Bangkok Traffic (Love) Story

“We travel, some of us forever, to seek other states, other lives, other souls.”
― Anaïs Nin 
Dua jam setengah saya di pesawat sambil sesekali memandangi Tya yang tertidur dengan mesranya bersama bapak-bapak-entah-siapa yang duduk di sampingnya. Pasti bapak-bapak itu minum Ant*mo kebanyakan karena meskipun pesawat sudah landing dan penumpang sudah dipersilahkan turun, bapak-bapak itu tetap saja tidur tanpa bergerak sedikitpun!

Setelah masuk di terminal 1 Changi,  melewati imigrasi dan mengambil hampir semua jenis peta Singapura yang disediakan gratis di bandara, kami langsung menuju terminal 2 naik skytrain (gratis lagi!) karena terminal MRT Changi berada di terminal 2. Tapi sebelumnya kami singgah di tempat penitipan barang untuk menitipkan beban berat di punggung yang seperti hendak merongrong tegapnya bahu kami *halah* hanya dengan 3.3 SGD untuk 24 jam pertama.

Dan kami siap berpetualang di Singapura seharian. Tapi seperti biasa, selalu ada hal-hal random yang terjadi setiap kali saya travelling.

Kedodolan pertama
Tujuan pertama kami adalah stasiun MRT Harbourfront yang langsung nyambung dengan Vivo mall dimana terdapat skytrain (yang ini mah tidak gratis) yang akan membawa kami ke pulau Sentosa, tempat Universal Studio berada. Saat membeli tiket MRT di mesin penjual tiket, uang kertas yang kami masukkan selalu ditolak oleh mesin. Ternyata pecahan uangnya terlalu besar. Untung ada bapak-bapak baik hati yang menunjukkan tempat penukaran uang karena dia sendiri tidak punya uang kecil yang bisa ditukar dengan uang kami. Padahal kami sudah menyita waktunya dengan berlama-lama di depan mesin penjual tiket memperdebatkan kenapa uang 10 SGD kami tidak mau diterima oleh mesin. Terima kasih, Pak! *kibas tiket MRT*
Left Baggage di lantai dasar dekat pintu keluar terminal 2 bandara Changi

Tidak banyak kejutan yang saya dapatkan di Universal Studio karena ini yang kedua kalinya saya datang. Saya mencoba satu wahana yang dulu tidak sempat saya coba di area Jurassic Park dan sukses membuat baju saya basah -___-“ tau gitu tadi pake jas hujan deh.

Kedodolan kedua
keluar dari Universal Studio kami langsung ke Merlion Park. Biasa, moto-moto. Rasanya tidak afdhol kalo ke Singapura tapi tidak foto-foto di sini *oke, terlalu mainstream*. Dari stasiun Harbourfront harusnya kami naik MRT jalur ungu dan turun di Dhoby Ghaunt dan pindah jalur untuk turun di stasiun Raffles Place, stasiun yang paling dekat dengan Merlion Park. Tapi yang tadinya cuma butuh lewat empat stasiun kami jadi harus lewat 30 lebih stasiun karena salah pilih jalur. Jadilah kami keliling bawah tanah Singapura dulu sejam. Gagal dah rencana ke Marina Bay Sands karena jam 7 malam kami sudah harus balik Changi.


Kali ini saya tidak mau nyasar lagi ke Merlion Park dari stasiun Raffles Place dan berhasil! Bisa balik ke stasiun MRT tanpa pake nyasar benar-benar sesuatuh! Kami langsung membeli tiket MRT ke Changi, mengambil kembali beban di pundak di tempat penitipan barang dan naik lagi skytrain ke terminal 1. Penerbangan ke Bangkok jam 10 malam itu juga.

Di ruang tunggu, untuk pertama kalinya saya dengar orang bicara pakai bahasa Thailand. Saya dan Tya langsung ketawa. Lucu sih. Serasa lagi nonton film-film Thailand. Pak pak nam tong lai lai. Kedengarannya begitu. Haha. Tapi ucapan salam mereka halus bener. Sawadee kha...

Jam 12 malam pesawat landing dengan cantik di bandara Don Mueang, Bangkok. Beruntung supir taksi bandara yang mengantar kami ke hotel bisa bahasa Inggris (meskipun bahasa Inggris saya pun sangat pas-pasan). 350 TBH ongkos taksi dari Don Mueang ke Sukhumvit 55 tempat hotel kami berada. Taksi di Thailand jarang ada yang pakai argo (saya malah belum nemu sama sekali taksi yang pakai argo) jadi ya harus pandai-pandai menawar.

Kami sampai di hotel jam 2 pagi sementara check-in baru bisa jam 2 siang. Mau tidak mau kami harus menambah satu hari lagi sewa kamar *elus dompet* dan lagi kamar ekonomi sudah penuh sehingga kami harus menyewa kamar deluxe yang oleh resepsionisnya disebut kamar ‘delack’ (kami belum ngeh apa itu ‘delack’ sampai ada tamu bule yang ikut ngomong ingin pindah kamar ke kamar ‘delack’). Beruntungnya lagi ketika siang harinya check out untuk pindah ke kamar ekonomi yang sudah saya pesan sebelumnya via agoda, resepsionisnya bilang kalau kami bisa tetap menggunakan kamar yang sama. Jadi kami pakai kamar ‘delack’ dengan harga kamar ekonomi. Yay!

Kedodolan ketiga
Hari pertama di Bangkok targetnya : cari mini market beli makan! *lapar parah*. Dan beli kartu sim lokal. Di dekat hotel ada Sevel tapi masalahnya pelayannya tidak bisa bahasa Inggris. Maka terjadilah percakapan random berikut :

Saya : do you have sim card? True move? (True move nama kartunya. Hasil googling pake wifi hotel)

Dikasih kartu sim True Move sama pelayannya. Pas mau nanya pulsa, saya baru sadar kalau saya tidak tau apa bahasa Inggris pulsa.

Eh...err... do you have...
(berpikir keras menerka-nerka apa bahasa inggris pulsa)
err... do you have... pulse?”
(sejak kapan pulsa jadi pulse, Devi!!! *self toyor).

Akhirnya saya nunjuk-nunjuk kartu sim saya dan pelayannya langsung ngerti. Pesan moralnya, bahasa Tarzan adalah bahasa yang paling universal di dunia.

Target lain hari itu adalah mengunjungi berbagai ‘wat’ alias kuil yang ada di sepanjang sungai Chao Phraya. Dan juga hari pertama saya naik BTS. Mendadak saya jadi deg-degan *berlebihan* *abaikan*. Stasiun BTS terdekat adalah stasiun Thong Lo (baca : yang dimaksud terdekat disini adalah jalan kaki satu kilo dari hotel) dan untuk menuju dermaga atau pier utama Chao Phraya kami harus turun di terminal Saphan Thaksin. Dari Pier Thaksin kami naik angkutan perahu menuju Grand Palace dengan ongkos 40 TBH (agak mahal karena naik perahu turis. Kalo naik perahu umum Cuma 15 TBH. Ah, rugi saya...). Sampai di Grand Palace ternyata sudah tutup. Kami telat, Grand Palace Cuma buka sampai jam setengah 4 sore. Kaya anak sekolahan saja, kata Tya -___-“
Peta BTS, MRT dan Bus

Tiket BTS
Stasiun BTS Thong Lo
Akhirnya kami memutuskan langsung ke Wat Po saja, letaknya tepat di sebelah Grand Palace. Pulang dari Wat Po kami langsung ke Wat Arun yang ada di seberang sungai Chao Phraya. Segitu saja. Pulangnya sempat bingung mau turun di pier yang mana karena nama-nama dermaganya ditulis pakai huruf melilit besar-besar sementara versi Inggrisnya ditulis kecil-kecil di pojok. Akhirnya kami Cuma menerka-nerka yang mana Pier Thaksin tempat kami naik tadi. Alhamdulillah, tidak salah turun :D
Wat Po

Menjelang matahari terbenam :)
Wat Arun. Lebih keren kalau kesini malam

Hari kedua, karena masih penasaran sama Grand Palace, pagi-pagi sekali kami sudah siap mau balik ke sana dengan catatan harus sudah ke Madame Tussauds sebelum jam 12 karena saya membeli tiket early bird yang harganya setengah dari harga normal jika datang sebelum jam 12 siang (tidak mau rugi dong). Karena buru-buru, kami tidak naik BTS yang harus mutar dulu dan kemudian naik perahu. Nanya ke resepsionis hotel berapa kira-kira ongkos taksi kalau langsung ke Grand Palace dari hotel, mereka belum ngeh apa itu Grand Palace. Nanti setelah ditulis nama Grand Palace di kertas baru mereka ngerti kemana kami mau pergi. Wat Phra Kaew, mereka taunya itu, bukan Grand Palace (yaelah). Karena jauh, sarannya turun saja di stasiun National Stadium baru naik taksi dari sana sekitar 100 TBH. Okesip. Kami langsung jalan ke stasiun BTS dan sampai di National Stadium langsung nyari taksi ke Wat Phra Kaew. Begitu ada taksi lewat, kami langsung menyetopnya dan bilang mau ke Wat Phra Kaew. Entah pengucapan saya yang kurang pas atau gimana, bapak supirnya tidak ngerti kami mau kemana -___-“ akhirnya kembali pakai bahasa universal. Saya buka peta, nunjuk-nunjuk gambar Grand Palace ke bapak supir. Dibaca bentar petanya baru deh bapak supirnya ngangguk-ngangguk kencang. One hundred baht, kata bapak itu. Oke, kami langsung setuju.

Sampai di Grand Palace, ternyata meski masih pagi ramenya minta ampun hampir mirip pasar. Tidak bisa bebas foto-foto. Tiket masuk Grand Palace 500 TBH. Lumayan mahal sih. Tapi itu tiket terusan ke museum Emerald Budha dan Vivanmek Mansion. Karena buru-buru kami cuma keliling Grand Palace yang luasnya gak nyante. Satu jam setengah tidak cukup untuk mengeksplorasi seluruh wilayah Grand Palace. Karena sebentar lagi jam 12, kami langsung minggat ke Siam Discovery Mall tempat Madame Tussauds berada. Naik taksi, 100 TBH juga.
Tiket masuk Grand Palace

Grand Palace

Madame Tussauds ada di lantai 6 Siam Discovery Mall. Mall ini isinya barang-barang branded semua, malas liat-liat. Kami langsung ke Madame Tussauds. Masuk ke dalam museum yang pertama dijumpai adalah patung Raja dan Ratu Thailand. Dan setelah itu nampak berdiri patung Bung Karno. Duh, nasionalisme saya jadi berlipat. Kemudian berderet-deret patung Gandhi, Picasso, Lady Dy, Bethoven, Einstein, sampai kemudian di bagian olahragawan saya melihat patung Gerrard. Hwuah...saya langsung foto-foto dengan segala macam gaya norak. Sempat sedikit norak juga waktu liat patung Johnny Depp dan George Clooney dan norak saya beranjak maksimal waktu liat patung Theeradej Wongpuapan alias Ken alias Loong alias Paman. Iya, Paman! Saya tidak sangka ada patung Paman di sini. Nyaris saja saya tidak beranjak kalau tidak ingat belum sempat ambil foto dengan Obama :D

Merdeka!


Abang Johnny Depp
This is our captain!


Oom George Clooney yang makin tua makin keren

Tinggi bener -___-

Paman! Paman!

Setelah itu lanjut ke MBK dengan jalan kaki. Dekat soalnya. MBK ini mall yang katanya paling murah di Bangkok. Sama ada mushola dan tempat makan halal. Kami makan di food court lantai 6. Saya pesan Tom Yum. Cuma mau nyoba saja sih. Ternyata rasanya aneh. Asam dan manis. Tapi karena lapar ya abis juga Tom yum saya. Setelah itu ke mushola. Waktu nanya ke satpamnya dimana praying room, satpamnya tidak tau. Setelah saya bilang Hong Lamard, bahasa Thailand-nya mushola baru deh si bapak nunjukin arah ke mushola. Setelah itu kami keliling cari oleh-oleh dan ketemu banyak orang Indonesia yang belanja macam-macam disana :D

Dari MBK, sesuai niat saya yang ingin mengambil gambar semua toilet di Terminal 21 mall, kami turun di stasiun BTS Asoke menuju Terminal 21 Mall. Dan benar, mall yang satu ini keren. Tiap lantai punya tema kota-kota di dunia. Ada tema Paris, Tokyo, London, Istanbul, Roma dan Los Angeles. Toiletnya juga keren. Baru kali ini datang ke mall cuma buat mampir di toilet setiap lantainya. Haha.
Toilet level Tokyo

Toilet level London

Toilet level Istanbul

Toilet level Los Angeles

Toilet level Roma

Balik hotel, ambil backpack, lanjut ke Phuket naik bis dari terminal Sai Tai Mai alias Southern Terminal. Kalau di peta sih kayanya jauh, nanya ke resepsionis mereka juga bingung. Niatnya mau naik taksi tapi katanya kejauhan mana taksinya suka pilih-pilih tujuan lagi. Alhamdulillah, ternyata ada taksi yang mau ngantar ke Sai Tai Mai dengan ongkos 300 TBH. Tolong dicatat, kami naik taksi jam setengah 6 dengan maksud naik bus ke Phuket jam setengah 7. Nyatanya kami terjebak macet dan baru jam 9 malam sampai di terminal. Macetnya parah, bahkan si bapak supir yang sudah lama hidup di Bangkok juga ikut kesal. Tau gitu naik BTS saja, pasti sudah sampai dari tadi -____-“

Lampu merah di Bangkok memang ajaib. Bayangkan, merahnya bisa sampai sepuluh menit (perhitungan kasar saya saja) untuk jalan enam arah. Saya dan Tya sudah deg-degan, takut ketinggalan bus paling akhir yang berangkat jam setengah 10 malam plus deg-degan juga gimana kalau sampai bapak supirnya berubah pikiran dan menurunkan kami di tengah jalan karena macet parah ini. Saya mulai berpikir mencari alternatif transportasi kalau memang bapak supirnya tidak sudi mengantar kami sampai ke terminal. Naik ojek. Ya! Naik ojek! Soalnya Cuma sepeda motor yang bisa nyelip-nyelip dan paling memungkinkan untuk sampai di terminal tepat waktu. Alhamdulillah, pikiran buruk saya tidak terbukti. Setelah terlepas dari macet bapak supir itu langsung memacu mobilnya dengan kencang dan tidak sampai setengah jam kami sudah tiba di terminal. Hanya si bapak meminta ongkos 400 TBH yang tadinya di perjanjian awal 300 TBH. Duh, bapak. Mau minta 500 TBH juga pasti kami kasih karena bapak mau mengantar kami sampai tujuan. Terima kasih bapak supir *lambai sapu tangan*

Masuk ke terminal, bak film-film romantis, kami lari-lari menuju loket penjualan tiket. Dua puluh menit lagi bus terakhir berangkat. Benar-benar perjuangan. Alhamdulillah masih ada satu loket buka yang menjual tiket bus ke Phuket. Dan setelah tanya sana sini dimana peron 17, kami bisa duduk dengan tenang di dalam bus, menarik nafas lega. Hufftt... See ya Bangkok!

Kesan pertama saya tentang Bangkok itu, ramah! Iya, saya merasa orang Thailand itu sangat ramah. Meski mereka tidak bisa bahasa Inggris, mereka berusaha keras menjawab semua pertanyaan kami dengan senyum. Ditambah lagi transportasi umum yang sangat melimpah dan juga nyaman. Sebagai ibukota, Bangkok benar-benar ramah, jauh lebih ramah dibanding Jakarta menurut saya. Mungkin nanti saya akan kembali lagi kesini. Entah... :)

And here we go, Phuket.
Setelah 13 jam di dalam bus, sempat terhenti karena ada pohon tumbang di tengah jalan dan diguyur hujan lebat sepanjang malam, melewati perkampungan muslim yang semua perempuannya memakai jilbab lebar, lewat Khao Lak, tempat wisata yang juga tak kalah kerennya, akhirnya kami sampai di terminal bus Phuket. Dari Phuket naik taksi ke Patong seharga 450 TBH tapi kali ini supirnya sama sekali tidak bisa bahasa Inggris. Sedikit pun. Meski begitu, si bapak tetap ramah. Sampai di Patong mobilnya dia hentikan di pinggir jalan dan minta tolong sama orang yang bisa bahasa Inggris untuk bicara dengan kami. Akhirnya kami sampai juga di Abbey Road Hotel dan kali ini resepsionisnya bisa bahasa Melayu. Duh, rasanya pingin peluk resepsionisnya itu. Kami dapat kamar yang cukup mewah dengan harga yang sangat miring. Kamar yang kalau di Indonesia mungkin bisa 600 ribu sampai sejuta semalam hanya kami bayar seharga 200 ribuan semalam. Saya bangga dong tidak salah pilih hotel :D

Malamnya setelah hujan reda, kami jalan kaki ke Jungceylon. Mall yang ada di Patong. Patong itu memang persis Kuta (yang pernah ke Kuta pasti tau maksud saya). Sejauh mata memandang hanya bule yang terlihat. Dan uniknya, seperti halnya mini market yang bertebaran di setiap beberapa meter, apotik juga bertebaran di Patong setiap beberapa meter. Apa karena turis disini sering sakit ya? Haha...entahlah.

Esok harinya kami ikut tur ke Phi phi island. Cuacanya memang kurang bagus dan ombaknya serius bikin mabuk laut. Yah, saran saya lain kali kalau mau ke tempat wisata yang temanya laut jangan di bulan yang berakhiran –ber deh. Di Patong kami tidak sempat main ke pantai karena seharian hujan turun. Di kapal menuju Phi phi saya tiduran dengan turis-turis lain karena kepala saya pusing. Phuket – Phi phi memakan waktu sekitar 2 jam. Sampai di Phi phi dom kami ganti kapal yang lebih kecil untuk pergi ke pantai yang jadi tempat syuting film The Beach dan saya terus saja tidur. Rugi deh bayar tur mahal-mahal tapi Cuma tidur dan dapat kepala pusing -____-“

Di Phi phi dom ada satu masjid yang cukup besar. Sepertinya daerah Phuket dan Phi phi ini banyak muslimnya. Bahkan di Patong tidak susah cari tempat makan halal karena restoran Prancis yang ada di dekat hotel pun memberi label halal di restoran mereka. Memang sih saya pernah baca kalau daerah di selatan Thailand itu banyak penduduk muslimnya.


Sorenya kami balik ke Phuket. Karena ombaknya masih belum nyante, akhirnya sok-sok ikut bule naik di dek kapal paling atas yang terbuka. Langsung deh kami kembali rebahan. Tapi bahkan bule sekalipun masih mencari tempat yang agak teduh untuk tiduran dan berjemur, kami berdua malah tiduran menantang matahari karena kepala terlalu pening untuk bangun. Haha. Yang ada tangan dan muka malah jadi merah.

Dan yah, besoknya pagi-pagi sekali kami harus ke bandara Phuket. Penerbangan pertama menuju KL sebelum melanjutkan penerbangan KL-Makassar. Sempat deg-degan juga takut ketinggalan pesawat ke Makassar karena jarak antara penerbangan Phuket – KL dan KL – Makassar hanya dua jam. Belum lagi kami masih harus antri panjang melewati imigrasi. Tapi sekali lagi Alhamdulillah, semua berjalan lancar. Di Malaysia petugas bandaranya baik, backpack saya tidak dibongkar-bongkar seperti di 3 bandara sebelumnya.

Dan bagian terbaik dari bepergian adalah perjalanan pulang. Rasanya luar biasa bisa kembali pulang setelah melewatkan sepekan yang seru dan melelahkan :)
“It is good to have an end to journey toward; but it is the journey that matters, in the end.” 
― Ernest Hemingway

Kemanapun kita pergi, kita masih berpijak di bumi Allah. Akan selalu ada Allah yang menolong dan melindungi kita. Allah sebaik-baik penolong. Allah sebaik-baik pelindung.

Travelling itu bukan soal materi berlimpah atau soal tempat-tempat keren yang akan dituju. Travelling itu soal keberanian, soal menemukan pelajaran dari perjalanan. Bukan tentang tempat tujuannya, tapi tentang petualangannya.

23.26
kamar

Comments

Popular posts from this blog

Pierre Tendean (Lagi-lagi)

Antara Pierre Tendean dan Hiruk Pikuk Jalanan Di Depan Kantor

Saya dan Tahun 60-an