Semoga...
Semoga tulisan ini bisa memberi
kita pelajaran tentang kekuatan yang tak terhingga yang diberikan Allah kepada
hamba-hambaNya yang tengah berjuang. Perjuangan yang tidak pernah mengenal kelemahan dan kelelahan.
Bersungguh-sungguhlah
untuk mendapatkan apa yang bermanfaat bagimu dan mintalah pertolongan kepada
Allah serta janganlah sekali-kali engkau merasa lemah. (H.R Muslim)
Nama ibu itu Rahayu. Ibu Ayu. Dia
memakai gamis berwarna ungu gelap juga jilbab lebar berwarna senada. Wajahnya manis
tapi terlihat jelas amat kebingungan. Usianya mungkin tidak berbeda jauh dengan
saya.
Dia menghampiri saya yang sedang
duduk di pojok mushola bandara Hasanuddin (tempat favorit saya jika transit di
Makassar. Selain nyaman, di pojok mushola ada colokannya *modus). Dia memperlihatkan
boarding pass-nya pada saya, bertanya
jam berapa pesawatnya berangkat. Di sana tertera jam 7.15 malam. karena masih
lama, dia memutuskan menunggu maghrib bersama-sama dengan saya di mushola.
Saat itulah beliau mulai bercerita
kepada saya...
Ibu Ayu mau ke Surabaya, mencari
anaknya yang dibawa oleh kakak tirinya kesana. Karena kakaknya tidak memiliki
anak dan rumah tangga ibu Ayu sedang bermasalah, maka dia mengijinkan anaknya
untuk diasuh oleh kakaknya itu. Tapi ternyata setelah berbulan-bulan putus
komunikasi dengan kakaknya, dia mendapat kabar kalau anaknya telah
ditelantarkan oleh kakaknya. Dititipkan (katanya) di sebuah pesantren di
Gresik. Setelah mendengar kabar itu, dibantu oleh pemilik tempatnya bekerja,
dia langsung memutuskan pergi ke Surabaya untuk mencari anaknya yang masih
balita dan ini pertama kalinya dia naik pesawat.
“Awalnya saya masih husnudzhon
dengan kakak saya itu meskipun berbulan-bulan komunikasi kami sudah putus. Sebenarnya
saya tidak ingin menyerahkan anak saya, saya yakin Allah akan memberi rejeki
untuk anak-anak saya. Tapi kakak saya terus membujuk saya dan ternyata dia
tidak amanah...”
Anak bungsunya yang dibawa pergi
itu baru berusia 4 tahun. Bercerita tentang anaknya itu, mata Ibu Ayu
berkaca-kaca. Saya hanya diam. Sebenarnya saya diam karena saya sama sekali
tidak tau harus mengatakan apa.
Ibu Ayu juga bercerita kalau dia telah
bercerai dengan suaminya (saya makin bertambah diam). Mereka bercerai karena
suaminya terpengaruh oleh ajaran sesat. Dia sudah berusaha keras mempertahankan
suaminya tapi ternyata tetap tidak bisa. Dia sudah berusaha melaporkan
aliran sesat yang diikuti suaminya ke MUI dan polisi. Menurutnya, suaminya
itu diajak oleh temannya. Awalnya mereka mengajarkan ilmu syari tapi semakin
kesini ajarannya mulai menyimpang, bahkan mereka tidak lagi mewajibkan sholat
dan masih menurut Ibu Ayu, aliran sesat itulah jaringan teroris yang sedang
dicari-cari. Allahua’lam.
Akhirnya dia memutuskan untuk
bercerai dan memperjuangkan hak asuh anak-anaknya. Ternyata sulitnya bukan
main. Saya masih tidak tau harus memberi nasihat atau kalimat penghiburan
seperti apa. Saya merasa tidak pantas karena saya tau Ibu Ayu jauh lebih paham
daripada saya.
“Allah sedang menguji saya”
begitu katanya dengan mata sembab “mungkin dosa-dosa saya dulu terlalu banyak. Makanya
sekarang Allah menguji saya...”
“Bukan hidup namanya kalau tidak
diuji” ucap saya memberanikan diri berbicara (akhirnya)
“Benar” dia tersenyum “saya tidak
boleh murka pada Allah karena ujian ini”
“Iya, karena kalau kita marah sama Allah,
nanti kita mau minta tolong sama siapa lagi?” tambah saya. Meskipun saat
mengatakan hal itu saya agak segan. Rasanya seperti seorang mutorobbiyah yang
mengajarkan seorang murobbiyah saja.
“Jika Allah menguji saya, saya
pasti diciptakan spesial” lanjutnya.
“Pasti” kata saya, tersenyum.
“Saya pasti bisa melewatinya...”
Dia lalu memperlihatkan kepada
saya foto anaknya yang bernama Inayah. Masih sangat kecil. Saya berusaha memahami
perasaan seorang ibu yang kehilangan anaknya di tengah-tengah banyaknya masalah
yang harus dia hadapi. Saya berusaha memaklumi kenapa dia senekat ini ke
Surabaya sendirian dan tidak tau harus kemana setelah di Surabaya nanti karena
dia sama sekali tidak punya keluarga di Surabaya. Ingin rasanya saya menawarkan
pertolongan, meminta Papa saya yang ada di Surabaya untuk menjemputnya dan
mengantarkannya ke penginapan. Ah, tapi pasti dia tidak mau dan belum tentu
Papa bisa.
Melihat sosok Ibu Ayu, saya semakin
yakin, perempuan memang makhluk yang luar biasa kuat. Kami spesial, kami istimewa. Kami tetap
bisa bertahan di tengah deraan berbagai masalah. Entah karena apa. Entah karena
apa seorang perempuan masih dapat tersenyum meski dia tau dia tak punya
kewajiban untuk tersenyum di tengah-tengah ujian yang tengah dijalaninya. Dia punya
hak untuk menangis alih-alih tersenyum.
Kemudian saya sadar, jawabannya
adalah karena Allah. Ada Allah Yang Maha Kuat yang menguatkan. Ada Allah tempat
menggantung segala harap. Bukankah kita hanya tinggal meminta padaNya? Bukankah
kita hanya perlu meminta?
Perempuan menjadi kuat karena
kami yakin dengan pertolongan Allah Yang Maha Baik. Jika tidak, pada siapa
lagi? Seorang suami yang seharusnya menjadi tempat bersandar malah pergi. Allah
membuat kami tidak merasa sendiri untuk melangkah.
Ada Allah...selalu ada Allah...
Waktu maghrib tiba, pembicaraan
kami terhenti. Saya sholat dan Ibu Ayu pergi berwudhu. Setelah sholat saya
pamit padanya karena sebentar lagi saya harus boarding dan kebelet pipis.
Kami berjabat tangan dan berpelukan.
“Semoga kita bertemu lagi”
ucapnya
“InsyaaLlah dimudahkan urusannya”
kata saya.
Ahya, semoga doa saya untuknya
saat sholat tadi diijabah oleh Allah. Semoga Allah memberikan pertolonganNya. Semoga
doa itu diaminkan oleh malaikat dan malaikat akan berkata, “dan untukmu serupa
juga”.
Semoga...
Semoga saja pertemuan saya dengan
Ibu Ayu adalah salah satu cara Allah untuk mengabulkan doa saya.
Laa ilaaha illaa anta subhanaaka
innii kuntum minazh zhalimin...
Hasbunallah wa ni’mal wakiil...
Di antara awan-awan yang tengah
bersesakan di langit
Pesawat Makassar - Yogyakarta
8 Juni 2013
Comments
Post a Comment