Third Step : Kota Pahlawan, Kota Kembang, Ibu Kota
Akhirnyaaa…. Setelah berjuang selama 18 hari di diklat Pengelolaan Gadai Syariah di Surabaya dan deg-degan menunggu ijin cuti yang belum keluar, saya dapat bernafas lega. Rencana perjalanan Suarayaba – Bandung – Jakarta terlaksana juga. Dan untuk pertama kalinya saya akan naik kereta api! Yay! *ndeso
Selesai penutupan diklat, saya
dan dua orang teman berangkat ke stasiun Gubeng dengan taksi. Kalau dilihat sih
suasana stasiun KA itu standar saja. Banyak porter lalu lalang, petugas
keamanan, calon penumpang…tapi setidaknya tidak ada desak-desakan seperti yang
sering saya lihat di berita di TV-TV. Mungkin karena arus balik hari raya idul
adha telah selesai. Dengan menyeret koper besar dan bawaan seabrek, plus dua
buah dus yang dibantu dibawakan sama Mas Arif (terima kasih Mas Arif, udah mau
jadi porter untuk saya dan Ibu Ida :p) kami bertiga menunggu kereta di ruang
tunggu sambil melihat pengamen elit di dalam stasiun. Kenapa saya bilang
pengamen elit? Karena para pengamen itu menggunakan alat musik lengkap mulai
dari gitar, bass dan drum. Personilnya tiga orang, bapak-bapak semua. Lagunya
jangan ditanya…yang pasti lagu jadul milik Koes Ploes juga ada.
Jam setengah enam sore, kereta
yang kami tunggu datang juga. Saya excited dong karena mau naik kereta.
Pandangan saya menyapu seluruh isi kereta yang biasa saja (kecewa), duduk
dengan nyaman di sisi jendela tapi tidak keliatan pemandangan apapun di luar
sana karena hari sudah malam (lebih kecewa), berbisik sama Ibu Ida, bertanya
apa makanan yang ditawarkan di dalam kereta ini gratis atau tidak. Ternyata
bayar (manyun), mendapat selimut dari petugas (Tanya lagi apa selimutnya harus
bayar atau tidak. Yang ini gratis. Senang), dan kedinginan di kereta sepanjang
malam. Jahhh…
Memasuki daerah jawa barat,
matahari mulai menampakkan diri, dan mata saya mulai dimanjakan oleh
pemandangan hijau nan indah daerah persawahan yang rapi dan bersusun-susun.
Subhanallah…keren! Dengan akses yang serba mudah, tinggal di daerah pedesaan di
pulau jawa sepertinya adalah pilihan menarik.
Jam setengah tujuh kereta mulai
memasuki kota Bandung. Begitu menginjakkan kaki di kota kembang ini, langsung
terasa ramah tamah penduduknya. Mereka menyapa dengan sangat ramah (saya
dipanggil Neng!), dan menawarkan taksi dengan ramah, jadi rasanya seperti tidak
sedang berada di kota orang.
Dan Sari menjemput saya di
stasiun. Akhirnya kami bertemu lagi setelah terakhir bertemu tahun 2009 yang
lalu. Tidak ada yang berubah dari dirinya, tetap mungil dan supel :D
Saya dibawa berkeliling Bandung.
Ahya, jalanan di Bandung tidak selebar jalanan di Surabaya sehingga Bandung
terkesan lebih kecil dibanding Makassar ataupun Surabaya. Udaranya sejuk,
banyak pepohonan yang ditanam di sisi jalan. Sayang kebersihannya kurang
dijaga. Pertama kami pergi ke Palasari mencari buku-buku murah dan buku
pesanan. Setelah muter-muter di Palasari, kami pergi ke ITB langsung ke masjid
Salman ITB untuk sholat dhuhur.
Memasuki areal kampus, suasana
akademik langsung terasa. Di mana-mana banyak mahasiswa berkumpul dengan
membawa buku dan tampak seru membahas perkuliahan mereka. Ada yang menggambar,
membuat maket, semua pemandangan itu membuat dada saya sesak karena iri. Saya
merindukan euforia dunia akademis. Saya rindu dengan diskusi-diskusi seru
ataupun jatuh bangun mengerjakan tugas kuliah. Saya rindu melakukan penelitian
atau pusing tujuh keliling mendekati ujian. Sejatinya sih saya belum pernah
merasakan hal-hal itu mengingat masa perkuliahan saya yang hanya setahun dan
saya masih setengah hati melanjutkan kuliah saya. Jadinya saya iri setengah
hidup mati ketika mengintip ruang kuliah di ITB dan melihat mereka sedang asyik
belajar. Hwaaa….saya ingin kuliah lagi di tempat bergengsi seperti ituuuu….
Cukup cengengnya!
Hari berikutnya kami bertemu
Yani!
Kami bertiga akhirnya berkumpul
lagi setelah sekian lama tidak saling bertatap muka *halah
Yani baru datang dari Ternate
bersama suaminya dan hendak ke Tasikmalaya untuk pulkam ke rumah orang tua
suaminya. Kami bertiga, suami Yani, dan Bambang (teman Yani) plus Pak Supir
yang mengantar kami, pergi ke kawah putih Ciwidey.
Disana udaranya…brrrr…. Belum
lagi ditambah hujan deras yang membuat wajah dan tangan kami kaku kedinginan.
Makanya saya heran sama cewek-cewek yang nekat pakai baju tipis dengan hotpants
waktu naik ke kawah. Benar-benar sakti --_____--“
Pulang dari kawah putih singgah
di kebun stroberi karena saking ndesonya saya belum pernah mencicipi yang
namanya stroberi. Meski hujan-hujanan nekat saja mencari lokasi memetik
stroberi demi memenuhi ambisi saya. Dan yah…saya makan stroberi juga *dengan
nada datar
Ahad, 13 Nopember 2011
Naik kereta Argo Parahyangan,
saya dan Sari berangkat menuju Jekarda *pinjam istilah Ramla
Dengan dua tujuan : nonton sepak
bola Sea Games dan menjumpai Pierre Tendean di Monumen Pancasila Sakti :’)
Saya tau, dua tujuan yang agak
sedikit tidak normal bagi saya –-.—“
Sampai di Jakarta, simpan barang
di tempat menginap, langsung cabut ke GBK demi menguber tiket nonton sepak bola.
Berbekal selembar peta transjakarta, maka dimulailah petualangan kami di kota
yang konon katanya lebih kejam dari ibu tiri yang paling kejam sekalipun.
Memulai rute dari Monas, saya dan
Sari naik Busway menuju GBK. Seperti ikan kaleng kelebihan muatan, kami
berdesak-desakan di dalam bus. Mana supirnya tidak tanggung-tanggung kalau mau
ngerem atau mau jalan. Main injak gas atau rem seenaknya sementara kami
penumpang di dalamnya terlempar-lempar. Setidaknya saya punya dua pesan moral
disini. Pertama, kalau mau jadi penumpang tetap transjakarta harus punya daya
cengkram kaki yang kuat. Dan kedua, pegangan tangan di bus juga harus sama kuatnya
dengan daya cengkram kaki kita. Sekian!
Sampai di GBK, bingung cari
stadionnya di sebelah mana (tempatnya luas Jenderal!), liat banyak polisi Sari jadi
gugup (meskipun polisinya dan Sari sama-sama tidak salah apa-apa tetap saja
menakutkan bagi Sari), ngantri tiket, kehujanan, makan di resto yang ada di
dalam GBK, nunggu hujan reda dan pulang. Turun lagi di monas, bergaya seperti bule,
foto-foto di monas di bawah terik sinar matahari, dan pulang ke tempat menginap
langsung banting tidur sampai sore.
Menjelang pertandingan, sama
seperti halnya saat pertama kali naik KA, saya gugup dan excited. Berkali-kali
mengecek jam di tangan, menghitung jam berapa kami harus kesana. Dasar penonton
awam, niatnya ke GBK nanti setelah sholat maghrib di Mangga Dua tapi ternyata kami
malah nyasar di sana. Putar sana putar sini Cuma buat mencari shelter busway
Mangga Dua. Maka sudah bisa ditebak, kami telat sampai di GBK. Hhh…
Memasuki areal stadion, suara
gemuruh para penonton sudah terdengar. Saya makin mempercepat langkah kaki
saya, nanya sana sini sama Pak Polisi yang lagi berjaga dimana letak gate 7,
ketemu jalan masuknya, lari-lari di tangga dan….. tampaklah lautan merah
supporter Indonesia memenuhi stadion. Untuk pertama kalinya saya merasakan
suasana nonton sepak bola langsung di stadion.
Gunawan Dwi Cahyo tidak keliatan :( *eh |
Meskipun ada sedikit insiden di
tengah pertandingan, hasil 3-1 untuk Indonesia membuat saya tidak merasa rugi
nonton langsung di stadion. Bahkan saat gol ketiga di menit-menit terakhir
pertandingan tanpa sadar saya sudah ikut loncat-loncat dengan penonton lainnya
(yang ini jangan ditiru ya!)
Esoknya petualangan selanjutnya
dimulai.
Dan betapa sehelai kertas rute
busway bisa sangat bermanfaat bagi kami. Ohiya, peta di HP saya juga sangat
berjasa membantu memenuhi ambisi tuannya yang sangat ingin melihat Pierre
Tendean.
Di depan gerbang, tukang ojek
menawari kami untuk diantar masuk ke dalam museum. Saya dan sari saling
berpandangan, ‘naik ojek? Jangan-jangan masuk ke dalam jauh sekali’. Saya tidak
sampai hati membayangkan sejauh apa masuk ke dalam sana tapi tetap saja nekat
jalan kaki.
Benar saja, kami harus berjalan
jauh untuk mencapai loket karcis, berjalan jauh lagi untuk mencapai pintu masuk
museum, dan kembali berjalan jauh untuk masuk ke dalam museum --___--“
Museum pertama yang kami masuki
adalah museum pengkhianatan PKI. Entah apa karena museum atau karena isinya
tentang PKI, begitu masuk di dalam ruangan yang banyak berisi diorama terasa
sekali kalau ruangan itu dirancang agar memberi kesan seram (yang menurut saya
malah tidak ada seram-seramnya). Di dalam sana kami disajikan bentuk-bentuk
kekejaman PKI di berbagai daerah sampai dengan saat kematian Musso. Ada satu
diorama yang saya lupa di daerah mana yang nyaris membuat saya muntah. Bukan
karena seram, tapi karena jijik melihat diorama telanjang yang disiksa dan bahkan
ada yang kepalanya ditanam di dalam tanah sementara tubuh telanjangnya
dibiarkan berdiri di atas tanah.
Keluar dari sana, kami langsung
menuju monumen. Masuk ke sini ternyata harus membayar lagi. Begitu sampai di
dalam, yang paling pertama saya lihat tentu saja sumur maut tempat para ke-7
Pahlawan Revolusi dibuang. Ampun dah, sumurnya kecil amat. Muat apa buat tujuh
Pahlawan kita? Bukannya ada seorang Pahlawan Revolusi yang tubuhnya cukup
besar? Gimana cara masukinnya coba? Ada-ada saja PKI ini mah.
Berjalan ke Paseban, masuk ke
ruang relik. Ini baru terasa seram karena ada patung-patung seukuran manusia di
dalam kaca yang merekonstruksi saat dikeluarkannya supersemar, juga saat Letjen
Soeharto dilantik oleh pengadilan tinggi militer. Disini juga ada foto ketujuh
orang Pahlawan Revolusi dan saya (lagi-lagi) meminta difoto bersama gambar
Pierre Tendean *getok penculik Pierre
Aheeemm... |
Keluar dari ruang relik,
sampailah di ruangan yang sangat saya cari-cari. Ruang pakaian dan bekas darah.
Dan yang paling pertama yang saya temui begitu memasuki pintu adalah baju dan
barang-barang peninggalan milik Pierre. Meski nyaris sudah hafal barang-barang
apa saja yang dia tinggalkan karena sudah teramat sering melihat foto-fotonya
dan membaca infonya di internet, tetap saja saya membaca kembali dengan teliti
hasil visum, biodata, melihat dengan lebih teliti foto saat beliau bersama
orang tuanya, foto saat dikeluarkan dari sumur, foto beliau dengan pakaian
militer lengkap (yang ini keren!), cincin yang ditemukan di jari beliau saat
meninggal (emas putih sepertinya, dengan mata hijau), lagu Alice Iskak
kesukaannya, kamera, raket tenis, kartu pos yang beliau kirimkan dari Cimahi
tahun 1958 untuk orang tuanya (bahasanya sangat efektif dan efisien), dan tentu
saja tali yang dipakai mengikat tubuh beliau dan jaket serta celana panjang
beliau yang sobek-sobek.
Sulit membayangkan mereka semua
yang barang-barangnya dipajang di ruangan itu pernah hidup. Apalagi Pierre yang
usianya saat itu masih 26 tahun. Mungkin karena saya hanya mengenal mereka
lewat buku-buku pelajaran sejarah dimana sisi kehidupan mereka sebagai orang
biasa, sebagai ayah dan seorang suami tidak pernah dibahas.
Akhirnya meski berat dan masih
ingin lebih lama lagi, setelah melihat-lihat ruang foto dan sholat di mushala
museum, kami akhirnya harus pulang.
Hari terakhir di Jakarta,
Mengunjungi museum A.H Nasution
di daerah Menteng.
Jalan Teuku Umar adalah kompleks
perumahan elit para pejabat. Tidak heran di setiap rumah minimal ada seorang
polisi yang berjaga di depan pintu gerbang rumah. Bahkan di sebelah rumah Pak
Nas yang sekarang telah menjadi museum tinggal duta besar Irak.
Kami datang jam 9 pagi karena
menurut internet sih museum ini buka jam 9. Tapi penjaganya malah bilang jam
10. Karena melihat wajah memelas kami (sepertinya), bapak itu mengijinkan kami
masuk ke dalam museum. Hihihi…terima kasih pak penjaga museum!
Rumah Pak Nas cukup mewah. Di
pintu masuk berdiri patung tembaga setengah badan Pak Nas. Perabotan di rumah
itu juga masih ditata seperti sedia kala, ada beberapa pajangan tank tempur dan
plakat-plakat penghargaan. Masuk ke ruang berikutnya adalah tempat kerja Pak
Nas. Disana ada patung Pak Nas yang sedang menulis, sempat kaget sih karena
saya kira itu orang asli. Di seberang ruang kerja Pak Nas ada ruang tamu yang
khusus menerima tamu-tamu VIP Pak Nas.
Di lorong rumah ada patung
beberapa orang pasukan Tjakrabirawa bersenjata yang berusaha mendobrak kamar
tidur Pak Nas. Patung-patungnya semua berwajah seram tidak ada bagus-bagusnya.
Diam saja mereka tampak menakutkan, apalagi kalau bergerak trus menodongkan
senjatanya. Gut bay dah.
Di Kamar tidur Pak Nas terdapat
kursi roda yang digunakan Pak Nas di usia tuanya. Kamar itu memiliki pintu
penghubung dengan kamar Ade Irma Suryani yang ikut tertembak di malam
penculikan itu. Di dalam kamar Ade ada sebuah tempat tidur mungil miliknya dan
juga barang-barang peninggalan Ade. Ahya, ada juga foto Ade bersama Om Pierre.
Ade pasti sayang sekali sama Omnya yang satu itu :’)
Di ruang makan ada patung Ibu Yohana
yang sedang menggendong Ade yang berlumuran darah, berdiri berhadapan dengan
pasukan Tjakra. Beliau memang hebat, sama sekali tidak gentar dengan ancaman
Tjakra dan tetap dapat bersikap tenang meski anaknya sedang terluka. Bahkan
beliau juga yang meminta Pak Nas melarikan diri. Sayang Ade dan Pierre menjadi
korbannya.
Paviliun tempat Pierre tinggal
terdapat di samping rumah Pak Nas. Dulunya digunakan sebagai tempat berkumpul
para ajudan tapi sekarang sudah menjadi perpustakaan. Disitulah tempat tugas
terakhir Pierre sebelum akhirnya dibunuh di lubang buaya.
Hhh…tercapai juga tujuan saya
mengunjungi dua museum itu. *terharu *mengibarkan bendera
Besoknya, pagi-pagi sekali saya
sudah harus berangkat ke bandara Soekarno – Hatta. Sedih juga harus berpisah
dengan Sari, tiba-tiba ingin naik busway lagi dan mengunjungi Direktorat Zeni
TNI AD *eh, bukan ding. Ingin berkunjung lagi ke Monumen Pancasila Sakti dan
Museum A.H Nasution maksudnya *ngeles.
Kali ini pulangnya saya naik
Batavia Air sehingga tidak perlu berjelaga di bandara seperti saat berangkat
naik Merpati. Sempat juga berbincang-bincang dengan seorang ibu-ibu asal
Lampung yang mau pergi ke Lampung (sepertinya ini sebuah pertanda) yang heran
setengah mati kalau ternyata ada pesawat dari Jakarta yang langsung menuju
Luwuk. Beliau bertanya-tanya dimana Luwuk itu, apa dekat Nunukan? Besar mana
sama Nunukan? (Justru saya belum pernah lihat Nunukan, Bu) dan saya lupa
bertanya kenapa perbandingannya harus dengan Nunukan?
Tak lama menunggu (setelah cemas
saya salah masuk terminal karena penumpang di ruang tunggu hampir semuanya
berwajah oriental dan memakai bahasa mandarin. Jangan-jangan saya malah masuk terminal
keberangkatan internasional dan bukannya terminal domestik) para penumpang
akhirnya dipersilahkan masuk ke dalam pesawat.
Well, ini liburan yang paling
melelahkan menurut saya sekaligus paling nekad karena tak terencana dengan
baik. Tapi overall, ini juga liburan yang paling membekas buat saya karena bisa
bertemu lagi dengan dua orang saudari saya yang nun jauh itu, pertama kalinya
naik KA, pertama kalinya nonton sepak bola langsung, dan bisa mengunjungi dua
museum itu (sama lihat markas Zeni TNI AD *tidak nyambung).
11.51 a.m
21 Nopember 2011
Duduk di kantor pas di depan AC
karena kepanasan
See ya!
Comments
Post a Comment