Too Late
“I’m happy for you” ucapnya
ketika berdiri di depanku dengan wajah berseri. Dia tersenyum begitu bahagia. Mengenakan
kemeja batik berwarna biru gelap, rambut yang disisir rapi (biasanya dia tidak
serapi ini) dan sepatu hitam mengkilat. Sepertinya dia menuruti permintaanku
untuk menunjukkan penampilan terbaiknya di hari pernikahanku. Hari ini.
Dan dia benar-benar datang dengan
dandanan yang-bukan-dia. Jauh lebih tampan, jauh lebih dewasa, dan jauh lebih
menarik perhatian tamu-tamu perempuan ketika dia berseliweran menemui
teman-teman kami yang diundang. Sesungguhnya dia tau bagaimana menarik perhatian perempuan
dengan pesonanya, termasuk aku, sahabatnya...
“I’m getting married!” bisikku ketika kami sedang ke toko buku tiga
bulan yang lalu. Dia memintaku menemaninya mencari buku untuk menambah
referensi proposal disertasi yang sedang dikerjakannya. Sulit dipercaya
sahabatku yang terkenal lemot sejak jaman SMP dulu itu akan segera
menyelesaikan pendidikan doktornya. Padahal dulu akulah yang sering membantunya
mengerjakan tugas-tugas sekolah.
Dia nyaris menjatuhkan buku yang dipegangnya.
“I-am-getting-married” ulangku sekali lagi – dan saat itu aku
benar-benar berharap dia akan kaget, bertanya kapan, dengan siapa, bagaimana
atau dia akan bilang sebaiknya aku memikirkannya ulang, matang-matang. Nyatanya
dia hanya melirik sekilas dari balik kacamata berbingkai biru gelap miliknya
kemudian kembali membuka-buka buku yang ada di tangannya.
“Oh ya?” sahutnya tanpa minat. Tak bertanya apa-apa lagi.
“Dengan Dirga” kataku terbata menahan emosi atas reaksinya yang terlalu
wajar itu “sudah dipersiapkan semuanya. Tiga bulan lagi...”
“Kau tidak pernah cerita padaku” potongnya. Akhirnya dia sedikit
bereaksi mendengar kabar dariku ini. “Sebagai sahabat, untuk hal sepenting ini,
paling tidak kau bisa cerita padaku” dia meletakkan buku bersampul hijau yang
baru dipegangnya bahkan belum sempat dia baca judulnya.
“Kau...marah?”
“Tidak” jawabnya singkat, beranjak ke arah deretan novel Agatha Christie
yang tak jauh dari tempat kami berdiri.
Dia menjabat tangan Dirga erat
dan memeluknya. Mereka berdua bercakap-cakap sebentar sebelum akhirnya dia
bilang, “titip sahabatku. Dia wanita terbaik yang pernah aku kenal. Tidak akan
ada lagi wanita seperti dia dalam kurun waktu dua ratus tahun ke depan”
Dirga tertawa, mengangguk untuk
meyakinkan sahabatku itu kalau dirinya akan menjaga wanita-terbaik-dalam-dua-ratus-tahun-terakhir
ini.
Setelah itu dia berbalik
memunggungi kami berdua dan pergi menghilang di antara lautan tamu yang lalu
lalang, tersembunyi di antara deretan meja bundar dan tirai-tirai berwarna
keemasan.
Kenapa dia tidak pernah mau memberi aku kesempatan untuk dicintainya?
***
“I’m getting married” bisiknya dari balik buku yang tengah aku baca
sekilas-sekilas. Aku nyaris menjatuhkan buku yang aku pegang.
“I-am-getting-married” ulangnya, menatapku dengan kedua bola matanya
yang berwarna hitam pekat itu. Bola mata yang membuatku selalu ingin menatapnya
tanpa merasa bosan. Kalimatnya itu nyaris membuatku mati rasa.
“Oh ya?” akhirnya aku mampu berkata-kata setelah beberapa detik jeda. Matanya
itu, aku benar-benar tak mampu untuk tidak menatapnya, berlama-lama di dalam
pandangannya.
“Dengan Dirga” lanjutnya, ada sedikit getaran di nada suaranya.
Dirga? Dirga yang itu? tanyaku dalam hati. Dia serius akan menikah
dengan Dirga yang itu? Laki-laki sok pintar yang menghabiskan hidupnya dengan
bersikap delusional di hadapan sahabatku yang polos ini? Dirga yang...astaga
Tuhan. Apa yang membuat Kau mengijinkan sahabatku menikah dengan laki-laki
seperti Dirga?
“sudah dipersiapkan semuanya. Tiga bulan lagi...”
“Kau tidak pernah cerita padaku...” sahutku “Sebagai sahabat, untuk hal
sepenting ini, paling tidak kau bisa cerita padaku” aku seolah punya alasan
untuk marah padanya, untuk membuatnya berhenti dari ide gila menikah dengan
Dirga. Untuk mencegahnya dan memintanya menungguku. Aku hanya butuh
menyelesaikan disertasi sialan ini – ah, disertasi ini tidak sialan, aku
mencintai proposal disertasiku, tapi tidak untuk dibenturkan dengan perasaanku
padanya. Dia terlalu baik untuk Dirga, sungguh.
“Kau marah?” tanyanya.
“Tidak” jawabku, melangkah meninggalkannya dan juga meninggalkan
rak-rak buku referensi disertasi yang hendak aku beli.
“I’m happy for you” ucapku, berusaha terlihat bahagia di depannya yang juga tak kalah
bahagianya. Dia bahkan terlihat sangat cantik malam ini. Aku lupa kapan
terakhir kali dia tampil cantik di hadapanku. Aku terlalu tidak peduli dia cantik
atau tidak. Aku hanya mencintainya, itu saja.
“Titip sahabatku. Dia wanita
terbaik yang pernah aku kenal. Tidak akan ada lagi wanita seperti dia dalam kurun waktu dua ratus tahun ke depan” aku menepuk bahu Dirga. Seharusnya dia paham
kalimatku penuh nada ancaman.
Setelah itu aku berbalik
memunggungi mereka berdua, berjalan menjauh, menghilang di antara tamu-tamu,
deretan meja bundar dan tirai yang berwarna keemasan.
***
“Aku harus menemuinya” kata
pengantin perempuan itu kepada suaminya “ada hal penting yang lupa aku
sampaikan” suaminya mengangguk mempersilahkan.
Laki-laki yang dicarinya belum
jauh, karena laki-laki itu memang tidak pernah punya keinginan untuk beranjak
dari dekatnya. Laki-laki berbaju batik warna biru gelap itu masih berdiri di taman luar,
memandangi bintang yang bertaburan dari balik kaca mata berbingkai biru gelap
miliknya.
“Aku kira kau sudah pulang” ucap
perempuan itu, berdiri di samping sahabatnya.
“Kenapa kau disini? Bagaimana tamu-tamu
di dalam...?”
“Aku hanya sebentar, butuh udara
segar. Kau tau aku tidak begitu suka keramaian” potong perempuan itu.
“Kita sama-sama tak
menyukainya...”
Mungkin ini terakhirnya kita dapat melihat bintang bersama-sama. Tidak akan
ada lagi celotehanmu tentang rasi bintang dan planet-planet atau tentang bulan
biru. Bisik perempuan itu dalam hati.
Aku tidak akan pernah melihat lagi perempuan yang begitu penasaran
dengan isi langit di atas sana, dengan galaksi, dengan bintang berekor, dengan
planet merah. Tidak akan pernah, mungkin...
Laki-laki itu juga berbisik dalam
hati.
Kemudian jeda yang mengerikan itu
terjadi. Ketika mereka berdua tidak tau apa yang harus mereka katakan. Atau tidak
berani untuk mengatakan apa yang ingin mereka ungkapkan.
Diam. Masih diam.
Sebaiknya memang tidak harus
terucap. Sudah terlambat. Terlalu terlambat. Pikir mereka berdua.
“Mungkin aku sebaiknya masuk
saja. Kasihan Dirga kalau harus meladeni teman-teman kita sendiri” perempuan
itu memecah keheningan.
Laki-laki itu mengangguk
menyetujui. “Aku juga harus pulang. Maaf, aku tidak bisa di sini sampai
acaranya selesai. Besok pagi-pagi aku punya janji dengan profesor...”
“Iya, aku paham. Tidak apa-apa. Pulanglah”
potong perempuan itu.
Kemudian mereka berdua saling
memunggungi, berjalan pelan-pelan saling menjauh tanpa ada seorang pun yang mau berhenti untuk menoleh punggung masing-masing. Mungkin memang tidak harus diucapkan. Sudah terlambat.
Sangat terlambat.
tulisannya pilem korea minded banget nih -_-
ReplyDeleteBukan, pilem Thailand :D
Delete