EV
“Kau tahu, ada berapa banyak tempat yang telah
aku singgahi selama ini? Ada banyak sekali tempat. Aku bepergian dari ujung
negeri ke ujung negeri yang lain, aku singgah di banyak kota dan banyak negara,
beberapa di antaranya aku tinggali cukup lama, tapi tak ada satu pun tempat
yang mampu membuat aku jatuh cinta sebanyak kampung halamanku. Meski kampung
halamanku hanyalah sebuah kota kecil tak terkenal, meski pembangunannya
tersendat-sendat, meski aku butuh banyak biaya untuk pulang kembali, sama
sekali tak menyurutkan apa-apa yang aku rasakan dalam hatiku. Rasa rindu yang
sederhana, rasa nyaman yang misterius, rasa tenang yang ajaib...aku selalu
merindukannya. Dia memiliki hatiku, menawannya di sudut ruang tunggu bandara
dan tak membiarkan hatiku ikut pergi bersamaku ke banyak tempat. Dan hatiku
masih akan selalu setia menunggu di pintu kedatangan bandara kecil kampung
halamanku setiap kali aku pulang. Aku akan bertemu kembali dengan hatiku di
pintu kedatangan, tepat ketika aku melangkahkan kaki memasuki kampung
halamanku.”
“Mungkin aku tahu...” kataku
lemah, memandangi runway yang kosong.
Hanya ada angin dan rumput yang gemerisik. Dia datang dengan penerbangan
terakhir hari ini. Senja pertama di bulan September yang basah.
“Maaf aku pernah pergi meninggalkannya, menganggap akan ada tempat lain yang lebih baik untukku.” Ucapnya tak kalah lemahnya. Perjalanan jauh mungkin telah menyerap seluruh energinya untuk berbicara dengan penuh semangat.
Aku memandangi sisi kiri dirinya.
Dia semakin dewasa. Singgah di banyak tempat telah mengubahnya demikian besar. Tak
aku jumpai lagi bagian dirinya yang sering membuatku tertawa – sikap kenakan-kanakannya.
Pandangannya jauh lebih teduh, tak berbinar-binar seperti dulu. Senyumnya jauh
lebih teratur, tak selebar dulu. Bepergian memang bisa mengubah hidup
seseorang, mengubah cara pandang seseorang, tapi aku rasa tidak ada yang bisa
mengubah hati seseorang. Dia tetap merindukan aku, kampung halamannya.
“Kau sudah kembali, itu jauh
lebih penting” kataku, memeluk kedua kakiku “aku pikir kau tidak akan pernah
kembali. Maksudku, konsep tentang rumah dan kampung halaman menjadi terlalu klise
manakala kau pergi ke banyak tempat. Kau bisa menganggap tempat manapun sebagai
rumahmu, kau bisa menganggap kota apapun sebagai kampung halamanmu selama kau
menginginkannya. Jadi aku pikir kau tidak akan pernah kembali kesini...”
“Jika kau pikir aku tidak akan
pernah kembali, kenapa kau masih menungguku?” potongnya.
“Aku tidak sedang menunggumu” aku
tersenyum “hanya saja, ketika aku sadar menunggu adalah satu-satunya cara untuk
membuatmu kembali, maka aku melakukannya. Ya, aku akui kadang aku bosan dan
lelah menunggu, mencoba melakukan hal lain untuk mengusir jenuh. Tapi hanya
untuk mengusir jenuh, tidak lebih. Karena setelah itu aku akan kembali
menunggu, mungkin tidak di pintu kedatangan bandara seperti hatimu yang masih
setia menunggu kepulanganmu. Tapi aku menunggu, menunggu di sudut bilikku
dengan rintihan dan doa. Caraku menunggu berbeda. Aku menunggu Tuhan membawamu
kembali.”
“Ya, Tuhan telah membawaku
kembali. Dia telah mengabulkan doamu”
Aku menggeleng, kembali memandangi
ujung runway dimana ada beberapa
petugas bandara yang sedang bercakap-cakap. “Belum, Tuhan baru mengabulkan
sebagian doaku. Tapi tidak masalah buatku, kepulanganmu sudah lebih dari cukup.”
“Hmm...?” dia bergumam “lantas
apa sebagian doa yang lain itu?”
Aku tertawa “tidak akan aku beri
tahu sampai doa itu terkabul”
“Kau selalu begitu” katanya “selalu
tidak ingin menceritakan semua hal padaku. Selalu menyisakan cerita yang
menggantung, selalu membuat aku penasaran...”
“Sehingga kau memutuskan untuk
kembali” potongku – tertawa.
Dia ikut tertawa. Kami tertawa
bersama, untuk pertama kalinya. Apa yang sering orang bilang? Kita mungkin bisa
lupa dengan orang yang tertawa bersama kita, tapi kita tidak akan bisa lupa
dengan orang yang menangis bersama kita. Kalimat ajaib itu, entah benar atau
tidak, tetap saja membuat aku merasa geli.
“Jadi, Tuan petualang, apakah kau
masih akan bepergian lagi?” tanyaku setelah kami berdua berhenti tertawa dan
hanya memandangi lautan yang terhampar luas di bawah sana, yang bisa kami
pandangi sepuasnya dari tepi runway
yang berumput ini.
“Mungkin” jawabnya dengan senyum
jahil – sedikit demi sedikit dia mulai kembali seperti dulu. “Tapi tidak
sebelum aku membawa kampung halamanku ikut denganku...”
Aku diam saja, tersenyum di dalam
hati.
“Terima kasih” bisiknya di antara
deru suara angin yang bertiup semakin kencang senja ini.
“Hah?” aku menoleh padanya.
“Iya, terima kasih. Terima kasih
kau masih mau menerima aku kembali kesini, terima kasih juga kau mau
menungguku, terima kasih untuk setiap doamu, terima kasih untuk tetap bertahan
sejauh ini. Terima kasih selalu mengingatkan aku tentang kampung halamanku,
juga banyak terima kasih selalu membuatku ingin pulang. Terima kasih telah
membuat semua tempat yang aku singgahi menjadi tak berarti tanpa ada kau
disana. Terima kasih telah menyadarkan aku, sebanyak apapun tempat yang aku
singgahi sama sekali tidak bisa mengubah siapa diriku sebenarnya. Aku hanyalah
seorang laki-laki dari kota kecil yang ingin melupakan asal-usulnya. Dan ketika
aku tiba-tiba teringat dirimu, aku tau siapa diriku. Terima kasih telah membuat
aku melihat ke dalam diriku sendiri. Ahya, terima kasih juga untuk membuatku
tidak bisa jatuh cinta kepada orang lain. Aku benci mengakuinya, tapi siapapun
perempuan yang aku jumpai setelahmu sama sekali tidak bisa membuatku merasakan
perasaan itu. Perasaan peduli dan perasaan rindu. Aku telah menemui banyak
orang, mengenal banyak orang, tapi tak ada yang seperti dirimu.”
“Banyak sekali terima kasihmu
untukku” candaku.
“Memang, seharusnya bisa lebih
banyak lagi kalau saja kau mau mengatakan padaku apa sebagian doamu yang lain
itu”
Aku tertawa dan kembali
menggeleng “kau tidak perlu mengetahuinya dan aku tidak akan pernah
memberitahukannya. Tapi terima kasih telah mengalamatkan semua terima kasih itu
kepadaku. Aku juga ingin berterima kasih, tapi bukan padamu. Aku ingin
berterima kasih pada Tuhan, telah membuatku jatuh cinta padamu. Bukan hal yang
mudah jatuh cinta pada sosok yang awalnya peragu, begitu cepat berubah pikiran,
dan kadang meledak-ledak. Aku berterima kasih pada Tuhan karena dia telah
membuatmu pergi, melihat banyak hal baru dan mengalami banyak hal baru sehingga
ketika kau kembali, kau menjadi sosok yang lebih baik. Aku berterima kasih
diberi keyakinan untuk terus menunggumu, berterima kasih pada setiap orang yang
salah yang kita temui karena kita tau, mereka selalu membawa diri kita kembali
satu sama lain. Aku tidak bilang aku tidak mencoba, ya, aku mencoba dengan
beberapa orang yang belum tepat. Aku berterima kasih pada Tuhan, kita bisa
mengalami banyak hal yang luar biasa ini.”
“Kau benar, terima kasih pada
Tuhan” dia menimpali.
Hening. Sebentar lagi lukisan
senja akan berganti menjadi pekat. Runway
semakin sepi, tak ada lagi petugas bandara, hanya deru angin yang masih sama. Kami
berdua memutuskan sama-sama beranjak, menuju pintu kedatangan, menjemput
hatinya yang menunggunya di jejak langkah pertama kakinya memasuki kampung
halamannya ini.
Sebagian doaku itu telah dikabulkan oleh Tuhan juga. Tepat ketika kau
mengucapkan terima kasih kepada Tuhan. Aku berdoa, ketika kita kembali bersatu,
itu karena Tuhan, bukan karena yang lain. Bisikku dalam hati. Aku tersenyum
memandangi punggungnya yang melangkah ringan menuju pintu kedatangan. Aku bisa
melihat hatinya yang tersenyum senang menunggu di balik pintu kaca itu.
20 Juni 2013
10.40 am
UPS Soho
Di antara desakan asam lambung
yang tiba-tiba meningkat karena banyaknya hal yang harus diselesaikan.
Comments
Post a Comment