Di Sisi Jendela
Perpisahan itu tidak harus bersinonim dengan sakit, bukan? Katamu
saat itu, sambil menggenggam erat kedua tanganku. Genggaman tanganmu yang
paling erat yang pernah aku rasakan selama dua tahun kebersamaan kita. Aku tidak melihat ada hal lain yang lebih baik
selain perpisahan. Aku rasa perpisahan adalah kesempatan terbaik yang kita
punya. Tambahmu lagi.
Aku mengangguk. Aku tau kau benar
dan kau memang selalu benar. Anggukan kepalaku semakin kencang, bahuku
terguncang. Kau memang selalu benar, kita hanya punya perpisahan sebagai hal
terbaik yang kita punya. Dan kita memang selalu punya alasan bukan? Alasan
kenapa kita saling jatuh cinta ketika banyak orang lain di luar sana yang tidak
tau mengapa mereka harus saling jatuh cinta. Kita juga punya alasan mengapa kita
harus selalu bersama. Dan kini kita juga punya alasan mengapa kita harus
berpisah.
Tapi aku tak punya alasan untuk berhenti mencintaimu. Aku tak pernah
menemukan alasan untuk membuat hatiku berhenti mencintaimu. Kita tidak punya
alasan untuk itu.
Air mataku mengalir deras.
Lagi-lagi kau benar. Aku di hadapanmu tak ubahnya sebuah buku yang terbuka pada
halaman kesekian dan siap untuk dibaca. Kau selalu tau, kau selalu mengerti.
Aku takut tidak akan lagi menemukan orang yang sama sepertimu.
Bisikku.
Kau adalah perempuanku, dan akan selalu begitu. Aku tak ingin
kehilangan keistimewaan menjadi lelakimu. Kita akan tetap saling memiliki.
Aku berusaha tersenyum. Berhentilah menghiburku. Apa kau tidak tau
kalau perpisahan akan mencabut seluruh hak istimewa itu dari kita? Nantinya aku
bukan lagi perempuanmu, dan kau bukan lagi lelakiku. Aku rasa itu cukup adil.
Kau terisak untuk pertama kalinya
di hadapanku. Tidak, kau bahkan tergugu dan bahumu berguncang. Tanganmu yang
sedang menggenggam tanganku bergetar hebat. Butir-butir air mengalir begitu
saja di kedua pipimu. Dan kau tau bagaimana rasanya menyaksikan seseorang yang
kau cintai sedang menangis? Rasanya ngilu. Sebuah rasa ngilu yang sama sekali
tidak ada hubungannya dengan rasa ngilu di gigi yang aku rasakan ketika terlalu
banyak makan es krim atau rasa ngilu di persendianku setiap kali aku pulang
kantor dengan kelelahan. Rasa ngilu itu seolah-olah berasal dari dunia lain
yang tidak pernah aku rasakan hingga saat ini. Di hadapanmu.
Aku merangkulmu dan membiarkan kau
menangis di bahuku. Kita berdua sudah terbiasa saling meminjamkan bahu ketika
masing-masing dari kita ingin bersandar. Karena memang hanya itulah hal yang
dapat kita berdua lakukan selama dua tahun kebersamaan ini. Saling melemparkan
keluh, sedih, dan hanya sesekali berbagi kebahagiaan. Sesungguhnya selama dua
tahun yang kita lewati, sedikit sekali kebahagiaan menghinggapi kita. Rasa
cemas, takut, khawatir, berdosa. Kombinasi seluruh rasa itulah yang telah
menemani hari-hari kita. Jadi aku pikir, sudah cukup bagus kita masih dapat
bertahan sejauh ini. Dua tahun tanpa jeda tapi sulit sekali untuk bercelah.
Jadi kita tidak akan bertemu lagi? Tanyaku padamu setelah tangismu
berhenti. Kau hanya diam dan terus menatapku. Aku memandang sisi lain wajahmu
asalkan jangan kedua bola matamu. Aku tidak mau menangis sepertimu – hanya
membiasakan diri sejak awal untuk tak meminjam lagi bahumu.
Iya, memang seharusnya begitu. Sambungku buru-buru, masih berusaha
keras tak menatap matamu. Kau masih diam.
Selanjutnya kita berdua
menghabiskan malam itu dengan duduk di tepi jendela, memandangi bulan yang
bulat penuh seolah-olah merayakan malam perpisahan kita. Cahayanya menyirami
wajahmu dan wajahku, menampakkan dengan jelas usaha kita untuk mengakui bahwa
‘perpisahan tidak harus selalu bersinonim dengan sakit’. Kita berdua tak perlu
merasa sakit. Perpisahan ini adalah awal dari sebuah kebebasan setelah dua
tahun yang kita habiskan di dalam persembunyian. Cinta yang disembunyikan, itu
jauh lebih sakit.
***
Bukankah sudah kau katakan, kita
tidak punya alasan untuk berhenti saling mencintai? Dan bisakah aku meminjam
bahumu sekali lagi? Untuk sebuah rasa irrasional yang mendekam di hatiku begitu
lama? Untuk sebuah keinginan absurd yang tak bisa dipenuhi? Adakah kau tau kalau
cintaku padamu bagai sebuah lubang hitam yang tak menyisakan cahaya setitik pun
untuk dinikmati orang lain?
jadi bagian manakah dari
perpisahan ini yang menjadi satu-satunya hal terbaik untuk kita? Apakah di
bagian ketika kau pada akhirnya tidak perlu lagi menyisihkan waktumu untuk
menemuiku? Atau di bagian ketika kau tidak perlu lagi berjalan dengan penuh
beban, berkisah dengan penuh kebohongan pada istrimu? Itukah bagian terbaiknya?
Aku memperbaiki kerah jasmu,
menyingkirkan beberapa helai rambut yang bergantung di dahimu. Kau harus
buru-buru pergi, ada pertemuan penting di
kantor, katamu. Semalaman kita berdua tertidur di sisi jendela, saling
berpegangan tangan tanpa spasi hingga saat terbangun, tanganmu masih menggenggam
tanganku. Kita tertidur di bawah siraman cahaya bulan dan berharap bulan akan
menyulam mimpi kita. Berharap di dalam mimpi itu perpisahan menjadi terlalu
sakit dan kita takut untuk melakukannya. Mimpi, sebuah kata yang tak ubahnya
sebuah pisau bermata dua yang dapat melukai jika dia berada di tangan yang
salah. Untuk kali ini aku tau pisau itu tengah mengarah kepadaku. Aku terlalu takut
untuk bermimpi.
Mungkin sebaiknya kita jangan bertemu lagi. Katamu sambil lagi-lagi
meraih tanganku dan menggenggamnya ketika kerah jasmu telah selesai aku
rapikan. Aku tidak yakin apa aku mampu
meninggalkanmu jika kita masih tetap saling menyapa dan saling memandang.
Aku tersenyum menenangkanmu dan
lantas mengangguk. Kau benar, kau memang selalu benar. Kita tidak akan bertemu
lagi, kau dan aku akan sama-sama memastikannya. Tidak akan ada lagi
pertemuan-pertemuan singkat di taman kota saat jam makan siang, ketika aku dan
kamu saling berlomba melahap makan siang yang aku bawakan. Genggaman tanganmu
mulai merenggang dan kemudian terlepas sama sekali. Kau berbalik mengambil
tasmu di atas meja dan kemudian melangkahkan kaki pelan menuju pintu. Kau sama
sekali tak mau memandangku untuk yang terakhir kalinya.
***
Aku tau dan sangat paham, ada
beberapa hal di dunia ini yang benar-benar tak tergantikan dan memang tak ingin
aku gantikan. Salah satunya adalah kebiasaanmu duduk di tepi jendela di
malam-malam ketika kita saling meminjamkan bahu, memandang rembulan entah itu
purnama, sabit atau bahkan saat bulan tak tampak sama sekali. Aku pun mulai
terbiasa melakukan hal itu, menyandarkan kepalaku di permukaan kaca yang
dingin, merasakan kenikmatan yang sama saat kau yang melakukannya, berjam-jam
bahkan hingga aku tertidur di sana. Aku hanya merindukanmu, itu saja.
Bagaimana rasanya? Bagaimana rasanya
tersenyum dan tertawa bersamamu dalam arti yang sebenarnya? Aku merasa kita
sangat jarang tertawa bersama bahkan ketika sedang berlomba makan siang di
taman. Aku sudah terlalu banyak melewati semuanya bersamamu dengan menangis dan
aku selalu membayangkan kapan aku bisa tertawa di depanmu. Rasanya sekarang aku
mengerti kenapa genggaman terakhirmu jauh lebih erat daripada sebelumnya. Aku masih
merindukanmu.
Perempuan itu, perempuanmu juga,
kenapa dia tak pernah mau mengalah dan membiarkan semuanya terjadi seperti seharusnya?
Bukankah aku juga perempuanmu? Kenapa dia tidak bisa bersikap sepertiku? Kenapa
dia begitu egois dan menginginkan semuanya? Kau seutuhnya? Kenapa dia tak mau
membayangkan dirinya jika berada di posisiku? Apa karena dia lebih dulu ‘menemuimu’
lantas dialah yang memenangkanmu? Bukankah aku pun telah memenangkanmu? Mengisi
setiap tangis dan keluh kesahmu? Tapi kabar buruknya, aku tetap merindukanmu.
Aku meraih telepon genggam yang
tergeletak begitu saja di atas bantal. Sama sekali tidak ada pesan ataupun
panggilan tak terjawab darimu. Seperti inikah perpisahan yang tidak harus
selalu bersinonim dengan sakit itu? Benar-benar menghapus tanpa sisa seluruh
kebiasaan kita. Hening, hampa, seperti sebuah ruang yang dengan paksa
dikosongkan. Rasanya dingin dan sepi. Aku kesepian. Sekali lagi kupandangi
telepon genggam itu. Tetap tidak ada pesan darimu. Apa itu berarti kau
meninggalkan aku, si lubang hitam ini, di galaksiku sendirian?
***
Suara bel pintu terdengar.
Bergegas aku berlari menuju
lantai bawah, secepat mungkin, tak peduli kakiku tersandung kursi dan rasanya
sakit, tak peduli dengan pajangan yang tanpa sengaja aku jatuhkan, tak peduli
dengan semuanya. Purnama tengah datang, sisi jendela itu masih menyediakan
tempat untuk pemiliknya.
Aku membuka pintu, dan
menemukanmu di sana. Berdiri di sana. Kau langsung merangkulku dan kali ini aku
semakin tau kenapa rangkulanmu jauh lebih erat dari sebelumnya. Aku langsung
menarik lenganmu, lantai atas, kataku.
Bulan sedang purnama. Malam ini adalah
saat yang tepat untuk bermimpi di bawah cahayanya.
Kau tersenyum. Ah, tidak. Kau tertawa.
Tersenyum dan tertawa. Di depanku! Kau mengangguk dan kita bersama-sama pergi
ke sisi jendela itu. Kita akan kembali sama-sama bermimpi.
Mimpi ada untuk diwujudkan. Katamu, kini tak lagi memandangi
purnama tapi memandang mataku yang basah. Kenapa
kau menangis? Apakah kau tidak bahagia melihatku lagi? Tanyamu cemas.
Aku menggeleng, tentu saja tidak. Aku sangat bahagia
melihatmu lagi. Sahutku buru-buru. Apa
yang tadi kau katakan? Mimpi ada untuk diwujudkan? Aku bahkan tak berani
bermimpi terlalu banyak.
Ada hal-hal di dunia ini yang tak bisa aku ganti dengan apapun. Katamu.
Aku tercekat. Dan aku tak bisa
menggantikanmu dengan apapun. Kau tetap perempuanku dan aku lelakimu. Dia…dia
akhirnya mengijinkan aku pergi. Kami akan berpisah, kami telah menemukan alasan
untuk tidak bersama-sama lagi. Dia menyerah, aku telah lebih dulu menyerah
daripadanya.
Kalimat darimu itu, mungkin
kalimat paling indah yang pernah aku dengar seumur hidupku. Kini aku dapat
tidur dan bermimpi dengan indah. Harapan-harapan liar yang dahulu selalu aku
kubur dalam-dalam ku bangkitkan lagi. Aku telah bermetamorfosa dari sebuah
lubang hitam menjadi sebuah planet kecil yang sedang tumbuh. Aku sedang
berusaha bermigrasi dari galaksiku ke dalam galaksimu dan berrotasi sama-sama
denganmu. Kembali kita tertidur di sisi jendela dan kau menggenggam tanganku.
Tidurlah, besok semuanya akan menjadi lebih baik untuk kita. Bisikmu.
10.19 PM
15 Mei 2012
Kantor – rumah
Comments
Post a Comment