan
sesudah pernikahan yang sangat mengharukan itu. Terlalu banyak air mata, nenek
sendiri heran bagaimana mungkin orang yang akan menikah begitu banyak menangis
di hari pernikahannya?”
“Bagaimana dengan Jasmin?”
Nenek mengangkat bahunya
“entahlah. Nenek hanya mendengar kalau Bayu dipindahkan ke Maguwo, dicopot
jabatannya sebagai komandan – dan dia sama sekali tak peduli – kemudian mereka
berdua menikah di sana.”
“Waaww....” ucapku kagum “Bayu
keren nek” pujiku “rela kehilangan semuanya demi orang yang dicintainya. Dan dia
tampan...” wajahku penuh kekaguman.
***
Akhir bulan Oktober 1948
Maguwo
Diah dan Embun saling berpelukan
lama, melepas rindu setelah sekian tahun tak pernah lagi bertemu dan hanya
dapat saling berkirim surat.
“Kamu tambah cantik, Yah” puji
Embun, mengusap-usap lengan Diah “aku tidak percaya kamu akhirnya menikah
dengan Tomo, si ceroboh itu” kemudian mereka berdua tertawa bersama-sama.
“Biarpun dia ceroboh, tapi dia
seorang suami yang sangat baik” ucap Diah sembari tersenyum bahagia “sangat
bertanggung jawab”.
Desas desus bahwa Belanda akan
kembali menyerang Indonesia sudah santer terdengar. Kabar akan diadakan
penyerangan oleh Belanda pada TNI yang ada di Sumatera dan Jawa telah menyebar
dari mulut ke mulut meski belum ada seorang pun yang berani memastikan.
Pernikahan Embun dan Bayu nyaris ditunda kalau saja Bayu tak memaksa agar
mereka berdua dapat segera menikah.
“Kamu juga tambah cantik, Em”
puji Diah, memerhatikan Embun yang meski berpakaian seadanya dan berhias
seadanya tetap terlihat cantik di hari pernikahannya ini. Dia hanya mengenakan
baju terusan panjang dan hanya lipstik yang menjadi riasan di wajahnya.
“Bayu harus kembali bertugas”
ucap Embun dengan wajah murung “dia ditugaskan ayah Jasmin berjaga di lapangan
terbang Maguwo”.
“Loh, memangnya kenapa?”
“Aku cemas, Yah” bisik Embun
“perasaanku tidak enak, aku mendengar desas-desus itu, semua orang bicara soal perang...perundingan
Renville atau apalah...”
“Sudah, sudah. Tenanglah, Em.
Bayu akan baik-baik saja. Dia tentara yang cakap, hebat, kau tidak perlu
khawatir padanya”
“Tapi tetap saja...” protes
Embun.
“Sudah” potong Diah “ayo kita
keluar. Sebentar lagi pernikahanmu akan dimulai” Diah menarik tangan Embun dan
mengajaknya keluar dari kamar. Memaksa Embun agar tersenyum dan tidak terlihat
sedih lagi.
Bayu mengenakan kemeja terbaiknya
meski sudah terlihat lusuh. Hanya ada beberapa orang yang hadir, beberapa teman
dekat dan tak seorang pun keluarga Bayu yang hadir. Sejak Bayu memutuskan tidak
jadi menikah dengan Jasmin dan lebih memilih Embun, seluruh keluarga Bayu yang
terbilang cukup terpandang langsung memusuhinya. Bahkan ayah dan ibunya tak mau
lagi menerima Bayu di rumah mereka. Di Maguwo mereka terpaksa menumpang di
rumah salah seorang tentara teman Bayu. Mereka harus memulai segalanya dari
dasar lagi.
Diah yang sejak tadi memaksa
Embun agar tersenyum dan terlihat tegar justru menangis paling awal. Dia tak dapat
membendung air matanya melihat kondisi kedua orang sahabatnya yang kini menjadi
orang terasing.
“Bayu sangat menyukai Embun” ucap Tomo suatu hari setelah dirinya dan
Diah menikah dan sedang duduk bersantai di depan rumah baru mereka “bahkan aku
rasa sampai hari ini”
Diah terperanjat “benarkah itu? Karena Embun pun sebenarnya sangat
menyukai Bayu, sejak dulu”
Kedua suami-istri itu saling berpandangan, antara takjub dan tak
percaya.
“Kalau saja aku tahu dimana Bayu sekarang” keluh Tomo
“Embun pun selalu mengirimiku surat dengan alamat yang berganti-ganti”
Diah ikut mengeluh
“Tak ada yang bisa kita lakukan” ucap Tomo pada akhirnya “biarkan nasib
yang mempertemukan mereka berdua lagi. Kita hanya bisa duduk sebagai penonton
dan berdoa semoga Tuhan berbaik hati mau mempertemukan mereka lagi di
kesempatan yang lain”.
Diah masih menangis, beberapa
orang teman mereka yang hadir juga ikut menangis meski tak begitu tau bagaimana
sesungguhnya kisah Bayu dan Embun. Embun selalu menuliskan nama Bayu di setiap
suratnya yang dia kirimkan kepada Diah. Dia menuliskan harapan-harapannya,
selalu mendoakan semoga Bayu baik-baik saja, berharap suatu saat dia dapat
bertemu Bayu kembali. Doa-doa kecil yang terus menerus dipanjatkannya tanpa
henti selama ini.
Embun berjalan pelan dan duduk di
sisi Bayu, menatap wajah pria yang sangat dicintainya itu dengan sangat lama.
Di depan seorang penghulu dan pamannya – satu-satunya keluarga Embun yang hadir
– Bayu mengucapkan ijab-qabul. Saat itulah tanpa sadar air matanya kembali
mengalir, kali ini dengan sangat deras. Bayu kini telah menjadi suaminya.
Maka jangan harap kau akan
melihat tawa di rumah sederhana itu. Alih-alih bahagia, seisi rumah menangis.
Di tahun-tahun yang penuh ketidak pastian ini, segalanya bisa jadi sangat
mengharukan. Telah banyak orang-orang yang mereka kenal meninggal karena
perang. Keluarga Embun pun telah habis – hanya dia satu-satunya anggota
keluarga yang selamat dari penyerangan di desanya.
Pernikahan paling mengharukan
yang pernah dilihatnya, begitu kata Diah.
***
“Coba kalau nenek tidak menangis
duluan, pasti semua tamu tidak akan ikut-ikutan nangis nek” aku nyengir. Nenek
mencubit pipiku (lagi) kemudian tersenyum.
“Kalau kau ada di sana, kau pasti
ikut menangis sayang. Lihatlah dua orang itu! Mereka berdua telah saling jatuh
cinta sejak lama, tak pernah berpikir untuk mencintai orang lain, dan pada
akhirnya Tuhan berbaik hati untuk mempertemukan mereka sepuluh tahun kemudian!
Sepuluh tahun sayang. Itu berarti dua kali pemilihan umum, dua kali pembangunan
lima tahun, dan jika kau sudah menikah mungkin kau telah mempunyai lima orang
anak setiap dua tahun. Sepuluh tahun bukan waktu yang singkat untuk tetap
menjadi setia tanpa kepastian seperti yang dialami Bayu dan Embun. Tapi mereka
berdua berhasil membuktikannya, tidak ada kesetiaan yang sia-sia”.
Astaga, nenek bahkan berceloteh
soal pemilu dan pembangunan lima tahun. Benar-benar produk lama.
“Terus..terus nek?” aku meminta
nenek melanjutkan ceritanya sebelum beliau kembali mengisahkan pengalamannya
hidup di bawah kepemimpinan presiden yang berbeda-beda.
“Pagi itu, tanggal 19 Desember
1948. Pagi yang tak akan pernah kami lupakan, apalagi Embun...”
***
Adzan subuh berkumandang,
membangunkan Embun dari tidurnya. Tangannya meraba sisi lain tempat tidur,
hendak membangunkan Bayu, sang suami. Tapi tidak ada siapa-siapa disana. Dia
tidur sendirian saja. Embun lupa kalau tadi malam Bayu pamit karena mendapat
panggilan darurat. Tadi malam – menjelang tengah malam – radio-radio di Jakarta
mengabarkan kalau besok pagi wakil tinggi mahkota Belanda akan menyampaikan
pidato penting. Menurut Bayu isi pidato itu pasti berkaitan dengan perjanjian
Renville antara Belanda dan Indonesia. Apalagi sejak berbulan-bulan lalu
rencana penyerangan Belanda pada TNI di daerah Sumatera dan Jawa sudah mulai
terdengar meski hanya samar-samar.
Embun sama sekali tak mengerti.
Tengah malam, seorang teman Bayu
mengetuk pintu rumah mereka. Dia mengajak Bayu ke markas mereka di lapangan
terbang untuk membicarakan sesuatu. Bayu pamit pergi dan berjanji akan kembali
keesokan harinya setelah subuh.
Embun bangkit dari tempat tidur
dan merapikannya. Dia kemudian berjalan ke belakang rumah, menuju pancuran air
di sisi luar rumah hendak berwudhu. Udara di luar sangat dingin, membuatnya
merinding. Perlahan dia membuka sumbat pancuran dan mulai berwudhu sambil
sesekali melihat ke arah pagar depan rumah yang hanya berjarak beberapa meter
dari pancuran airnya. Bayu belum pulang.
Setelah dia sholat subuh, Embun
pergi ke dapur dan menjerang air untuk menyeduh teh milik Bayu. Setelah itu dia
menanak nasi, membuatkan sarapan untuk suaminya. Matahari perlahan telah
terbit, tapi Bayu belum juga pulang.
Pukul 05.35 pagi, Bayu telah
bersiap, bukan untuk pulang tapi untuk menghadapi serangan dari Belanda.
Belanda telah mengumumkan, mereka tidak lagi terikat dengan perjanjian Renville
dan telah bersiap untuk menyerang.
Tanpa sengaja jemari Embun
menyentuh kuali yang panas, menjatuhkan kuali berisi nasi yang sedang di
tanaknya di atas tanah dan berserakan kemana-mana. Bergegas dia mengangkat
kuali yang terjatuh itu, menyelematkan butiran-butiran beras setengah matang
yang masih bersih. Tiba-tiba kepalanya terasa pusing. Dia berlari menuju
pancuran air dan membasuh wajahnya dengan air dingin.
05.45 pagi, lapangan terbang
Maguwo dihujani dengan bom dan mitraliur oleh empat belas pesawat milik Belanda.
Hanya ada 150 tentara TNI yang berjaga dengan persenjataan sedanya. Dalam
sekejap lapangan terbang Maguwo jatuh di tangan Belanda. Bayu menjadi salah
satu tentara yang tewas dalam pertempuran itu.
06.45 pagi, penduduk desa Maguwo
berlari menyelamatkan diri, membawa harta dan ternak seadanya. Embun masih di
depan rumahnya, cemas menanti Bayu yang tak pulang-pulang juga.
“Lari...Embun...lari...Belanda
menyerang” teriak tetangganya pada Embun yang masih berdiri saja di depan
rumah. Mereka semua lari kocar-kacir ke segala arah menyelamatkan diri. Embun
meremas kain yang dipakainya. Terus bergumam memanggil nama Bayu.
***
“Jadi Embun tidak ikut lari nek?”
tanyaku sambil bergidik membayangkan kekejaman Belanda. Hujan bom oleh empat
belas pesawat di sebuah lapangan terbang kecil? Sebuah keajaiban jika Bayu
masih selamat.
“Embun diselamatkan oleh seorang
tetangga. Dia dibawa dengan paksa, terus meronta bersikeras ingin menunggu Bayu
di depan rumahnya. Tak mau percaya dengan kabar kalau Belanda telah menyerang
lapangan terbang dan menghujaninya dengan bom. Tetangga itu terpaksa membuat
Embun pingsan agar bisa dibawa pergi. Perempuan bodoh...”
“Perempuan malang nek” koreksiku
“bukan bodoh.”
“Ya...kau benar. Perempuan
malang. Saat dia sadarkan diri, dia sudah berada di hutan bersama beberapa
warga kampung yang lain. Bersembunyi.”
“Lalu bagaimana kabar Embun
sekarang? Apa dia juga selamat dari serangan itu?”
Nenek mengangguk pelan “kami
bertemu tujuh tahun kemudian, 1955 di Yogyakarta. Saat itu ayahmu sudah lahir,
keadaan sudah lebih tenang.”
“Dia...menikah lagi nek?” tanyaku
takut. Aku takut mendapatkan jawaban ‘ya’ dari nenek dan kecewa. Kisah Embun dan Bayu terlalu indah untuk dirusak dan aku terlanjur kagum pada keduanya.
“Tidak” jawab nenek singkat. Aku
bernafas lega.
“Sampai saat ini dia tetap tidak
menikah lagi, Nek?”
“Menurutmu bagaimana sayang? Apa
dia sebaiknya menikah lagi atau tidak?”
Aku berpikir sejenak “hmm...itu
semua hak Embun untuk menikah lagi atau tidak. Tapi jika dia tidak ingin
merusak kisahnya dengan Bayu yang indah itu, sebaiknya dia tidak menikah lagi”
Nejek tertawa pelan, matanya
tampak berkaca-kaca. “Kau benar. Embun memutuskan untuk menjaga kisahnya dengan
Bayu tetap seperti itu, tanpa dirusak oleh kehadiran orang lain. Pernikahannya
yang hanya dua bulan itu dia pertahankan selama enam puluh tahun kemudian. Dia
telah menjadi seorang pengusaha yang sukses tapi tetap memilih untuk hidup
sendiri sampai akhir hayatnya” air mata nenek mengalir pelan di antara keriput
di wajahnya “kadang kesetiaan pun sebenarnya dapat menyengsarakan...jika dia
dimiliki oleh orang yang salah. Embun bersikeras tak akan menikah lagi,
memberikan banyak bantuan pada para veteran perang, membantu banyak sekali anak
muda yang ingin menjadi tentara seperti suaminya...termasuk ayahmu...”
“Ohh...” aku baru menyadari
sesuatu “jadi Embun itu yang sering ayah ceritakan ya? Yang orangnya baik
banget itu ya nek? Yang rajin sekali berkunjung waktu ayah masih di asrama,
suka sekali melihat para perwira latihan itu?”
Nenek mengangguk “kau benar.
Embun yang itu”
“Tapi kan beliau baru saja
meninggal lima tahun yang lalu...”
“Kau benar lagi, sayang” nenek
mengusap air mata di pipinya.
“Aku mau seperti Embun nek”
bisikku, sudah duduk di samping nenek dan memeluknya “yang hanya jatuh cinta pada
seorang pria seumur hidupnya. Tapi pria itu harus seperti Bayu. Yang setia,
tampan, berani...”
Nenek tertawa dan lagi-lagi
mencubit pipiku. “Kau tidak akan lagi menemukan orang seperti Bayu sayang. Dia
hanya ada di antara sepuluh ribu juta pria di dunia ini. Cintailah orang yang
kau cintai, siapapun dia, seperti Embun mencintai Bayu. Nanti kau pasti akan
mengerti, cinta benar-benar tak butuh alasan. Cinta tak butuh wajah tampan dan
keberanian. Cinta itu tidak pernah rasional”
Diam-diam aku meraih selembar
potret hitam putih dari kantong jaketku. Foto Lembayung dan Embun yang
diam-diam aku ambil tadi dari album foto nenek. Jika nanti suatu saat aku
mengeluh soal orang yang tidak tepat yang selalu aku temui dalam hidupku, maka
aku akan memandang wajah mereka berdua. Kesabaran dua kali pemilihan umum, kata
nenek.
10.23 AM
27 Agustus 2012
Kantor, UPS Pelita
Suka bangeeet... kisahnya sangat mengharukan..
ReplyDelete'tak ada kesetiaan yang sia-sia' kata2nya maniss banget..
salam kenal mba Devy !
Salam kenal juga :)
DeleteMakasih sudah mampir.